Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Saturday, 19 November 2016

MASIHKAH INDENTITAS MELAYU DI TANAH PATANI


Muslim di Thailand Selatan memiliki identitas, etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim Patani berbahasa Melayu dan beragama Islam. Identitas lokal di Thailand Selatan, sebetulnya lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Sehingga Masyarakat Muslim Patani, lebih menggunakan bahasa Melayu ketimbang bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara.
Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan berintegrasi dengan gaya hidup masyarakat Siam yang beragama Buddha, dirasakan selama puluhan tahun. Terutama sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand. Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media massa.
Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu, ketika berkumpul di lingkungan keluarga.
Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand, diakui sangat kuat di tiga provinsi ini; Narathiwat, Patani dan Yala (di atas 7 persen), dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan, Satun dan Songkhla. Komposisi Muslim di Kerajaan Thailand tidak lebih dari 15 persen, sementara Buddha lebih dari 75 persen.
Kendati bahasa Melayu ’dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya, larangan itu tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu.
 Salah satu upaya untuk menjaga identitas Melayu dan keislaman masyarakat Muslim Patani agar tak hilang adalah dengan Tadika (Taman Didikan Kanak-kanak), semacam madrasah yang beraktivitas setiap Sabtu-Ahad, dimana anak-anak usia sekolah rendah dikondisikan untuk belajar agama dengan menggunakan bahasa pengantar Melayu di masjid-masjid atau di kampung-kampung.
Di Tadika inilah, ada tambahan pelajaran agama Islam, dan terjadi interaksi budaya Melayu. Melalui Tadika inilah, identitas keislaman dan kemelayuan bisa dipertahankan. Para gurunya adalah sukarelawan yang memiliki semangat Melayu dan Islam yang tinggi. “Jika selama lima hari anak-anak belajar di sekolah menggunakan bahasa Thai, maka setiap Sabtu-Ahad inilah, mereka bisa memanfaatkan waktu untuk menjaga identitas asli mereka. Jika tak ada Tadika, apa jadinya,” kata Albar. Yang jelas, sudah beberapa kali pihak pemerintah mencoba menghapuskan Tadika di kampung-kampung, tapi tidak berhasil. Berbagai cara mereka lakukan agar Tadika dihapuskan, misalnya saja memasukkan pelajaran agama di sekolah kerajaan, dengan durasi yang minim dan kualitas tenaga pengajarnya yang payah.
“Sekalipun ada pelajaran agama Islam, tapi tak berkualitas. Karena guru-guru yang mengajar, hanya yang lulusan rendah. Sehingga pelajaran agama tak mendalam. Saya pikir, ini hanya trik pemerintah saja untuk menarik perhatian umat Islam di Patani,” lanjut Albar.  Ketika ditanya, kenapa pemerintah Thailand tidak melibatkan orang yang pernah belajar di Timur Tengah? Mengingat ribuan generasi muda Patani yang belajar ke Luar Negeri tanpa sokongan pemerintah, seperti di Malaysia, Indonesia, Kairo, Sudan, Baghdad, Syiria dan negara Timur Tengah lainnya.  “Biasanya, orang yang pulang dari Timur Tengah tidak diberi jabatan tinggi. Sekarang, generasi muda Muslim Patani sebagian lebih berminat belajar bahasa Thai ketimbang bahasa Arab. Oleh gurunya, dikatakan bahasa Arab tak akan menjanjikan masa depan. Bila tamat, sulit untuk sambung ke mana-mana dan sulit mendapatkan pekerjaan. Ini berbahaya,” pungkas Albar.


0 comments: