Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

BERDIRI DI UJUNG NEGERI

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU GARUDA PERBATASAN

TEMAJUK, SAMBAS.

TANJUNG DATOE INDONESIA

INDAHNYA INDONESIA KU, TEMAJUK, SAMBAS.

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

BERDIRI DI BATAS NEGERI, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU KETUPAT BERDARAH

SAKSI BISU PERTUMPAHAN DARAH 1999, JAWAI, SAMBAS

Thursday, 24 November 2016

Bencana Alam di Sesali atau di Syukuri


     1.      Pengertian Bencana Alam
Bencana  secara etimologis adalah sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya, dan dapat juga berarti  gangguan, godaan serta tipuan. Kata bencana selalu identik dengan sesuatu dan situasi negatif yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata disaster. Disaster berasal dari Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi. Sedangkan bencana alam adalah kecelakaan besar yang disebabkan  oleh faktor alam atau faktor nonalam maupun faktor manusia , seperti kerusakan lingkungan,  gempa bumi, angin besar, dan banjir serta lain sebagainya.
2.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bencana Alam
Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni atas kehendak dan izin dari Allah. Kedua, bencana yang terjadi akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia (human error). Dan ketiga, bencana sebagai bentuk rasa kasih sayang Allah SWT.
a.       Kehendak dan Izin dari Allah SWT
Bencana yang merupakan kehendak dan izin dari Allah adakalanya merupakan bencana sebagai bentuk hukuman, bencana sebagai teguran, serta bencana sebagai bentuk kasih sayang dari Allah. Bencana dalam bentuk hukuman adalah azab.
b.      Bencana Sebagai Teguran
Allah telah menetapkan ketentuan dan aturan bagi manusia. Perlu diketahui bahwa untuk melakukan semua ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, diperlukan perjuangan yang tidak mudah, karena dalam kehidupannya manusia diiringi dengan hawa nafsu dan juga setan.
c.       Bencana Sebagai Bentuk Kasih Sayang Allah SWT
Quraish Shihab sangat menekankan bahwa ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya adalah  sedikit. Menurutnya, kata  sedikit ini sangat wajar karena betapapun besarnya ujian dan cobaan, ia adalah sedikit jika dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang akan diterima. Karena cobaan dan ujian itu bisa terjadi dalam bentuk yang lebih besar dari pada yang telah terjadi. Karena potensi dan nikmat yang telah dianugerah Allah kepada manusia jauh lebih besar, maka manusia pasti akan mampu melalui ujian itu jika ia telah membekali diri dengan iman dan menggunakan potensi-potensi yang telah dianugerahkan  oleh Allah SWT.
3.      Ayat al-Qur’an yang Terkait Beserta Penafsirannya
!$tBur Nà6t7»|¹r& `ÏiB 7pt6ŠÅÁB $yJÎ6sù ôMt6|¡x. ö/ä3ƒÏ÷ƒr& (#qàÿ÷ètƒur `tã 9ŽÏWx. ÇÌÉÈ  
Artinya :” Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.

Quraish Shihab menafsirkan ‘perbuatan tangan’ pada ayat tersebut sebagai dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Namun Allah adalah Maha Pengasih, Dia tetap melimpahkan rahmat-Nya dan Dia memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahan yang telah manusia perbuat, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut tidak mengakibatkan musibah bagi manusia. Seandainya Allah tidak memaafkannya, maka pastilah semua manusia binasa bahkan tidak akan ada satu binatang melata pun di jagad raya ini yang tersisa.
4.      Bencana Alam Perspektif  al-Qur’an
Term mushibah, bala’, fitnah, azab, fasad, ‘iqab, tadmir, dan halak menurut al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: pertama  menunjukkan kerusakan kolektif, kedua menunjukkan kerusakan secara makna, dan ketiga menunjukkan pada keburukan dan bahaya yang menimpa.
a.       Kerusakan Kolektif
Bencana yang menunjukkan pada kerusakan kolektif ini adalah bencana yang terjadi dan akibat dari perbuatan dan tindakan manusia, kemudian akibatnya dapat dirasakan dan dilihat secara langsung di dunia ini. Adapun term-term yang menunjukkan pada makna demikian adalah fasad, tadmir, dan halak.
a). Fasad
Menurut Quraish Shihab, fasad  فسد  adalah sebuah aktifitas yang mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilainya dan atau berfungsi dengan baik serta bermanfaat menjadi kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya.  Kata fasad  فسد sebagian besar disandingkan dengan kata al-ard’ الأرض , yang mana hal ini menunjukkan bahwa ketika kata fasad فسد digunakan dalam al-Qur’an, maka itu menunjukkan kerusakan yang ada dibumi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa  peringatan Allah kepada manusia tentang akibat dari perusakan tersebut sangat jelas disebutkan dalam al-Qur’an, namun manusia lebih cenderung menggunakan akal dan potensi yang dimilikinya untuk menyelesaikan dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya, sehingga dengan dan tanpa ia sadari petunjuk-petunjuk yang Allah berikan mereka abaikan. Adapun kerusakan terbesar yang seringkali terjadi adalah di daratan dan lautan.  Menurut Quraish Shihab, kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan telah mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah dalam satu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia.
b). Tadmir
Ketika al-Qur’an menggunakan kata tadmir  تدمیر , maka di situ pasti mengandung pengertian sebuah kehancuran atau kebinasaan yang cukup parah, bahkan bisa mencakup satu negeri. Menurut Quraish Shihab kehancuran dan kebinasaan yang terdapat dalam al-Qur’an tidak selamanya berupa kehancuran secara fisik, dalam artian kehancuran tersebut menimpa gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan lain sebagainya, namun terkadang kehancuran tersebut menunjuk pada kehancuran secara psikis, yakni kehancuran sistem kemasyarakatan dan hubungan sosial yang selaras.
c) Halak
Menurut al-Asfahani, kata halak ھلك memiliki tiga pengertian. Pertama, hilangnya sesuatu dari seseorang.  Kedua, rusaknya sesuatu akibat perbuatan seseorang. Ketiga, mati. Dalam al-Qur’an penggunaan kata halak  ھلك sering kali didahului dengan penyebutan istifham إستفھام. Ketika kata kam digunakan oleh al-Qur’an, ia seringkali dipahami dalam arti ‘banyak’. Sebagaimana kata kam yang terdapat pada Q.S. al-A’raf (7) ayat 4-5, yang berarti “Padahal betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan”.
b.      Kerusakan Secara Makna
Kerusakan secara makna yang dimaksud di sini adalah bencana yang menyebabkan kerusakan yang mana kerusakan tersebut terjadi akibat dari perbuatan manusia yang berdampak pada rohani, psikis atau keimanan mereka, atau dengan kata lain, kerusakan itu tidak tampak oleh penglihatan manusia.  Adapun term-term yang menunjukkan pada kerusakan secara makna adalah, bala’, fitnah, azab, dan ’ iqab.
a). Bala’
Kata bala’ ini berarti menguji atau memberikan cobaan. selanjutnya, kata bala’ kemudian diartikan sebagai ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Menurut Quraish Shihab, bala’ atau ujian merupakan suatu keniscayaan hidup. Ada dua bentuk bala’ yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, Pertama, bala’ atau ujian yang khusus diberikan kepada para nabi dan rasul. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka akan semakin berat juga ujian yang diberikan Allah kepadanya. Kedua, bala’ atau ujian yang berlaku umum dan diberikan kepada seluruh umat manusia. Bala’ atau ujian pada kategori kedua ini cenderung bersifat lebih ringan, Sehingga Allah tidak hanya memberikannya kepada para nabi dan rasul saja, melainkan kepada seluruh umat manusia, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
b). Fitnah
Makna awal dari kata fitnah ini biasa digunakan untuk menyebutkan pandai emas yang membakar emas untuk mengetahui kadar dan kualitasnya., kemudian kata fitnah memiliki beberapa pengertian yang digunakan dalam al-Qur’an. Pertama, menunjukkan arti siksa atau memasukkan manusia ke dalam api neraka.  Kedua, menunjukkan arti bencana.  Ketiga, menunjukkan arti menguji atau memberikan cobaan, baik cobaan itu berupa nikmat atau kebaikan, maupun berupa kesulitan dan keburukan. Keempat, berarti kekacauan.
c). Azab
Penggunaan kata azab dalam al-Qur’an selalu menunjukkan pada makna siksa.Sebagian besar penggunaan kata azab dalam al-Qur’an terletak pada akhir ayat sebagai penutup dan penyebutannya dibarengi dengan kata-kata tertentu seperti, عذاب ألیم  siksa yang pedih, شدید العذاب amat besar siksanya, عذاب العظیم siksa yang besarعذاب النار siksa api neraka, عذاب المھین siksa yang menghinakan, dan lain sebagainya. Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pengampun, sehingga selama manusia memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan memaafkannya.
d). ‘Iqab
عقاب digunakan dalam pengertian kesudahan yang tidak menyenangkan, pembalasan yang berupa siksa atau sanksi atas suatu pelanggaran. Quraish Shihab membedakan antara siksa dan pembalasan. Menurutnya yang di dunia adalah siksa duniawi, dimana siksa dunia belum mencakup pembalasan, dan pembalasan-Nya akan diberikan di akhirat kelak, yaitu berupa siksa.
c.       Keburukan dan Bahaya yang Menimpa
Bencana adakalanya berupa sebuah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan harapan, dan bisa juga menunjukkan pada suatu bahaya yang menimpa manusia. Adapun term yang menunjukkan pada pengertian tersebut adalah mushibah. Kata mushibah sendiri pada awalnya berarti mengenai atau menimpa, akan tetapi pada perkembangannya, kata ini kemudian dikhususkan pada makna musibah atau bencana saja. Menurut Quraish Shihab, pengertian mengenai atau menimpa tersebut memang bisa saja mengarah pada sesuatu yang menyenangkan, namun apabila al-Qur’an menggunakan kata mushibah, maka ia berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Ada dua indikator dari al-Qur’an yang menunjukkan pada sebab-sebab diberikannya bencana kepada manusia, yaitu: (1) aidikum أیدیكم tangan kalian sendiri, dan (2) min ‘indi anfusikum من عند أنفسكم  disebabkan dari diri kalian sendiri. Kedua kata ini menunjukkan bahwa ketika al-Qur’an menyebutkan bencana dengan menggunakan term mushibah, maka di situ pasti terdapat penyebab ditimpakan bencana  terdapat penyebab ditimpakan bencana tersebut kepada manusia, yang mana itu berasal dari manusia itu sendiri.


Filologi


     A.    Pengertian Filologi
Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’. Arti itu kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’ dan ‘senang kesustraan’ atau ‘senang kebudayaan’.
Sebagai istilah, filologi merupakan suatu disiplin ilmu yang ditujukan pada studi teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Menurut Djamaris (1977: 20), filologi merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya berupa manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah kuno. Di Jawa, penyebutan filologi mengikuti penyebutan yang ada di negeri Belanda, yaitu suatu disiplin ilmu yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks (Baroroh-Baried, 1985: 3). Dari pengertian tersebut, penelitian dengan pendekatan filologi bertugas mencari kandungan naskah yang disimpan di dalam teks-teks naskah kuno.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah meneliti naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada di dalamnya. Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.
Salah seorang filolog Indonesia ternama adalah Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka.
Ada beberapa pendapat tentang pnegertian filologi, yaitu :
1.      Menurut Kamus Istilah Filologi (Baroroh Baried, R. Amin Soedoro, R. Suhardi, Sawu, M. Syakir, Siti Chamamah Suratno: 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan-nya.
2.      Sementara itu dalam Leksikon Sastra (Suhendra Yusuf: 1995) dikatakan bahwa dalam cakupan yang luas filologi berarti seperti tersebut di atas, sedangkan dalam cakupan yang lebih sempit, filologi merupakan telaah naskah kuno untuk menentukan keaslian, bentuk autentik, dan makna yang terkandung di dalam naskah itu.
3.      Dictionary of World Literature (Joseph T. Shipley, ed.: 1962) memuat definisi filologi secara panjang lebar. Dalam kamus ini dijelaskan asal kata filologi dan orang-orang yang pertama kali menggunakan kata itu. Di samping itu dijelaskan pula perkembangan ilmu filologi di beberapa tempat. Misalnya pada abad ke-19 istilah filologi di Inggris selalu berhubungan dengan ilmu linguistik. Filologi juga termasuk dalam teori sastra dan sejarah sastra. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kritik sastra tidak mungkin ada tanpa filologi.
Jika setiap definisi tersebut kita cermati lebih lanjut, setidak-tidaknya sebagian kecil dari masing-masing definisi ada yang sama. Setiap definisi menggolongkan filologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno. Dari naskah-naskah kuno itu dapat diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual suatu bangsa.    
B.     Tujuan filologi
Secara umum, filologi bertujuan mengungkapkan hasil pemikiran, pengalaman, dan budaya yang hidup pada masa lalu. Dengan cara seperti itu muncul juga manfaatnya, yakni terkodifikasinya nilai-nilai budaya klasik, melestarikan budaya yang terkandung dalam naskah itu dan memperkenalkannya kepada masyarkat. 
Adapun filologi terdapat 2 tujuan yaitu tujuan umum dan khusus :
a.       Tujuan umum filologi:
1.      memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tulisan.
2.       memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya.
3.      mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternative pengembangan kebudayaan.
b.      Tujuan khusus filologi:
1.      menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks Aslinya.
2.      mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.
3.      mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.
C.     Manfaaat filologi
Secara umum manfaat filologi adalah menjaga kelestarian warisan luhur nenek moyang yang terkanding dalam naskah-naskah klasik. Dengan filologi naskah-naskah yang diambang kerusakan bisa diselamatkan. Lebih jauh dari itu hasil kerja filologi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari berbagai bidang pekerjaan dan cabang ilmu untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan mereka di bidangnya masing-masing.
Dilihat dari pelestarian dan pengembangan budaya dan sastra daerah, filologi bernilai strategis. Objek studi filologi berasal dari berbagai daerah di nusantara yang dengan sendirinya membantu pelestarian dan pengembangan budaya dan sastra daerah. Rekonstruksi historis jadi mungkin dilakukan karena hasil kerja filologi. Selain rekonstruksi historis, adanya hasil kerja filologi bisa dijadikan dasar pemahaman akan kebudayaan bangsa Indonesia sebagai suatu pemahaman yang bisa dipertanggung jawabkan secara moral karena ditunjang oleh akar argemen yang kuat secara historis.
Manfaat-manfaat khusus yang dapat dinikmati dari hasil kerja filologi antara lain:
a.       Untuk bidang bahasa, memperkaya perbendaharaan kata (istilah) dalam rangka penyusunan kamus.
b.      Untuk Bidang Sastra, mengenal, mempelajari, dan menikmati karya sastra Lama yang ada di nusantara.
c.       Untuk Bidang Sejarah, dapat digunakan sebagai sumber data sejarah masa lalu, terutama tentang sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara.
d.      Untuk Bidang Pendidikan, isi cerita dapat dijadikan suri teladan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekarang.

D.    Objek kajian filologi
Objek kajian  atau bisa juga disebut dengan objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Berikut ini adalah uraian tentang naskah dan teks.
a.       Naskah
Naskah dalam bahasa Inggris disebut manuskrip dan dalam bahasa Belanda disebut handschrift, Menurut Darusuprapta (1984:10), naskah adalah karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Baroroh-Baried (1977: 20) berpendapat bahwa naskah merupakan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah adalah tulisan tangan, baik asli maupun salinannya yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau.
Peninggalan-peninggalan naskah pada masa lampau banyak yang tersebar di wilayah Jawa. Adapun lembagalembaga
yang menyimpan naskah Jawa, antara lain: Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional di Yogyakarta, serta naskah-naskah koleksi pribadi yang tersebar luas di segala lapisan masyarakat.

Naskah Jawa mengandung isi bermacam-macam, di antaranya naskah mengandung unsur peristiwa penting dalam sejarah, sikap dan pikiran serta perasaan masyarakat, ide kepahlawanan, sikap bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada pula naskah yang menguraikan sistem pemerintahan, tata hukum, adat istiadat, kehidupan keagamaan, ajaran moral, perihal pertunjukan beserta segenap peralatannya (Darusuprapta, 1995: 137).
b.      Teks
Objek penelitian selain naskah adalah teks. Teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Kandungan naskah yang menyajikan berbagai aspek sekarang sudah mulai mendapat perhatian peneliti. Hal itu disebabkan karena kandungan naskah menyimpan informasi tentang produk-produk masa lampau mempunyai relevansi dengan produk-produk masa kini. Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu:
(1)   teks lisan atau tidak tertulis
(2)   teks naskah atau tulisan tangan, dan
(3)   teks cetakan (Baroroh-Baried, 1985: 56).
Adapun salah satu isi teks, yaitu berupa sêngkalan. Sêngkalan adalah
rangkaian kata-kata, gambar, atau perwujudan tertentu yang mengandung makna
bilangan atau angka (Darusuprapta, 1985: 348). Sêngkalan tersebut, yakni sebagai berikut.
1.      Sifat (bernilai) satu, yaitu barang (bagian tubuh manusia atau hewan) yang berjumlah satu buah, barang berbentuk bundar.
2.      Sifat (bernilai) dua, yaitu barang yang berjumlah dua buah.
3.      Sifat (bernilai) tiga, yaitu api atau barang-barang yang mengandung api.
4.      Sifat (bernilai) empat, yaitu kata-kata yang mempunyai sifat gawe, barang-barang yang berisi air.
5.      Sifat (bernilai) lima, yaitu buta, panah, dan angin.
6.      Sifat (bernilai) enam, yaitu sebutan untuk rasa, kata-kata yang mengandung arti bergerak, yang berarti kayu, dan nama-nama serangga.
7.      Sifat (bernilai) tujuh, yaitu gunung, pendeta, naik, dan kuda.
8.      Sifat (bernilai) delapan, yaitu gajah, hewan melata (reptil).Sifat (bernilai) sembilan, yaitu dewa, barang-barang yang dianggap berlubang.
9.      Sifat (bernilai) sepuluh, yaitu kata-kata yang mengandung arti tidak ada, berarti langit, atau tinggi.

E.     Ruang lingkup filologi
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Pada saat itu, perpustakaan Iskandariyah mendapatkan banyak naskah berupa gulungan papyrus dari beberapa wilayah di sekitarnya. Sebagian besar naskah tersebut sudah mengandung sejumlah bacaan yang rusak dan korup, diantaranya adalah naskah-naskah Alkitab yang muncul dalam beberapa versi. Keadaan ini mendorong para ilmuwan untuk mengadakan kajian untuk mengetahui firman Tuhan yang dianggap paling asli. Mereka menyisihkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut. Jika naskah yang mereka hadapi dalam jumlah besar atau lebih dari satu naskah, maka kajian juga dihadapkan pada bacaan-bacaan (varian-varian) yang berbeda.
Dalam perkembangan terakhirnya, filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak tepat. 
Obyek kajian filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah.

 Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah. ‘Naskah’ sering pula disebut dengan ‘manuskrip’ atau ‘kodeks’ yang berarti tulisan tangan.
Naskah yang menjadi obyek kajian filologi mempunyai karaktristik bahwa naskah tersebut tercipta dari latar social budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar social budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak. Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu telah mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau.