Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Sunday, 20 November 2016

PEMIKIRAN HERMENEUTIK AL-QUR’AN MUHAMMAD SYAHRUR


     A.    Latar Belakang Pemikiran Syahrur
Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrur dalam mengkonstruk pemikirannya, khususnya yang terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer.
Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1.      Tiadanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan oleh rasa takut dan ragu-ragu yang dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci tersebut. Padahal syarat utama dalam pengkajian ilmiah adalah dengan pandangan obyektif terhadap sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
2.      Adanya penggunaan produk hukum masa lalu untuk diterapkan dalam persoalan kekinian. Misalnya adalah pemikiran hukum tentang wanita. Untuk itulah perlu adanya fiqh dengan metodologi baru yang tidak hanya terbatas pada al-fuqaha` al-khamsah.
3.      Tidak adanya pemanfaatan dan interaksi filsafat humaniora (al-falsafah al-insaniyah). Hal ini disebabkan oleh adanya dualisme ilmu pengetahuan, yakni Islam dan non Islam. Tidak adanya interaksi tersebut berakibat pada mandulnya pemikiran Islam.
4.      Tidak adanya epistimologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi madhab-madhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.      Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru.
Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru. Didasarkan atas bahwa kebenaran ilmiah bersifat tentatif, Syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam tersebut. Sehingga muncullah pemikiran-pemikirannya yang dianggap banyak orang sebagai sebuah pemikiran yang kontroversional. Selain itu, Syahrur juga melihat terjadinya polarisasi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berpedoman secara kaku arti literal dari tradisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang cocok bagi generasi awal umat Islam juga cocok dan sesuai dengan generasi umat masa kini. Kedua, mereka yang menyerukan sekulerisme dan modernitas yang menolak semua pemikiran Islam, termasuk al-Qur’an. Mereka adalah kaum Marxis, Komunis dan beberapa tokoh nasionalis Arab.

Sebagai landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi), alam (naturalistik), maupun manusia (antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan. Kainunah atau being ( keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase berproses”. Landasan dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus berkembang bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi menjadi”.

Didalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat (ayat-ayat hukum), Syahrur menggunakan teori batas (nazhariyat al hudud). Term batas (al hudud) mengandung arti : “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi masih terdapat pintu ijtihad yang elastis, fleksibel dan dinamis”.
Dalam penggunaannya terhadap hukum fiqh, Syahrur membagi sebuah legitimasi hukum dalam dua batas, yaitu batas ketentuan maksimum (al hadd al a’la) dan batas ketentuan minimum (al hadd al adna). Hal ini berarti hukum-hukum Allah bersifat elastis dan wilayah ijtihad manusia tetap ada selama berada diantara batas minimum dan batas maksimum tadi. Jadi, selagi seorang muslim berada dalam wilayah hudud Allah (ketentuan Allah diantara batas maksimum dan batas minimum), ia tidak dapat dikatakan melanggar hukum Allah.
Dari teori ini dapat dipahami bahwasanya hukum-hukum yang tercantum didalam ayat-ayat al-Qur’an tidak serta merta diterapkan secara langsung pada masa sekarang. Dimana kejahatan-kejahatan yang dituliskan dalam al-Qur’an dan harus diberi hukuman itu telah mengalami perkembangan bentuk, macam dan cara melakukannya dengan berbagai tingkatan. Jadi disini Syahrur ingin menawarkan metode baru dalam pelaksanaan hukum Islam yang sesuai dengan tingkat kesalahan seseorang dan tetap merujuk kepada teks al-Qur’an.
Sebagai penjelas, didalam al-Qur’an dikatakan bahwa hukuman untuk seorang pencuri adalah potong tangan. Tetapi tidak dijelaskan pemcurian yang bagaimana yang harus dipotong tangannya. Sedangkan realitas yang ada pada saat ini, pencurian itu sendiri terbagi pada beberapa tingkatan. Tentu saja tidak sama hukuman antara seorang pencuri ayam satu ekor dengan koruptor yang mencuri uang rakyat dalam skala besar. Disinilah kemudian teori batas digunakan.
Menurut Mustaqim, ada empat kontribusi teori ini dalam perumusan hukum fiqh, yaitu :
  1.    Syahrur menggeser paradigma lama ulama fiqh yang terpaku pada satu hukuman dalam sebuah kesalahan. Sedangkan dalam perkembangannya, kesalahan-kesalahan yang ada mengalami evolusi sehingga terbagi dalam beberapa tingkatan.
  2.     Syahrur menawarkan metode baru didalam menetapkan hukuman dalam sebuah kesalahan dengan menggunakan batas maksimum dan batas minimum hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
  3.      Syahrur melakukan rekonstruksi dalam metodologi ijtihad pengambilan hukum. Selama ini ayat-ayat muhkamat dianggap merupakan ayat-ayat yang pasti hukumnya dan hanya memiliki penafsirantungal. Sedangkan bagi Syahrur, penafsiran terhadap ayat-ayattersebut bisa saja berubahsesuai denga perkembangan zaman.
  4.      Dengan teori ini beliau ingi membuktikan bahwasanya Al Qur’an relevan dalam setiap ruang dan waktu. Dengan melakukan pembacaan kontemporer terhadap Al Qur’an, maka Al Qur’an dapat dipahami sesuai dengan realitas yang ada pada saat ini.
Metodologi yang beliau gunakan dalam memahami al-Qur’an adalah Qawa’idu at Ta’wil. Ada beberapa langkah didalam memahami al-Qur’an, yaitu :
  1.     Menjadikan linguistik (kebahasaan) Arab sebagai landasan utama. Didalam lingistik ini terdapat beberapa prinsip didalam memahami teks : bahasa Arab tidak mengenal sinonimitas, akan tetapi satu kata bisamengandung arti yang banyak; kata berfungsi sebagai alat bantu memahami makna; pijakan berbahasa bangsa Arab adalah makna bahasa; teks hanya dapat dipahami melalui alur logika yang jelas dan rasional; dan bahasa Arab memiliki karakter kata kerja yang berlawanan makna.
  2.     Memahami perbedaan antara inzal dan tanzil. Inzal adalah relasi antara realitas objektif, sedangkan Tanzil adalah kesadaran manusia terhadap realitas tersebut.
  3.       Mengggunaka teknik al Tartil, yaitu menggabungkan seluruh ayat yang memiliki tema yang sama.
  4.      Terbebas dari jebakan al Ta’diyah, yaitu melepaskan diri dari upaya menggabungkan ayat-ayat yang memliki objek yang sama menjadi satu rangkaian pemikiran yang utuh.
  5.     Memahami rahasia Mawaqi’ al Nujum, yaitu mengetahui maksud tempat potongan/pemilahan antar ayat.
  6.      Melakukan pemeriksaan silang, dikarenakan adanya ayat-ayat Al Qur’an yang bertentangan. 


0 comments: