A.
Latar Belakang Pemikiran Syahrur
Sebuah teori mengatakan
bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak
dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain,
sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas
sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang
di masyarakat. Syahrur dalam mengkonstruk pemikirannya, khususnya yang terkait
dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah
secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman
kontemporer.
Menurutnya, pemikiran
Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1.
Tiadanya petunjuk
metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap penafsiran ayat-ayat suci
al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan oleh
rasa takut dan ragu-ragu yang dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci
tersebut. Padahal syarat utama dalam pengkajian ilmiah adalah dengan pandangan
obyektif terhadap sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
2.
Adanya penggunaan produk
hukum masa lalu untuk diterapkan dalam persoalan kekinian. Misalnya adalah
pemikiran hukum tentang wanita. Untuk itulah perlu adanya fiqh dengan
metodologi baru yang tidak hanya terbatas pada al-fuqaha` al-khamsah.
3.
Tidak adanya pemanfaatan
dan interaksi filsafat humaniora (al-falsafah al-insaniyah). Hal ini
disebabkan oleh adanya dualisme ilmu pengetahuan, yakni Islam dan non Islam. Tidak
adanya interaksi tersebut berakibat pada mandulnya pemikiran Islam.
4.
Tidak adanya epistimologi
Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi
madhab-madhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam sehingga
pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.
Produk-produk fiqh yang
ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan
tuntutan modernitas.Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru.
Kegelisahan semacam ini
sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada
kritik tanpa menawarkan alternatif baru. Didasarkan atas bahwa kebenaran ilmiah
bersifat tentatif, Syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia
Islam tersebut. Sehingga muncullah pemikiran-pemikirannya yang dianggap banyak
orang sebagai sebuah pemikiran yang kontroversional. Selain itu, Syahrur juga
melihat terjadinya polarisasi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka
yang berpedoman secara kaku arti literal dari tradisi. Mereka beranggapan bahwa
apa yang cocok bagi generasi awal umat Islam juga cocok dan sesuai dengan
generasi umat masa kini. Kedua, mereka yang menyerukan sekulerisme dan modernitas
yang menolak semua pemikiran Islam, termasuk al-Qur’an. Mereka adalah kaum
Marxis, Komunis dan beberapa tokoh nasionalis Arab.
Sebagai landasan proyek
hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah (kondisi
berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi
menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting
point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi),
alam (naturalistik), maupun manusia (antropologi). Persoalan
tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan
selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari
perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus
mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan
selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan. Kainunah
atau being ( keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah
(proses) adalah gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming
(menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama”
setelah melalui “fase berproses”. Landasan dasar di atas mengindikasikan adanya
anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam memahami al-Qur’an terutama pada
konsep sairurah sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga
produk tafsir beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang
tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus
berkembang bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga
proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari
perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah
usang karena mengalami “kondisi menjadi”.
Didalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat (ayat-ayat hukum), Syahrur menggunakan
teori batas (nazhariyat al hudud). Term batas (al hudud)
mengandung arti : “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar,
tetapi masih terdapat pintu ijtihad yang elastis, fleksibel dan dinamis”.
Dalam penggunaannya
terhadap hukum fiqh, Syahrur membagi sebuah legitimasi hukum dalam dua batas,
yaitu batas ketentuan maksimum (al hadd al a’la) dan batas ketentuan
minimum (al hadd al adna). Hal ini berarti hukum-hukum Allah bersifat
elastis dan wilayah ijtihad manusia tetap ada selama berada diantara
batas minimum dan batas maksimum tadi. Jadi, selagi seorang muslim berada dalam
wilayah hudud Allah (ketentuan Allah diantara batas maksimum dan batas
minimum), ia tidak dapat dikatakan melanggar hukum Allah.
Dari teori ini dapat
dipahami bahwasanya hukum-hukum yang tercantum didalam ayat-ayat al-Qur’an
tidak serta merta diterapkan secara langsung pada masa sekarang. Dimana
kejahatan-kejahatan yang dituliskan dalam al-Qur’an dan harus diberi hukuman
itu telah mengalami perkembangan bentuk, macam dan cara melakukannya dengan
berbagai tingkatan. Jadi disini Syahrur ingin menawarkan metode baru dalam
pelaksanaan hukum Islam yang sesuai dengan tingkat kesalahan seseorang dan
tetap merujuk kepada teks al-Qur’an.
Sebagai penjelas, didalam
al-Qur’an dikatakan bahwa hukuman untuk seorang pencuri adalah potong tangan.
Tetapi tidak dijelaskan pemcurian yang bagaimana yang harus dipotong tangannya.
Sedangkan realitas yang ada pada saat ini, pencurian itu sendiri terbagi pada
beberapa tingkatan. Tentu saja tidak sama hukuman antara seorang pencuri ayam
satu ekor dengan koruptor yang mencuri uang rakyat dalam skala besar. Disinilah
kemudian teori batas digunakan.
Menurut Mustaqim, ada
empat kontribusi teori ini dalam perumusan hukum fiqh, yaitu :
- Syahrur menggeser paradigma lama ulama fiqh yang terpaku pada satu hukuman dalam sebuah kesalahan. Sedangkan dalam perkembangannya, kesalahan-kesalahan yang ada mengalami evolusi sehingga terbagi dalam beberapa tingkatan.
- Syahrur menawarkan metode baru didalam menetapkan hukuman dalam sebuah kesalahan dengan menggunakan batas maksimum dan batas minimum hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
- Syahrur melakukan rekonstruksi dalam metodologi
ijtihad pengambilan hukum. Selama ini ayat-ayat muhkamat dianggap
merupakan ayat-ayat yang pasti hukumnya dan hanya memiliki
penafsirantungal. Sedangkan bagi Syahrur, penafsiran terhadap
ayat-ayattersebut bisa saja berubahsesuai denga perkembangan zaman.
- Dengan teori ini beliau ingi membuktikan bahwasanya
Al Qur’an relevan dalam setiap ruang dan waktu. Dengan melakukan pembacaan
kontemporer terhadap Al Qur’an, maka Al Qur’an dapat dipahami sesuai
dengan realitas yang ada pada saat ini.
Metodologi yang beliau gunakan
dalam memahami al-Qur’an adalah Qawa’idu at Ta’wil. Ada beberapa langkah
didalam memahami al-Qur’an, yaitu :
- Menjadikan linguistik
(kebahasaan) Arab sebagai landasan utama. Didalam lingistik ini
terdapat beberapa prinsip didalam memahami teks : bahasa Arab tidak
mengenal sinonimitas, akan tetapi satu kata bisamengandung arti yang
banyak; kata berfungsi sebagai alat bantu memahami makna; pijakan
berbahasa bangsa Arab adalah makna bahasa; teks hanya dapat dipahami
melalui alur logika yang jelas dan rasional; dan bahasa Arab memiliki
karakter kata kerja yang berlawanan makna.
- Memahami perbedaan antara inzal dan tanzil.
Inzal adalah relasi antara realitas objektif, sedangkan Tanzil adalah
kesadaran manusia terhadap realitas tersebut.
- Mengggunaka teknik al Tartil, yaitu
menggabungkan seluruh ayat yang memiliki tema yang sama.
- Terbebas dari jebakan al Ta’diyah, yaitu
melepaskan diri dari upaya menggabungkan ayat-ayat yang memliki objek yang
sama menjadi satu rangkaian pemikiran yang utuh.
- Memahami rahasia Mawaqi’ al Nujum, yaitu
mengetahui maksud tempat potongan/pemilahan antar ayat.
- Melakukan pemeriksaan silang, dikarenakan adanya
ayat-ayat Al Qur’an yang bertentangan.
0 comments:
Post a Comment