Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Sunday, 27 November 2016

Muhammad Nasiruddin al-Albani



     1.    Biografi Muhammad Nasiruddin al-Albani
Nama, Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh al-Albani rahimahullah. Al-Bani adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh, dikenal dengan kuniah Abu 'Abdurrahman. Beliau lahir di Ashkodera, ibukota Al-bania tahun 1914 M di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana dan sibuk dengan ilmu agama, di ibukota Albania. Bapaknya, haji Nuh, adalah salah seorang ulama besar Albania kala itu, yang pernah menuntut ilmu di Istambul, Turki, kemudian kem\bali ke Albania untuk mengajarkan ilmu dan berdakwah. Lingkungan keluarga yang menaungi Syaikh al-Albani ketika masih kanak-kanak, penuh dengan cahaya Islam, yang tampak sangat terjaga dalam setiap sisi. Saat masih muda, ia hijrah ke Damaskus, tempat ia menyelesaikan sekolah dasarnya.[1] Muhammad Nasiruddin al-Albani mulai menuntu ilmu. Di Damaskus, lelaki kecil Muhammad Nashiruddin mulai menimba ilmu dengan mempelajari Bahasa Arab di Madrasah Jam'iyah al-Is'af al-Hairi. Disanalah beliau rahimahullah mulai menapaki dunia ilmu dan kemudian mendaki kemuliaan sebagai seorang alim. Orang yang paling pertama menanamkan pengaruhnya adalah bapaknya sendiri, Haji Nuh, yang merupakan salah seorang ulama Madzhab Hanafi kala itu. Dan untuk berapa lama beliau rahimahullah mengikuti taqlid madzhabi yang diajarkan bapaknya. Akan tetapi hidayah Allah selalu datang kepada orang yang dikehendaki-Nya kebaikan pada dirinya. Dan kemudian beliau rahimahullah muncul sebagai seorang yang tidak terkekang madzhab tertentu.
Begitulah al-Albani muda ini muncul sebagai seorang pemuda yang unggul dalam kajian hadits, yang pindah dari satu majelis pengajian ke majelis lainnya demi menimba ilmu. Semua sepak terjang beliau rahimahullah dalam mencari ilmu tadi, berbarengan dengan kehidupan beliau rahimahullah yang sangat pas-pasan. Sehingga untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari, beliau bergelut sebagai seorang tukang (servis) jam dan beliau dikenal sangat ahli dalam pekerjaan tersebut. Dan semua itu sama sekali tidak menghalangi beliau rahimahullah untuk menjadi seorang alim yang besar di kemudian hari.[2]
2.    Menjadi Guru Besar di Universias Madinah
Pada tahun 1962, Syaikh al-Albani mendapatkan panggilan dari Universitas Islam Madinah yang ketika itu dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, rektor Universitas tersebut yang sekaligus menjabat sebagai mufti (penasihat) Kerajaan Arab Saudi dan Syaikh al-Albani direncanakan akan diangkat menjadi dosen di sana. Di sana Syaikh al-Albani mengajar ilmu Hadits dan fiqh Hadits di fakultas pasca sarjana, bahkan menjadi Guru Besar ilmu Hadits. Kemudian pada tahun 1975, Syaikh al-Albani diangkat menjadi dewan tinggi Universitas Islam Madinah selama tiga tahun hingga kemudian memutuskan kembali pulang ke negaranya. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz memberikan komentar atas Syaikh al-Albani, "Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang sangat alim (berilmu) dalam ilmu hadits seperti al-'Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani", demikian ungkap beliau.
Berkat jerih payah dan keuletan sang Imam dan tentu saja karena taufik dari Allah, sejumlah karya tulis beliau rahimahullah mulai terbit dari tangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, akidah dan lainnya, terlebih dalam ilmu hadits yang memang merupakan spesifikasi beliau, yang menunjukkan kepada dunia ilmiah, luasnya ilmu yang telah Allah anugerahkan kepada beliau rahimahullah berupa pemahaman yang shahih, ilmu yang luas dan kajian yang dalam tentang hadits, dari berbagai sisinya. Ditambah lagi dengan manhaj beliau yang lurus, yang menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai tolok ukur dan dasar dalam segala sesuatu. Semua itu menjadikan sang Imam muncul sebagai sosok yang fenomenal, menjadi rujukan ahli ilmu dan dengan cepat keutamaan yang ada pada diri beliau dikenal oleh berbagai kalangan. Maka ketika Universitas Islam Madinah mulai dirintis, yang dipelopori oleh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, yang saat itu adalah Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh al-Albani rahimahullah langsung menjadi pilihan untuk menjadi guru besar Bidang Studi Hadits disana. Disana sang Imam sempat mengajar, dengan berbagai suka dan duka, selama tiga tahun. Dalam masa-masa itu, beliau rahimahullah adalah figur dan teladan dalam keuletan, kesungguhan dan keikhlasan mengabdi, sampai seringkali, pada waktu istirahat diantara mata pelajaran, beliau ikut serta duduk di tengah para mahasiswa diatas pasir demi menjawab pertanyaan dan berdiskusi dengan murid-murid beliau.[3]
Beliau adalah seorang yang sangat rendah hati, sehingga di tengah para mahasiswanya, beliau bagaikan salah seorang diantara mereka. Tak heran bila mobil pribadi beliau yang sederhana selalu dipenuhi oleh para murid-murid beliau yang selalu ingin mengambil faidah dari beliau rahimahullah. Kedekatan dan keakraban beliau adalah bukti bahwa pengajaran-pengajaran beliau memang menuai berkah disana. Diantara kenangan dan berkah yang masih tersisa sampai saat ini di Universitas Islam Madinah adalah metodologi kuliah yang beliau sampaikan dalam sub-disiplin "Ilmu Isnad." Beliau mengajarkan bidang ini dengan metode, memilih hadits dari Shahih Muslim misalnya, lalu menuliskannnya di papan tulis lengkap dengan sanad. Berikutnya beliau membawa kitab-kitab biografi rawi-rawi hadits, lalu menjelaskan kepada para mahasiswa tentang metodologi kritik rawi dan metodologi takhrij hadits, serta segala hal yang berkaitan dengannya. Pengajaran Ilmu Isnad yang dirintis beliau ini, menempatkan sosok beliau rahimahullah sebagai guru yang paling pertama menetapkan sub-disiplin ini sebagai mata pelajaran di perguruan tinggi dan itu yang paling pertama di dunia. Dan ketika sang Imam meninggalkan Universitas Islam Madinah untuk menetap di Yordania, metodologi pengajaran ini terus dijalankan oleh para dosen yang menggantikan beliau. Beliau juga menjadi Imam Para Ulama Ahli Hadits Abad Ini Begitu banyaknya karya tulis dan hasil-hasil studi beliau rahimahullah dalam dsiplin ilmu hadits; yang dikenal dengan kesimpulan-kesimpulan yang detil dan cermat, menjadikan beliau rahimahullah sebagai rujukan para ulama dan para penuntut ilmu di berbagai negara Islam. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mengambil faidah dari berkah ilmu beliau.
3.    Karya-karya Beliau
Tercatat kurang lebih 200 karya mulai dari ukuran satu jilid kecil, besar, hingga yang berjilid-jilid, baik yang berbentuk karya tulis pena, takhrij (koreksi hadits) pada karya orang lain, buku khusus takhrij hadits, maupun tahqiq (penelitian atas kitab tertentu dari segala macam sisinya), lalu dituangkan dalam catatan kaki dalam kitab tersebut. Sebagiannya telah lengkap, sebagiannya lagi belum sempurna (karena wafat) dan sebagiannya lagi sudah sempurna namun masih dalam bentuk manuskrip (belum dicetak dan diterbitkan). Beberapa di antaranya yang paling populer serta monumental adalah:
a.    Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah wa Syai'un min Fiqiha wa Fawaaidiha (9 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah terhadap hadits-hadits Nabi untuk dinyatakan shahih sesuai dengan kaidah musthalah hadits yang telah disepakati ulama ahli hadits sepanjang zaman. Berdasarkan penomoran terakhir dari kitab itu, jumlah hadits yang tertera adalah 4.035 buah.
b.    Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi' fil Ummah (14 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah atas hadits-hadits untuk dinyatakan lemah atau palsu sesuai dengan kaidah musthalah hadits yang telah disepakati ulama ahli hadits sepanjang zaman. Rata-rata setiap jilidnya berisikan 500 buah hadits.
c.    Irwa'ul Ghalil (8 jilid), kitab ini berisikan takhrij (studi ilmiah) atas hadits-hadits dalam kitab Manarus Sabil. Berdasarkan penomoran hadits di jilid terakhir, jumlah haditsnya sebanyak 2.707 buah.
d.   Shahih & Dha'if Jami' ash-Shaghir wa Ziyadat ihi, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan as-Suyuthi lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif. Tercatat, yang shahih berjumlah 8.202 hadits dan yang tidak shahih berjumlah 6.452 hadits.
e.    Shahih Sunan Abu Dawud dan Dhaif Sunan Abu Dawud, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Abu Dawud lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif atau yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 5.274 buah.
f.     Shahih Sunan an-Nasa'i dan Dhaif Sunan an-Nasa'i, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Nasai lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif atau yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 5.774 buah.
g.    Shahih Sunan Ibnu Majah dan Dhaif Sunan Ibnu Majah, kedua kitab ini berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Ibnu Majah lalu Syaikh al-Albani memberikan keterangan hukum pada setiap hadits dengan hukum yang sesuai, apakah shahih ataukah dhoif atau yang lainnya, dengan total jumlah hadits sebanyak 4.341 buah. Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti misalnya (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia):
1.    Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah,
2.    Ahkaamul Janaaiz,
3.    Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil,
4.    Tamaamul Minnah fi Ta’liq 'Alaa Fiqh Sunnah,
5.    Shifat salat Nabi shallahu'alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha (berisi tuntunan-tuntunan dalam melaksanakan salat sebagaimana yang tertera dalam hadits Nabi),
6.    Fitnatut Takfiir (kitab ini memuat hadits-hadits dan penjelasan ulama besar masa lampau tentang bahaya dari mudah/gegabah dalam mengkafirkan seseorang),
7.    Jilbaab Al-Mar’atul Muslimah,
8.        Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa 'alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman (kitab ini memuat hadits yang berbentuk riwayat-riwayat kabar tentang kedatangan Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman),
9.        Dan lain-lain.
Semua ini adalah sebuah realisasi proyek besar Syaikh al-Albani yang disebutnya dengan "Taqribus Sunnah Baina Yadayil Ummah" (Mendekatkan Sunnah Kehadapan Ummat), tujuannya adalah memudahkan ummat secara umum untuk mengambil hadits Nabi yang shahih secara instan tanpa harus kepayahan untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Agar ummat lebih akrab dengan hadits Nabi yang shahih dan lebih mudah untuk mendapatkannya, namun di sisi lain Syaikh al-Albani pun juga menuliskan kitab yang berisikan kaidah-kaidah ilmu hadits yang sudah disepakati oleh para ulama ahlul hadits sepanjang zaman, tentunya ini adalah bagi mereka yang tertarik juga untuk mempelajari ilmu hadits.

4.    Cara Pandang
Syaikh al-Albani sangat aktif di medan dakwah dan sangat memerangi metode taklid, taklid yaitu menerima apa pun yang dikatakan seseorang (biasanya ulama atau ahli ilmu) tanpa mempertanyakan keabsahan dasar penyandaran hukumnya. Ayahnya cenderung senantiasa mengarahkannya kepada mazhab Hanafi untuk kemudian menjadi ulama mazhab Hanafi mengikuti jejak ayahnya, namun ternyata yang terjadi adalah lain dari apa yang diharapkan oleh ayahnya. Ketekunan terhadap ilmu hadits menyebabkan Syaikh al-Albani tidak mau terikat dengan mazhab tertentu. Bahkan secara prinsip, Syaikh al-Albani terikat dengan 4 mazhab sekaligus, yaitu dalam hal penyandaran hukum, yaitu menyandarkan semua syariat kepada al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits) dengan dibimbing pemahaman para Salafusshalih (para Sahabat Nabi).
Sebagaimana Islam yang satu di atas pemahaman yang satu dan murni sebagaimana Islam di masa Nabi dan para Sahabatnya, maka metode memurnikan ajaran Islam dengan cara kembali pada pemahaman para Sahabat Nabi dalam menerapkan syariat Islam dan memahami al-Qur'an serta as-Sunnah adalah satu-satunya cara untuk mempersatukan umat yang saat ini terpecah-pecah akibat dari adanya hizbi (partai atau kelompok), sekte, maupun aliran yang bermacam-macam. Dan bahkan dengan adanya perbedaan mazhab Imam pun bisa memecah belah kesatuan umat. Akibat dari perpecahan ini adalah menjadi lemahlah kekuatan ukhuwah ummat dan sangat mudah diprovokasi oleh orang-orang yang memusuhi Islam.
5.    Metode Al-Albani dalam Menentukan Keshahihan Hadits
Dalam menentukan kesahihan (autentisitas) hadits dan kepalsuan sebuah hadits tertentu berdasarkan analisis pada isnad, dengan menggunakan informasi yang terdapat pada kamus-kamus biografi. Isnad yang tidak tsiqoh, berarti tidak tsiqoh haditsnya. Akibatnya, ia merasa tidak penting menafsirkan sebuah hadits yang ber-isnad tidak tsiqoh, karena penafsiran adalah bagian dari autentifikasi. Dapat difahami bahwa hadits yang sahih adalah hadits yang isnadnya tsiqoh (terpercaya) jika isnadnya tidak tsiqoh berarti tidak sohih haditsnya, sedangkan untuk mengetahui tingkat ketsiqohan isnad tersebut metode yang dipakai Albani adalah dengan menggunakan informasi atau sumber-sumber dari kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Sayangnya beliau hanya mengikuti penilaian dari para penulis biografi mengkaji secara komprehensif biografi tersebut. Sehingga beliau mengemukakan bahwa isnad hadis yang tidak tsiqah (terpercaya) berarti tidak tsiqah pula hadisnya dan karenanya harus ditolak. Penafsiran apa pun terhadap matan hadis dan periwayatannya tidak relevan bagi Al-Albani. Karena menurut beliau penafsiran juga bagian dari autentifikasi hadis, sedang Al-Albani hanya bertumpu pada ketsiqahan isnad, bukan matannya. Caranya, di antaranya, adalah dengan mengecek terminologi isnad yang digunakan perawi semisal ‘an (diriwayatkan dari…), sami‘a (dia mendengar …), haddatsanaakhbarana dan seterusnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketsiqohan isnadnya, karena jika terdapat hadits yang periwayatnya tidak mendengar hadits yang diriwayatkannya secara langsung maka ketsiqohan isnadnya perlu dipertanyakan kembali. Albani mengatakan bahwa hal ini bisa di ketahui dengan melihat sanadnya, jika perawi tersebut menggunakan term “’an”  (diriwayatkan dari) maka isnadnya harus ditangguhkan sampai perawi tersebut benar-benar mendengar secara langsung dari informannya. Kecuali jika perawinya mendengar secara langsung dari informannya maka hadits ini dianggap memiliki isnad yang tsiqoh dan haditsnya bisa digunakan sebagai hujjah, karena perawinya dianggap muttashil (bersambung). Menurut Albani hal ini bisa diketahui dengan melihat sanadnya apakah dalam periwayatannya menggunakan term hadatsana, akhbarana, anba’ana, yang semuanya itu sama kualitasnya dengan term sami’a dimana dengan term-term ini dapat diketahui bahwa periwayat hadits memiliki ketersambungan sanad atau hubungan dengan perawi sebelumnya atau mempunyai hubungan guru dan murid. Kriteria Otentisitas Hadits Albani Nashiruddin. Al-Albani dalam menentukan kriteria otentisitas sebuah hadits bertumpu pada tingkat ketsiqohan isnad pada masing-masing perawi, sebab bisa jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqoh (adil dan dhabit). Adapun kriteria ketersambungan sanad tersebut adalah: pertama, periwayat hadits yang terdapat dalam sanad hadits yang diteliti semua berkualitas tsiqat Kedua, masing-masing periwayat menggunakan alat penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama’ yaitu (sami’asama’ sangat berragam diantaranya adalah: سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, أخبرني, قال لنا, ذكرلنا. Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: (1) terjadi proses guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijal al hadits dalam kitabnya, (2) tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan, (3) mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) ditempat yang sama. Albani menetapkan kriteria yang demikian karena pada prinsipnya beberapa  hadits yang telah dinilai sahih belum tentu sahih sanadnya, sehingga hal terpenting bagi Albani ketika akan menentukan otentisitas sebuah hadits adalah dengan meneliti atau melihat ketsiqohan isnad hadits tersebut, oleh karena itu Albani berasumsi bahwa hadits yang tidak tsiqoh isnadnya maka tidak tsiqoh pula haditsnya.  Seperti Istinja, hukum membuang air kecil dan besar menghadap kiblat Solusi, membuang air kecil dan besar menghadap kiblat hukumnya haram. Larangan tersebut berlaku secara umum, walaupun dipadang pasir. [4]
Dengan demikian dapat disimpulkan metodenya adalah berdasarkan analisis pada isnad, dengan menggunakan informasi yang terdapat pada kamus-kamus biografi. dalam menentukan kriteria otentisitas sebuah hadits bertumpu pada tingkat ketsiqohan isnad pada masing-masing perawi, sebab bisa jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqoh (adil dan dhabit). dengan mengecek terminologi isnad yang digunakan perawi semisal ‘an (diriwayatkan dari…), sami‘a (dia mendengar …), haddatsanaakhbarana dan seterusnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketsiqohan isnadnya. Albani mengatakan bahwa hal ini bisa di ketahui dengan melihat sanadnya, jika perawi tersebut menggunakan term “’an”  (diriwayatkan dari) maka isnadnya harus ditangguhkan sampai perawi tersebut benar-benar mendengar secara langsung dari informannya.















[1] Ahmad Rasyid, Mahmud, tunutunan fikih islam Syeikh Al-Bani, Jakarta: Pustaka Azzam. Hlm 71
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Phil. H. Kamaruddin Amin, 2009, metode kritik hadits, menguji kembali keakuratan, Jakarta: hikmah. Hlm 78

0 comments: