Muslim di Thailand
Selatan memiliki identitas, etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas
penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim Patani berbahasa Melayu dan
beragama Islam. Identitas lokal di Thailand Selatan, sebetulnya lebih dekat
dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Sehingga Masyarakat Muslim Patani, lebih
menggunakan bahasa Melayu ketimbang bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah
pusat sebagai bahasa resmi negara.
Keterpaksaan masyarakat
Melayu Muslim di Thailand Selatan berintegrasi dengan gaya hidup masyarakat
Siam yang beragama Buddha, dirasakan selama puluhan tahun. Terutama sejak
integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand.
Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah
dan media massa.
Strategi pemerintah
Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi
muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik
di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga
untuk berbicara dalam bahasa Melayu, ketika berkumpul di lingkungan keluarga.
Upaya menjaga
’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga
Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat
Thai lainnya. Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand,
diakui sangat kuat di tiga provinsi ini; Narathiwat, Patani dan Yala (di atas 7
persen), dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan, Satun dan Songkhla. Komposisi
Muslim di Kerajaan Thailand tidak lebih dari 15 persen, sementara Buddha lebih
dari 75 persen.
Kendati bahasa
Melayu ’dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga
pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya, larangan itu tidak
menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu.
Salah satu upaya untuk menjaga identitas
Melayu dan keislaman masyarakat Muslim Patani agar tak hilang adalah dengan
Tadika (Taman Didikan Kanak-kanak), semacam madrasah yang beraktivitas setiap
Sabtu-Ahad, dimana anak-anak usia sekolah rendah dikondisikan untuk belajar
agama dengan menggunakan bahasa pengantar Melayu di masjid-masjid atau di
kampung-kampung.
Di Tadika inilah, ada
tambahan pelajaran agama Islam, dan terjadi interaksi budaya Melayu. Melalui
Tadika inilah, identitas keislaman dan kemelayuan bisa dipertahankan. Para
gurunya adalah sukarelawan yang memiliki semangat Melayu dan Islam yang tinggi.
“Jika selama lima hari anak-anak belajar di sekolah
menggunakan bahasa Thai, maka setiap Sabtu-Ahad inilah, mereka bisa
memanfaatkan waktu untuk menjaga identitas asli mereka. Jika tak ada Tadika,
apa jadinya,” kata Albar. Yang jelas, sudah beberapa kali pihak pemerintah
mencoba menghapuskan Tadika di kampung-kampung, tapi tidak berhasil. Berbagai
cara mereka lakukan agar Tadika dihapuskan, misalnya saja memasukkan pelajaran
agama di sekolah kerajaan, dengan durasi yang minim dan kualitas tenaga
pengajarnya yang payah.
“Sekalipun ada
pelajaran agama Islam, tapi tak berkualitas. Karena guru-guru yang mengajar,
hanya yang lulusan rendah. Sehingga pelajaran agama tak mendalam. Saya pikir,
ini hanya trik pemerintah saja untuk menarik perhatian umat Islam di Patani,”
lanjut Albar. Ketika ditanya, kenapa
pemerintah Thailand tidak melibatkan orang yang pernah belajar di Timur Tengah?
Mengingat ribuan generasi muda Patani yang belajar ke Luar Negeri tanpa
sokongan pemerintah, seperti di Malaysia, Indonesia, Kairo, Sudan, Baghdad,
Syiria dan negara Timur Tengah lainnya. “Biasanya,
orang yang pulang dari Timur Tengah tidak diberi jabatan tinggi. Sekarang,
generasi muda Muslim Patani sebagian lebih berminat belajar bahasa Thai
ketimbang bahasa Arab. Oleh gurunya, dikatakan bahasa Arab tak akan menjanjikan
masa depan. Bila tamat, sulit untuk sambung ke mana-mana dan sulit mendapatkan
pekerjaan. Ini berbahaya,” pungkas Albar.
0 comments:
Post a Comment