1.
Biografi Muhammad Nasiruddin al-Albani
Nama, Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh al-Albani rahimahullah. Al-Bani
adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengan kuniah Abu 'Abdurrahman.
Beliau lahir di Ashkodera, ibukota Al-bania tahun 1914 M
di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan sibuk dengan ilmu agama, di
ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah seorang ulama besar Albania
kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul, Turki, kemudian kem\bali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak,
penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi. Saat masih muda, ia hijrah ke Damaskus, tempat ia
menyelesaikan sekolah dasarnya.[1]
Muhammad Nasiruddin al-Albani mulai menuntu ilmu. Di Damaskus, lelaki kecil
Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di
Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah beliau rahimahullah mulai
menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki kemuliaan sebagai seorang alim. Orang
yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh,
yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk
berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan
bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang
dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul
sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul
dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya
demi menimba ilmu. Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari
ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliau rahimahullah yang sangat
pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau
bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan
tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk
menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.[2]
2.
Menjadi Guru Besar di Universias Madinah
Pada tahun 1962, Syaikh al-Albani mendapatkan
panggilan dari Universitas Islam Madinah yang ketika itu dipimpin oleh Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, rektor Universitas tersebut yang sekaligus
menjabat sebagai mufti (penasihat) Kerajaan Arab Saudi
dan Syaikh al-Albani direncanakan akan diangkat menjadi dosen di sana. Di sana Syaikh al-Albani mengajar ilmu Hadits dan fiqh Hadits di fakultas
pasca sarjana, bahkan menjadi Guru Besar ilmu Hadits. Kemudian pada tahun 1975,
Syaikh al-Albani diangkat menjadi dewan tinggi Universitas Islam Madinah selama
tiga tahun hingga kemudian memutuskan kembali pulang ke negaranya. Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz memberikan komentar atas Syaikh al-Albani, "Aku
belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang sangat alim
(berilmu) dalam ilmu hadits seperti al-'Allamah Muhammad Nashiruddin
al-Albani", demikian ungkap beliau.
Berkat jerih payah dan keuletan sang Imam dan tentu saja karena taufik dari
Allah, sejumlah karya tulis beliau rahimahullah mulai terbit dari tangan beliau
dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam
ilmu hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau, yang menunjukkan kepada
dunia ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada beliau
rahimahullah berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas dan kajian yang dalam
tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah
lagi dengan manhaj beliau yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah
sebagai tolok ukur dan dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang
Imam muncul sebagai sosok yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan
cepat keutamaan yang ada pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka
ketika Universitas Islam Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh Syaikh
al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu adalah Mufti Umum
Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung menjadi pilihan
untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana. Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka
dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah
figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai
seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk
di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi
dengan murid-murid beliau.[3]
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para
mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila
mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid
beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan
dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang
menuai berkah disana. Diantara
kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam
Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu
Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits
dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan
sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu
menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi
takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya. Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau
rahimahullah sebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini
sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi dan itu yang paling pertama di
dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk
menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen
yang menggantikan beliau. Beliau juga menjadi Imam Para Ulama Ahli Hadits Abad
Ini Begitu banyaknya karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah
dalam dsiplin ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil
dan cermat, menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para
penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka
berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu
beliau.
3.
Karya-karya Beliau
Tercatat kurang lebih 200 karya mulai dari ukuran
satu jilid kecil, besar, hingga yang berjilid-jilid, baik yang berbentuk karya
tulis pena, takhrij (koreksi hadits) pada karya orang lain, buku khusus takhrij
hadits, maupun tahqiq (penelitian atas kitab tertentu dari segala macam
sisinya), lalu dituangkan dalam catatan kaki dalam kitab tersebut. Sebagiannya
telah lengkap, sebagiannya lagi belum sempurna (karena wafat) dan sebagiannya
lagi sudah sempurna namun masih dalam bentuk manuskrip (belum dicetak dan
diterbitkan). Beberapa di antaranya yang paling populer serta monumental
adalah:
a.
Silsilah
al-Ahaadits ash-Shahihah wa Syai'un min Fiqiha wa Fawaaidiha (9 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah
terhadap hadits-hadits Nabi untuk dinyatakan shahih sesuai dengan kaidah
musthalah hadits yang telah disepakati ulama ahli hadits sepanjang zaman. Berdasarkan penomoran terakhir dari kitab itu, jumlah hadits yang tertera
adalah 4.035 buah.
b.
Silsilah
al-Ahaadits adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi' fil Ummah (14 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah atas
hadits-hadits untuk dinyatakan lemah atau palsu sesuai dengan kaidah musthalah
hadits yang telah disepakati ulama ahli hadits sepanjang zaman. Rata-rata
setiap jilidnya berisikan 500 buah hadits.
c.
Irwa'ul Ghalil (8 jilid), kitab ini
berisikan takhrij (studi ilmiah) atas hadits-hadits dalam kitab Manarus Sabil.
Berdasarkan penomoran hadits di jilid terakhir, jumlah haditsnya sebanyak 2.707
buah.
d.
Shahih & Dha'if Jami' ash-Shaghir wa Ziyadat ihi,
kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan as-Suyuthi lalu Syaikh
al-Albani memberikan keterangan hukum pada setiap hadits dengan hukum yang
sesuai, apakah shahih ataukah dhoif. Tercatat, yang shahih
berjumlah 8.202 hadits dan yang tidak shahih berjumlah 6.452 hadits.
e.
Shahih
Sunan Abu Dawud
dan Dhaif Sunan Abu Dawud, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Abu Dawud lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan
hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif
atau yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 5.274 buah.
f.
Shahih
Sunan an-Nasa'i
dan Dhaif Sunan an-Nasa'i, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Nasai lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan hukum
pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif atau
yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 5.774 buah.
g.
Shahih
Sunan Ibnu Majah
dan Dhaif Sunan Ibnu Majah, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Ibnu Majah lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan
hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif
atau yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 4.341 buah. Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti misalnya (yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia):
1.
Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah,
2.
Ahkaamul Janaaiz,
3.
Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil,
4.
Tamaamul Minnah fi Ta’liq 'Alaa Fiqh Sunnah,
5.
Shifat salat Nabi shallahu'alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim
kaannaka taraaha (berisi
tuntunan-tuntunan dalam melaksanakan salat sebagaimana yang tertera dalam
hadits Nabi),
6.
Fitnatut Takfiir (kitab ini memuat hadits-hadits
dan penjelasan ulama besar masa lampau tentang bahaya dari mudah/gegabah dalam
mengkafirkan seseorang),
7.
Jilbaab
Al-Mar’atul Muslimah,
8.
Qishshshah
Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa 'alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz
Zaman (kitab ini memuat hadits yang
berbentuk riwayat-riwayat kabar tentang kedatangan Dajjal dan turunnya Nabi Isa
di akhir zaman),
9.
Dan
lain-lain.
Semua
ini adalah sebuah realisasi proyek besar Syaikh al-Albani yang disebutnya
dengan "Taqribus Sunnah Baina Yadayil Ummah" (Mendekatkan
Sunnah Kehadapan Ummat), tujuannya adalah memudahkan ummat secara umum untuk
mengambil hadits Nabi yang shahih secara instan tanpa harus kepayahan untuk
mempelajarinya terlebih dahulu. Agar ummat lebih akrab dengan hadits Nabi yang
shahih dan lebih mudah untuk mendapatkannya, namun di sisi lain Syaikh
al-Albani pun juga menuliskan kitab yang berisikan kaidah-kaidah ilmu hadits
yang sudah disepakati oleh para ulama ahlul hadits sepanjang zaman, tentunya
ini adalah bagi mereka yang tertarik juga untuk mempelajari ilmu hadits.
4.
Cara Pandang
Syaikh al-Albani sangat aktif di medan dakwah dan
sangat memerangi metode taklid, taklid yaitu menerima apa pun yang dikatakan
seseorang (biasanya ulama atau ahli ilmu) tanpa mempertanyakan keabsahan dasar
penyandaran hukumnya. Ayahnya cenderung senantiasa mengarahkannya kepada mazhab
Hanafi untuk kemudian menjadi ulama mazhab Hanafi mengikuti jejak ayahnya,
namun ternyata yang terjadi adalah lain dari apa yang diharapkan oleh ayahnya. Ketekunan terhadap ilmu hadits menyebabkan Syaikh al-Albani tidak mau
terikat dengan mazhab tertentu. Bahkan secara prinsip, Syaikh al-Albani terikat
dengan 4 mazhab sekaligus, yaitu dalam hal penyandaran hukum, yaitu
menyandarkan semua syariat kepada al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits) dengan
dibimbing pemahaman para Salafusshalih (para Sahabat Nabi).
Sebagaimana Islam yang satu di atas pemahaman yang
satu dan murni sebagaimana Islam di masa Nabi dan para Sahabatnya, maka metode
memurnikan ajaran Islam dengan cara kembali pada pemahaman para Sahabat Nabi
dalam menerapkan syariat Islam dan memahami al-Qur'an serta as-Sunnah adalah
satu-satunya cara untuk mempersatukan umat yang saat ini terpecah-pecah akibat
dari adanya hizbi
(partai atau kelompok), sekte, maupun aliran yang bermacam-macam. Dan bahkan dengan adanya perbedaan mazhab Imam pun bisa memecah belah
kesatuan umat. Akibat dari perpecahan ini adalah menjadi lemahlah kekuatan
ukhuwah ummat dan sangat mudah diprovokasi oleh orang-orang yang memusuhi Islam.
5.
Metode Al-Albani dalam Menentukan Keshahihan Hadits
Dalam
menentukan kesahihan (autentisitas) hadits dan kepalsuan sebuah hadits tertentu
berdasarkan analisis pada isnad, dengan menggunakan informasi
yang terdapat pada kamus-kamus biografi. Isnad yang tidak tsiqoh, berarti
tidak tsiqoh haditsnya. Akibatnya, ia merasa tidak penting
menafsirkan sebuah hadits yang ber-isnad tidak tsiqoh, karena penafsiran adalah bagian dari
autentifikasi. Dapat difahami bahwa hadits yang sahih adalah hadits yang
isnadnya tsiqoh (terpercaya) jika isnadnya tidak tsiqoh berarti tidak sohih
haditsnya, sedangkan untuk mengetahui tingkat ketsiqohan isnad tersebut metode
yang dipakai Albani adalah dengan menggunakan informasi atau sumber-sumber dari
kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Sayangnya beliau hanya
mengikuti penilaian dari para penulis biografi mengkaji secara komprehensif
biografi tersebut. Sehingga beliau mengemukakan bahwa isnad hadis
yang tidak tsiqah (terpercaya) berarti tidak tsiqah pula
hadisnya dan karenanya harus ditolak. Penafsiran apa
pun terhadap matan hadis dan periwayatannya tidak relevan bagi Al-Albani.
Karena menurut beliau penafsiran juga bagian dari autentifikasi hadis, sedang
Al-Albani hanya bertumpu pada ketsiqahan isnad, bukan matannya.
Caranya, di antaranya, adalah dengan mengecek terminologi isnad yang
digunakan perawi semisal ‘an (diriwayatkan dari…), sami‘a (dia mendengar
…), haddatsana, akhbarana dan seterusnya. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui ketsiqohan isnadnya, karena jika terdapat hadits yang periwayatnya
tidak mendengar hadits yang diriwayatkannya secara langsung maka ketsiqohan
isnadnya perlu dipertanyakan kembali. Albani mengatakan bahwa hal ini bisa di ketahui
dengan melihat sanadnya, jika perawi tersebut menggunakan term “’an”
(diriwayatkan dari) maka isnadnya harus ditangguhkan sampai perawi tersebut
benar-benar mendengar secara langsung dari informannya. Kecuali jika perawinya
mendengar secara langsung dari informannya maka hadits ini dianggap memiliki
isnad yang tsiqoh dan haditsnya bisa digunakan sebagai hujjah, karena perawinya
dianggap muttashil (bersambung). Menurut Albani hal ini bisa
diketahui dengan melihat sanadnya apakah dalam periwayatannya menggunakan term hadatsana,
akhbarana, anba’ana, yang semuanya itu sama kualitasnya dengan term sami’a dimana
dengan term-term ini dapat diketahui bahwa periwayat hadits memiliki
ketersambungan sanad atau hubungan dengan perawi sebelumnya atau mempunyai
hubungan guru dan murid. Kriteria Otentisitas Hadits Albani Nashiruddin. Al-Albani dalam menentukan kriteria
otentisitas sebuah hadits bertumpu pada tingkat ketsiqohan isnad pada
masing-masing perawi, sebab bisa jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat
masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya
tidak tsiqoh (adil dan dhabit). Adapun kriteria ketersambungan sanad tersebut
adalah: pertama, periwayat hadits yang terdapat dalam sanad
hadits yang diteliti semua berkualitas tsiqat Kedua, masing-masing
periwayat menggunakan alat penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah
disepakati ulama’ yaitu (sami’asama’ sangat berragam diantaranya
adalah: سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, أخبرني, قال لنا, ذكرلنا. Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada
tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: (1) terjadi proses
guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijal al hadits dalam
kitabnya, (2) tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara
mereka atau dipastikan bersamaan, (3) mereka tinggal belajar atau mengabdi
(mengajar) ditempat yang sama. Albani menetapkan kriteria yang demikian karena
pada prinsipnya beberapa hadits yang telah dinilai sahih belum tentu
sahih sanadnya, sehingga hal terpenting bagi Albani ketika akan menentukan
otentisitas sebuah hadits adalah dengan meneliti atau melihat ketsiqohan isnad
hadits tersebut, oleh karena itu Albani berasumsi bahwa hadits yang tidak
tsiqoh isnadnya maka tidak tsiqoh pula haditsnya. Seperti Istinja, hukum membuang air kecil dan besar menghadap
kiblat Solusi, membuang air kecil dan besar menghadap kiblat hukumnya haram.
Larangan tersebut berlaku secara umum, walaupun dipadang pasir. [4]
Dengan demikian dapat disimpulkan metodenya adalah berdasarkan
analisis pada isnad, dengan menggunakan informasi yang
terdapat pada kamus-kamus biografi. dalam menentukan kriteria
otentisitas sebuah hadits bertumpu pada tingkat ketsiqohan isnad pada
masing-masing perawi, sebab bisa jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat
masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya
tidak tsiqoh (adil dan dhabit). dengan mengecek
terminologi isnad yang digunakan perawi semisal ‘an (diriwayatkan dari…), sami‘a (dia mendengar
…), haddatsana, akhbarana dan seterusnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
ketsiqohan isnadnya. Albani mengatakan bahwa hal ini bisa di ketahui dengan
melihat sanadnya, jika perawi tersebut menggunakan term “’an”
(diriwayatkan dari) maka isnadnya harus ditangguhkan sampai perawi tersebut
benar-benar mendengar secara langsung dari informannya.
[4] Phil. H.
Kamaruddin Amin, 2009, metode kritik hadits, menguji kembali keakuratan,
Jakarta: hikmah. Hlm 78
0 comments:
Post a Comment