Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

BERDIRI DI UJUNG NEGERI

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU GARUDA PERBATASAN

TEMAJUK, SAMBAS.

TANJUNG DATOE INDONESIA

INDAHNYA INDONESIA KU, TEMAJUK, SAMBAS.

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

BERDIRI DI BATAS NEGERI, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU KETUPAT BERDARAH

SAKSI BISU PERTUMPAHAN DARAH 1999, JAWAI, SAMBAS

Sunday, 20 November 2016

PROBLEMATIKA HUKUM “TRANSAKSI – E-COMMERCE”


Dinamika perdagangan dan bisnis industri perbankan memang telah melahirkan model transaksi yang eksistensinya lahir karena kemajuan dan keunggulan teknologi komunikasi dan informasi di era globalisasi, yaitu e-commerce transaction (electronic commerce transaction). E-commerce merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli). Ia adalah bisnis dengan melakukan pertukaran data (data interchange) via internet di mana kedua belah pihak, yaitu orifinator dan addressee atau penjual dan pembeli barang dan jasa, dapat melakukan bargaining dan transaksi.
Saat ini, internet dan e-commerce sepertinya sudah menjadi sebuah gaya hidup (life style) di mana-mana, termasuk di Indonesia. Bisnis melalui internet ini juga sudah mulai marak di beberapa provinsi di tanah air ini. Tidak salah kalau kemudian dikatakan bahwa internet dan e-commerce sudah merupakan kebutuhan di dalam milenium ketiga.
Teknologi informasi dan teknologi seperti dunia jaringan (net) luas ini, di sebut dengan World Wide Web (WWW), mampu memetakan dunia dengan segala bentuk kepentingannya tanpa batas darat dan udara. Ia melintas batas-batas negara dan memberikan kemungkinan bagi setiap pelaku ekonomi (actors) dari setiap sudut dunia untuk berbisnis secara cepat, tepat, efisien, dan efektif melalui fasilitas email, faximile, chatting, komunikasi via net, dan lainnya.
Dalam konteks Indonesia pertanyaan mendasar seputar e-commerce ini adalah bagaimana Indonesia masih relatif baru, walaupun kemudian dengan relatif cepat ia mampu meraih popularitas. Mengenai e-commerce, Indonesia tampaknya masih berada dalam perkembangan tahap awal, masih mencari bentuk dan belum memiliki wacana hukum yang predictable yang mampu secara rinci, lengkap, dan transparan mengatur bagaimana seharusnya transaksi-transaksi bisnis lewat internet seperti e-commerce transaction dilakukan. Indonesia belum memiliki framework hukum yang holistik untuk mengantisipasi evolusi atau bahkan revolusi bisnis pada masyarakat dunia.
Selain menimbulkan perdebatan di bidang hukum, transaksi melalui internet juga menimbulkan masalah di bidang perpajakan. Sebut saja jika ada pengusaha Indonesia yang memiliki toko di dunia yang kemudian melayani pembelian melalui internet dari penduduk Amerika. Negara mana yang berhak memungut pajak yang harus dibayar oleh toko maya milik orang Indonesia tersebut. Indonesia atau Amerika Serikat.
Mengingat hal-hal diatas di dalam perjanjian transaksi e-commerce hendaknya secara jelas ditentukan mengenai besarnya withholding taxes yang harus di bayar, dalam mata uang apa withholding taxes itu dibayar, siapa yang harus membayar pajak tersebut, dan kepada negara mana pajak tersebut harus dibayar.

Karena Undang-Undang telekomunikasi kita juga belum secara spesifik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan telekomunikasi melalui internet, Indonesia masih memerlukan Undang-Undang Internet (law of Internet) atau Undang-Undang Siber (Cyberlaw). Undang-Undang Internet merupakan Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai pengiriman dan penerimaan pesan elektronik melalui internet. Apabila Undang-Undang Internet tersebut dihubungkan dengan Undang-undang nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, akan merupakan lex generalis, sedangkan Undang-Undang Internet yang masih akan dilahirkan, merupakan lex specialis dari Undang-Undang Telekomunikasi tersebut.

PEMIKIRAN HERMENEUTIK AL-QUR’AN MUHAMMAD SYAHRUR


     A.    Latar Belakang Pemikiran Syahrur
Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrur dalam mengkonstruk pemikirannya, khususnya yang terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer.
Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1.      Tiadanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan oleh rasa takut dan ragu-ragu yang dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci tersebut. Padahal syarat utama dalam pengkajian ilmiah adalah dengan pandangan obyektif terhadap sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
2.      Adanya penggunaan produk hukum masa lalu untuk diterapkan dalam persoalan kekinian. Misalnya adalah pemikiran hukum tentang wanita. Untuk itulah perlu adanya fiqh dengan metodologi baru yang tidak hanya terbatas pada al-fuqaha` al-khamsah.
3.      Tidak adanya pemanfaatan dan interaksi filsafat humaniora (al-falsafah al-insaniyah). Hal ini disebabkan oleh adanya dualisme ilmu pengetahuan, yakni Islam dan non Islam. Tidak adanya interaksi tersebut berakibat pada mandulnya pemikiran Islam.
4.      Tidak adanya epistimologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi madhab-madhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.      Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas.Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru.
Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru. Didasarkan atas bahwa kebenaran ilmiah bersifat tentatif, Syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam tersebut. Sehingga muncullah pemikiran-pemikirannya yang dianggap banyak orang sebagai sebuah pemikiran yang kontroversional. Selain itu, Syahrur juga melihat terjadinya polarisasi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berpedoman secara kaku arti literal dari tradisi. Mereka beranggapan bahwa apa yang cocok bagi generasi awal umat Islam juga cocok dan sesuai dengan generasi umat masa kini. Kedua, mereka yang menyerukan sekulerisme dan modernitas yang menolak semua pemikiran Islam, termasuk al-Qur’an. Mereka adalah kaum Marxis, Komunis dan beberapa tokoh nasionalis Arab.

Sebagai landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan. Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi), alam (naturalistik), maupun manusia (antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan. Kainunah atau being ( keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase berproses”. Landasan dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus berkembang bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi menjadi”.

Didalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat (ayat-ayat hukum), Syahrur menggunakan teori batas (nazhariyat al hudud). Term batas (al hudud) mengandung arti : “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi masih terdapat pintu ijtihad yang elastis, fleksibel dan dinamis”.
Dalam penggunaannya terhadap hukum fiqh, Syahrur membagi sebuah legitimasi hukum dalam dua batas, yaitu batas ketentuan maksimum (al hadd al a’la) dan batas ketentuan minimum (al hadd al adna). Hal ini berarti hukum-hukum Allah bersifat elastis dan wilayah ijtihad manusia tetap ada selama berada diantara batas minimum dan batas maksimum tadi. Jadi, selagi seorang muslim berada dalam wilayah hudud Allah (ketentuan Allah diantara batas maksimum dan batas minimum), ia tidak dapat dikatakan melanggar hukum Allah.
Dari teori ini dapat dipahami bahwasanya hukum-hukum yang tercantum didalam ayat-ayat al-Qur’an tidak serta merta diterapkan secara langsung pada masa sekarang. Dimana kejahatan-kejahatan yang dituliskan dalam al-Qur’an dan harus diberi hukuman itu telah mengalami perkembangan bentuk, macam dan cara melakukannya dengan berbagai tingkatan. Jadi disini Syahrur ingin menawarkan metode baru dalam pelaksanaan hukum Islam yang sesuai dengan tingkat kesalahan seseorang dan tetap merujuk kepada teks al-Qur’an.
Sebagai penjelas, didalam al-Qur’an dikatakan bahwa hukuman untuk seorang pencuri adalah potong tangan. Tetapi tidak dijelaskan pemcurian yang bagaimana yang harus dipotong tangannya. Sedangkan realitas yang ada pada saat ini, pencurian itu sendiri terbagi pada beberapa tingkatan. Tentu saja tidak sama hukuman antara seorang pencuri ayam satu ekor dengan koruptor yang mencuri uang rakyat dalam skala besar. Disinilah kemudian teori batas digunakan.
Menurut Mustaqim, ada empat kontribusi teori ini dalam perumusan hukum fiqh, yaitu :
  1.    Syahrur menggeser paradigma lama ulama fiqh yang terpaku pada satu hukuman dalam sebuah kesalahan. Sedangkan dalam perkembangannya, kesalahan-kesalahan yang ada mengalami evolusi sehingga terbagi dalam beberapa tingkatan.
  2.     Syahrur menawarkan metode baru didalam menetapkan hukuman dalam sebuah kesalahan dengan menggunakan batas maksimum dan batas minimum hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
  3.      Syahrur melakukan rekonstruksi dalam metodologi ijtihad pengambilan hukum. Selama ini ayat-ayat muhkamat dianggap merupakan ayat-ayat yang pasti hukumnya dan hanya memiliki penafsirantungal. Sedangkan bagi Syahrur, penafsiran terhadap ayat-ayattersebut bisa saja berubahsesuai denga perkembangan zaman.
  4.      Dengan teori ini beliau ingi membuktikan bahwasanya Al Qur’an relevan dalam setiap ruang dan waktu. Dengan melakukan pembacaan kontemporer terhadap Al Qur’an, maka Al Qur’an dapat dipahami sesuai dengan realitas yang ada pada saat ini.
Metodologi yang beliau gunakan dalam memahami al-Qur’an adalah Qawa’idu at Ta’wil. Ada beberapa langkah didalam memahami al-Qur’an, yaitu :
  1.     Menjadikan linguistik (kebahasaan) Arab sebagai landasan utama. Didalam lingistik ini terdapat beberapa prinsip didalam memahami teks : bahasa Arab tidak mengenal sinonimitas, akan tetapi satu kata bisamengandung arti yang banyak; kata berfungsi sebagai alat bantu memahami makna; pijakan berbahasa bangsa Arab adalah makna bahasa; teks hanya dapat dipahami melalui alur logika yang jelas dan rasional; dan bahasa Arab memiliki karakter kata kerja yang berlawanan makna.
  2.     Memahami perbedaan antara inzal dan tanzil. Inzal adalah relasi antara realitas objektif, sedangkan Tanzil adalah kesadaran manusia terhadap realitas tersebut.
  3.       Mengggunaka teknik al Tartil, yaitu menggabungkan seluruh ayat yang memiliki tema yang sama.
  4.      Terbebas dari jebakan al Ta’diyah, yaitu melepaskan diri dari upaya menggabungkan ayat-ayat yang memliki objek yang sama menjadi satu rangkaian pemikiran yang utuh.
  5.     Memahami rahasia Mawaqi’ al Nujum, yaitu mengetahui maksud tempat potongan/pemilahan antar ayat.
  6.      Melakukan pemeriksaan silang, dikarenakan adanya ayat-ayat Al Qur’an yang bertentangan. 


KESEHATAN MENTAL DALAM LINGKUNGAN KELUARGA



Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak. Peranan orang tua yang penuh kasih sayang, dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya  yang diberikannya merupakan faktor pendukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah Swt. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya, sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim. [1]
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu diperoleh, apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya. 
Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak. Masalah-masalah penyakit tersebut bias berkurang jika keluarga anak tersebut memahami dan memberikan dukungan serta orangtua bekerjasama dalam perawatan anak.[2]
Menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang shaleh,  agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang diantaranya adalah  sebagai berikut.
1.      Bangunlah keluarga itu dengan melalui pernikahan yang syah berdasarkan syariat atau ketentuan agama.
2.      Pernikahan itu hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah, karena menikah adalah sunnah Rasulullaah SAW (Annikaahu sunnatii famanlamyargobu ‘an sunnatii palaisa minnii = nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci nikah berarti dia bukan ummatku ). Dengan demikian suami dan istri, atau orang tua dan anak  adalah mitra dalam beribadah kepada Allah.
3.      Pada saat berhubungan suami-istri (jima’ atau bersenggama), berdo’alah kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan syetan. Do’a yang diajarkan Rasulullaah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithona, wajannibisysyaithona minmaa rozaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari syetan, dan jauhkanlah syetan dari rizqi/anak yang engkau berikan kepada kami).  
4.      Perbanyaklah doa’ Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota ‘ayun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa). Do’a lain yang sebaiknya didawamkan dalam rangka memohon anak yang shaleh adalah Rabbii wablii minashshaalihiin  (Ya Tuhanku anugrahkanlah kepadaku anak-anak yang shaleh).
5.      Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalanl ibadah : (a) membaca Al-Qur’an (selama sembilan bulan mengandung, bacalah Al-Qur’an dari mulai surat Alfatihah s.d. surat Annaas, jangan hanya membaca surat-surat tertentu saja); (b) melaksanakan shalat tahajjud, dan memperbanyak do’a setelahnya; (c) memperbanyak shadaqah atau infaq; dan (d) memperbanyak dzikir kepada Allah, atau membaca kalimatuttoyyibah, seperti : tasbih (subhaanallaah), tahmid (alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), dan tahlil (laa ilaaha illallaah). Yang melakukan ‘amalan ini bukan hanya istri, tetapi juga suami.
6.      Menciptakan pola pergaulan yang ma’ruf (baik atau harmonis) antara suami - sitri, atau orang tua - anak.
7.      Pada saat anak lahir, ucapkanlah kalimah toyyibah (minimal membaca tahmid); ada juga yang menyarankan untuk mengumandangkan (dengan suara yang lembut) adzan pada telinga kanan anak dan qomat pada telinga kirinya.
8.      Pada saat anak sudah berusia tujuh hari, lakukan aqiqah bagi anak, yaitu menyembelih kambing/domba jantan (bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor), mencukur rambut anak (rambut ini ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga emas,  kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau yatim piatu); dan memberi nama yang baik kepada anak. Pada acara ini undanglah keluarga, kerabat, atau tetangga dekat untuk bersama-sama mensyukuri ni’mat dari Allah.
9.      Pada saat anak sudah masuk usia taman kanak-kanak, didiklah mereka (melalui pengajaran, ketauladanan, dan pembiasaan) tentang berbagai aspek kehidupan yang penting bagi perkembangan kepribadiannya yang mantap, seperti (a) mengajar rukun iman dan rukun islam, mengajar dan membiasakan ibadah shalat, memberikan contoh dalam membayar zakat atau infaq, mengajar membaca Al-Quran, dan do’a-do’a; (b) melatih dan memberi contoh tentang cara merawat kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan : mandi, gosok gigi, makan dan minum yang teratur, membuang sampah pada tempatnya, memelihara kebersihan dan kerapihan rumah; (c) memberi contoh tentang bertutur kata yang sopan (sesuai dengan bahasa ibunya); dan (d) mengajar dan memberi contoh tentang tata krama (etika) bergaul  dengan orang lain.




[1] Jalaluddin Rahmat & Muhtar, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1994), h. 49
[2] Teifion Davies dan TKJ Craig, ABC Kesehatan Mental, Penerjemah: Alifa Dimanti, (Jakarta: EGC, 2009). h. 156