Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

BERDIRI DI UJUNG NEGERI

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU GARUDA PERBATASAN

TEMAJUK, SAMBAS.

TANJUNG DATOE INDONESIA

INDAHNYA INDONESIA KU, TEMAJUK, SAMBAS.

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

BERDIRI DI BATAS NEGERI, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU KETUPAT BERDARAH

SAKSI BISU PERTUMPAHAN DARAH 1999, JAWAI, SAMBAS

Tuesday, 22 November 2016

Keluarga Sakinah Mawaddah Warrahmah dalam Islam


      a.      Sakinah
Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan nama sakinah itu diambil dari penggalan al-Qur’an surah Ar-Ruum: 21 “Litaskunu ilaiha” yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
b.      Mawaddah
Di dalam keluarga sakinah itu pasti akan muncul mawaddah dan rahmah (QS Ar-Ruum :21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Karena itu, Setiap mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Mawaddah cinta yang lebih condong pada material seperti cinta karena kecantikan, ketampanan, bodi yang menggoda, cinta pada harta benda, dan lain sebagainya. Mawaddah itu sinonimnya adalah mahabbah yang artinya cinta dan kasih sayang.
c.       Warahmah
Wa artinya dan. Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab, kitab ta’riifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim) Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang ter-implementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
1.      Pilar – pilar membentuk keluarga Sakinah Mawadah Warahmah
Untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah perlu melalui proses yang panjang dan pengorbanan yang besar, di antaranya:
1.      Pilih pasangan yang shaleh atau shalehah yang taat menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SWT. 
2.      Pilihlah pasangan dengan mengutamakan keimanan dan ketaqwaannya dari pada kecantikannya, kekayaannya, kedudukannya.
3.      Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
4.      Pilihlah pasangan keturunan keluarga yang terjaga kehormatan dan nasabnya.
5.      Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan yang dilarang Allah SWT.
6.      Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman, cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat menyelamatkan anggota keluarganya dario siksa api neraka.
7.      Istri berusaha menjalankan kewajibann ya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentan agama islam dan ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga, memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.
8.      Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai, merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.
9.      Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi badai dan gelombang kehidupan.
10.  Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama, seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersukur kepada Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-qur’an, berziarah qubur, menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.
11.  Suami istri selalu meomoh kepada Allah agar diberikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
12.  Suami secara berkala mengajak istri dan anaknya melakukan instropeksi diri untuk melakukan perbaikan dimasa yang akan datang. Misalkan, suami istri, dan anak-anaknya saling meminta maaf pada anggota keluarga itu pada setiap hari kamis malam jum’at. Tujuannya hubungan masing-masing keluarga menjadi harmonis, terbuka, plong, tanpa beban kesalahan pada pasangannnya, dan untuk menjaga kesetiaan masing-masing anggota keluarga.
13.  Saat menghadapi musibah dan kesusahan, selalu mengadakan musyawarah keluarga. Dan ketika terjadi perselisihan, maka anggota keluarga cepat-cepat memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan nafsu amarahnya.
14.  Rasulullah SAW bersabda “Apabila Allah menghendaki, maka rumahtangga yang bahagia itu akan diberikan kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormayi yang tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat” (HR Dailami dari Abas ra)
Menurut hadist Rasulullah SAW, yang dilansir di awal tulisan ini, paling tidak ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan suami istri:
a.      Harus banyak mempelajari ilmu-ilmu agama. 
Faktor ajaran Islam memegang peranan penting karena ajaran agama (Islam) ini merupakan petunjuk untuk membedakan antara yang hak dan batil, antara yang menguntungkan dan merugikan, yang pada gilirannya merupakan pegangan dalam meniti kehidupan berkeluarga.
Salah satu contoh ajaran Islam, walaupun seorang laki-laki dan perempuan sudah membina rumah tangga, harus tetap berbakti kepada kedua orangtua kedua belah pihak sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini: "Ridho Allah tergantung kepada keridhaan orang tuanya dan murka Allah juga diakibatkan kemurkaan orang tuanya."
Berbakti kepada orang tua bukan cuma memberikan material semata, tetapi banyak cara termasuk berbakti kepada mereka yang sudah meninggal dunia dengan memanjatkan doa kepada Allah SWT memohon keselamatan dan ampunan bagi mereka.
Pihak keluarga muslim yang bahagia adalah ketakwaan kepada Allah SWT yang didirikan berdasarkan ilmu keagamaan. Dengan pilar ini maka semua kekurangan akan dapat dilengkapi. Dia juga pematri pemandu hati, pembina watak dan pembersih jiwa. Dengan ketakwaan juga dia akan menjadi kompas penunjuk hak dan pengikat kewajiban dan dia pulalah pemudah semua kesulitan dan penangkal segala kejahatan. Takwa juga akan menjadi pemacu segala kebajikan dan pemersatu segala perbedaan.
b.      Akhlak dan Kesopanan.
Di dalam rumah tangga yang bahagia sudah terjalin hubungan harmonis antara sesama keluarga. Mereka yang muda menghormati yang tua, begitu juga sebaliknya yang tua menghargai dan mencintai yang muda. Sikap saling menghormati dan menyayangi dalam keluarga ini digariskan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW: "Tidaklah termasuk umatku orang-orang yang tidak menghormati orang tua dan orang yang tidak menyayangi orang-orang kecil/muda."
c.       Etika pergaulan
Dalam rumah tangga yang bahagia akan tercermin melalui keharmonisan antara sesama anggota keluarga. Masing-masing anggota keluarga dapat menempatkan diri dan menjalankan tugasnya masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Suami bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anak, sedangkan isteri tidak membuat kebijakan tanpa sepengetahuan suami. Demikian pula anak-anak selalu mematuhi kehendak orang tuanya. Dalam rumah tangga yang bahagia tidak ada perasaan saling mencurigai dan saling salah menyalahkan.
Rumah tangga yang serba berkecukupan dengan harta benda yang melimpah belum menjamin penghuninya berbahagia. Malahan dengan harta melimpah disertai kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang luas sering menimbulkan persoalan yang tiada henti.
Akibatnya kehidupan dalam keluarga kurang harmonis karena tidak ada lagi komunikasi atau terbatasnya untuk bersama dalam keluarga karena sibuk dengan kepentingan masing-masing. Inilah salah satu penyebab retaknya kehidupan rumah tangga. Namun sebagian besar penyebab kehancuran suatu rumah tangga karena tidak pandai berhemat dan tidak memikirkan bagaimana hidup esok hari.
d.      Menyadari Cacat Diri Sendiri masing-masing anggota keluarga (saling introspeksi)
Sudah menjadi kebiasaan sampai sekarang tidak menyadari aib atau cacat diri sendiri. Tetapi melihat aib orang lain sudah menjadi tren yang populer. Dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia, mereka tidak saling membuka aib, tetapi sebaliknya saling menutupi aib.  Kemudian yang harus disadari bahwa masing-masing orang memiliki kekurangan dan kelebihaan. Kekurangan dan kelebihan masing-masing inilah yang harus dimanfaatkan untuk saling mengisi dan menutupi sehinga selaras dan serasi.
Sebagai tambahan selain kelima faktor barusan, guna mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, adalah dengan tidak melupakan hidayah dan petunjuk-petunjuk Allah SWT sebagaimana dilukiskan dalam Alquranul karim Surat Al-Hasyr 19:
 "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan dirinya sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS Al-Hasyr 19).



Kesultanan Alwatzihkoebillah Sambas


Kesultanan Sambas seperti yang disebutkan oleh Pabali Musa bila ditinjau berdasakan Salsilah didirikan pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1040 M.[1] Namun menurut Machrus Effendy bahwa kesultanan Sambas berdiri sekitar tahun 1612 M.[2] Tetepi belum ada kesepakatan para sejarawan Sambas tentang tahun masehi berdirinya kesultanan Sambas. Apabila dikonversi dalam tahun masehi, maka sekitar tahun 1630 M.
Nama kesultanan Sambas menurut Raden Muchin Panji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kesuma (kerabat kerajaan), dalam laporan tentang “Kontrol dan riwayat Raja-raja Sambas” tanggal 5 Januari 1951 menyebutkan tentang nama Kesultanan Sambas sebagai berikut: “Menurut riwayat yang tercantum di lembaran Kitab Sejarah, kerajaan bahwa raja-raja di Kerajaan Sambas berasal-usul dari pancaran negeri tiga serangkai yakni Brunai, Sukadana dan Sambas di masa pemerintahan Majapahit”.[3] Kata nama Sambas dari pengertian di atas dapat diartikan dari tiga kerajaan yaitu Brunai, Sambas, Sukadana. Kerajaan Sambas sebelum kedatangan Raja Tengah dari Brunai dalam membawa pengaruh Islam, Kerajaan Sambas pada masa itu diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Sepudak. Ratu sepudak dikatakan berasal dari keturunan tentara Majapahit, yang berkedudukan di kota lama.[4] Sekarang daerah ini merupakan kecamatan Galing, Kabupaten Sambas.
Berakhirnya kekuasaan Ratu Sepudak menjelang permulaan Zaman VOC lebih kurang 1600 M.[5] Sejarah berdirinya Kesultanan Sambas di tandai dengan pemindahan kekuasaan secara damai dari penguasa Hindu kerajaan Sepudak kepada penguasa Islam Raden Sulaiman bergelar Raja Tengah. Pemindahan kekuasaan yang dilakukan melalui jalur perkawinan antara putri Ratu Sepudak yang bernama Raden Mas Ayu Bungsu dengan Raden Sulaiman.[6] Pada masa pemerintahan Ratu Sepudak sistem birokrasi Kerajaan Sambas ketika itu adalah menurut adat istiadat kerajaaan turun-temurun.
Selanjutnya, seperti yang diungkapkan Pabali Musa bahwa telah menjadi kebiasaan dari sejak dahulu dan seterusnya untuk menentukan pengganti raja hanya cukup bermusyawarah dengan lingkungan keluarga raja dan kaum bangsawan tanpa melibatkan rakyat banyak. Merekalah yang memutuskan dan menetapkan sedangkan rakyat wajib menerima dan mentaatinya.[7] Akhirnya Raden Sulaiman dapat mewarisi Kerajaan Sambas dan menjadi raja Islam pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiudin I. Menjadikan Kerajaan Sambas Hindu berubah menjadi kerajaan Islam dengan menjadi Kesultanan Sambas.
Sejak awal tahun 1600 M, agama Islam sudah berkembang di Sambas yang dibawa oleh Raden Sulaiman.[8] Sepanjang perjalanan sejarahnya Kesultanan Sambas memiliki lima tempat atau kota bersejarah sebagai tonggak awal kelahirannya sehingga akhirnya menjadi kesultanan besar. Mula-mula di Kota Bangun atau Muara Tebangun, merupakan tempat pertama kalinya Raja Tengah ayah Raden Sulaiman singgah dan kemudian membangun perkapungan. Ditempat ini pula Ratu Anom Kusuma Yudha menyerahkan tahta kerajaan Hindu Sambas secara damai dan sukarela kepada Raden Sulaiman sultan pertama Sambas.
Kemudian Kota Lama, merupakan Ibukota atau pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua yang masih menganut pengaruh Animis-Hindu yaitu Kerajaan Ratu Sepudak yang berpusat Kecamatan Galing. Selanjutnya, Kota Bandir, daerah hulu sungai Subah yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kerajaan Ratu Sepudak dan juga selama sekitar tiga tahun menjadi pusat pemerintahan transional Kerajaan Sambas yang diamanahkan Ratu Sepudak kepada Raden Sulaiman.[9] Berikutnya Lubuk Madung daerah disamping  Sungai Teberau merupakan ibukota pertama Kesultanan Islam Sambas dan disini Raden Sulaiman dinobatkan menjadi penguasa pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I. Terakhir Muara Ulakan[10] tempat ini dijadikannya sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Sambas sejak masa kekuasaan Raden Bima, dan tempat ini masih dapat disaksikan hingga sekarang ini yang berada dalam Desa Dalam Kaum.
Kesultanan Sambas dikatakan Pabali Musa[11], pernah eksis di bumi Khatulistiwa selama kurang tiga abad (1630-1943). Sepanjang itu diperintah oleh 15 orang keturunan sultan mulai dari sultan Muhammad Tsyafiuddin I (1612) sampai sulthan terakhir Muhammad Mulia Ibrahim Tsyafiuddin (1943).[12] Masa pemerintahan terakhir yaitu Raden Mulia Ibrahim bin pangeran Adipati Ahmad bin Marhum Cianjur, disebut Sultan Mulia Ibrahim yang berkuasa 1931-1943.[13] Masa pemerintahan Sultan Mulia Ibrahim Tsyafiuddin baginda telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan agama Islam dengan jalan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Islam di dalam maupun di luar kota Sambas sampai kepelosok kampung.
Kemudian Sultan Mulia Ibrahim Tsyafiuddin mendirikan masjid Jami’ atau masjid Agung di dalam kota, diikuti oleh rakyat dengan mendirikan masjid-masjid atau surau-surau dan madrasah di seluruh kampung. Pemberantasan buta huruf Arab Jawi dan huruf Latin, menyebarluaskan pengertian seluk-beluk agama Islam dan menghidupkan atau menguatkan hukum-hukum agama Islam dan hukum adat, semua ini merupakan usaha Sultan dalam mengembangkan agama Islam dan kelestarian adat.[14] Tetapi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim pembangunan dibidang pendidikan dan pengajaran tidak banyak mengalami peningkatan mengingat masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi negeri Sambas mengalami masa krisis, dalam keadaan susah. Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat di sekolah-sekolah. Demikian juga Madrasah Sultha>niah mengalami kemunduran kemudian atas insiatif dari maharaja Imam Haji Muhammad Basiuni Imran,  Raden Muchsin Panjianom, Raden Abubakar Panjianom, Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk perkumpulan “Tarbiatoel Islam” dengan motto: bahwa bangsa Indonesia tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai perguruan bangsa sendiri”.[15] Dengan atas insiatif diatas membuat kesultanan sambas bangkit dalam bidang pendidikan masa itu.
Kesultanan Sambas pernah mencapai puncak kebesarannya pada awal abad ke-20 dengan sebutan “Serambi Mekah” kejayaan yang bercirikan keilmuan Islam dengan corak reformisme pada saat Maharaja Imam Sambas di jabat oleh Muhammad Basyuni Imran.[16] Pada tahun 1931 pengangkatan  Muhammad Basyuni Imran di tetapkan sebagai Maharaja Imam, keberadaan Islam dan penganut Islam dalam Kota Sambas dan sekitarnya masa itu belum berkembang. Bukan karena penduduknya sedikit, akan tetapi juga terdapat perimbangan dengan agama lain yang non Islam. Di antaranya ialah agama Budha dan Kong Hu Cu yang di peluk oleh sebagian besar penduduk asing Cina demikian juga dengan agama Katholik dan mereka yang memeluk agama kepercayaan  animisme yang berada didaerah pedalaman. Bagi ulama keadaan yang sedemikian merupakan suatu tantangan yang mesti dihadapi. Islam yang mengandung iman dan taqwa harus pula disebarluaskan  dengan memperbanyak dakwah dan muballigh kepada penduduk yang masih buta agama.[17] Perkembangan Islam di masyarakat Sambas hanya pada lingkungan masyarakat Melayu yang bermukim di pesisir tepi sungai Sambas tetapi perkembangan Islam belum begitu merata ke daerah pedalaman Sambas.




[1] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 35.
[2] Lihat, ibid, hal. 35
[3] Johansen, Jurnal Sejarah..., hal. 155.
[4] Nurcahyanni, Sejarah Kerajaan Sambas..., hal. 43.
[5] Ahmadi Muhammad, Tahun Hijriyah dan Sejarah Sambas Masjid Jami’ Sulthan Muhammad Tsafiudin II sambas, (Sambas: YASPI Sambas, 2007), hal. 10.
[6] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat..., hal. 66.
[7] Nurcahyani, Sejarah Kerajaan Sambas, hal. 20.
[8] Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah, (Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas: 2001), hal. 88.
[9] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 3
[10] Usman, Sambas Merajut Kisah..., hal 6-7.
[11] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 36-37.
[12] Machrus Effendy, Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas, (Jakarta, Dian Kemilau, 1995), hal. 12.
[13] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 37.
[14] Nurcahyani, Sejarah Kerajaan Sambas..., hal. 34.
[15] Rahman, Kabupaten Sambas..., hal. 78.
[16] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 39.
[17] Effendi, Riwayat Hidup..., hal. 38.

Letak Geografis Kesultanan Sambas


Letak geografis Kesultanan Sambas terletak diantara jalur perdagangan Selat Malaka, yang merupakan daerah transit perdagangan baik dari Timur maupun Barat Nusantara[1] sehingga menjadikan daerah Kesultanan Sambas ini sebagai pusat pelabuhan. Letak pelabuhan Kesultanan Sambas yang strategis ini berdekatan dengan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Singapura[2] yang merupakan jalur perdagangan internasional. Kesultanan Sambas yang merupakan sebuah negeri yang besar ini memiliki luas wilayah sekitar 20.940 km2 yang merupakan salah satu kerajaan tertua dan kerajaan Islam yang besar di Kalimantan Barat. Wilayah daerah kekuasaan Kesultanan Sambas di masa Islam sampai kedatangan kedatangan orang-orang Belanda yakni dari Tanjung Datuk Kecamatan Paloh sampai dengan Sungai Duri yang berbatasan dengan wilayah kerajaan Mempawah.[3]
Kesultanan Sambas terletak dibagian Utara Kalimantan Barat yang beribukota di Istana Al-Watzikhoebillah Sambas, yang terletak di Muara Ulakan yang menghadap ke persimpangan tiga cabang anak sungai, yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberau dan Sungai Subah.[4] Muara Sungai Sambas terletak pada 10 12’ 24” lintang Utara dan 1090 1’ 30” bujur Timur dari Greenwich[5], yang menjadikan sungai Sambas sebagai salah satu sungai terbesar dari seluruh Borneo. Sekarang daerah ini merupakan desa, yang bernama desa Dalam Kaum Sambas, dimana sejak zaman dahulu telah berdiri sebuah Istana Kerajaan Kesultanan Sambas pada tahun 1632 M[6] yang didirikan oleh Raden Bima bergelar Sultan Muhammad Tajuddin yang merupakan raja kedua Sambas.
Masa kemerdekaan Indonesia Kesultanan Sambas berubah menjadi sebuah kabupaten (Kabupaten Sambas), dengan demikian luas wilayah Kabupaten Sambas menjadi 12.296 km2, dengan panjang pantainya sekitar 300 km, dan panjang perbatasan dengan negara Serawak dan Malaysia Timur sekitar 150 km. Kabupaten Sambas terletak di bagian paling utara Provinsi Kalimantan barat atau teletak diantara 2008 Lintang Utara dan 108039’ Bujur Timur. Secara administratif batas wilayah Kabupaten Sambas adalah[7]:
1.      Sebelah utara: berbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur) dan Laut Natuna,
2.      Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang,
3.      Sebelah Barat: berbatasan degan Laut Natuna,
4.      Sebelah Timur: berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang dan Serawak (Malaysia Timur).
Perubahan bentuk Sambas menjadi Kabupaten Sambas tetuang dalam UU Nomor 27 Tahun 1959, sejak tahun 1963, wilayah pemerintahan Kabupaten Sambas berubah menjadi 15 kecamatan, dan pada 1982 menjadi 17 kecamatan, dua di antaranya daerah pemerintahan kota Administratif Singkawang, seluruhnya memiliki 271 desa dan delapan kelurahan.[8] Pada tahun 1999 Kabupaten Sambas di bagi lagi menjadi tiga wilayah Kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang. Sejak saat itu, luas wilayah Kabupaten Sambas menjadi 6.395,70 km2 atau sekitar 4,36% dari luas propinsi Kalimantan Barat. Kemudian pada tahun 2007 Kabupaten Sambas terbagi lagi menjadi 19 kecamatan dan terdiri dari 183 desa.[9]




[1] Poltak Johansen, dkk, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan, (Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 2004), hal. 149.
[2] Erwin Mahrus, dkk, Syekh Ahmad Katib Sambas (1803-1875), Ulama Besar dan Pendiri Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, (Pontianak: UNTAN Press, 2013), hal. 2.
[3] Lisyawati Nurcahyani, Sejarah Kerajaan Sambas, (Pontianak: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 47.
[4] Lihat, Pabali Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat, (Pontianak: Romeo Pertama Grafika Pontianak, 2003), hal. 36.
[5] P. J. Veth, Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis Historis, (trj: P. Yeri OFM. Cap, Amstrdam, P.N Van Kamp, 1869), hal. 87.
[6] Arpan, Catatan Peninggalan Sejarah Sambas, (Sambas: Penilik Kebudayaan Kecamatan Sambas, 1995), hal. 14.
[7] Pabali Musa, Kiprah Anak Zaman Gagasan, Pemikiran dan Buah Karya Maharaja Imam Sambas H. Muhammad Basyuni Imran, (Pontianak: Pusat Penelitian  Budaya Melayu Universitas Tanjungpura, 2002), hal. 7
[8] Syafaruddin Usman MHD, Sambas Merajut Kisah Menenun Sejarah, (Pontianak: Pemerintah Kabupaten Sambas, 2011), hal. 76
[9] Sunandar, Peran Mahraja Imam Muhammad Basiuni Imran Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat kerajaan Al-Watzikhoebillah Sambas 1913-1976, (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tidak diterbitkan, 2012), hal. 66

Konsep Kekerasan Menurut Galtung


     1.    Pengertian Kekerasan
Secara etimologis kekerasan adalah tindakan atau kebijakan/ keputusan apapun yang disertai penggunaan kekuasaan/ kekuatan. Sedangkan secara terminologis kekerasan adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dengan jalan yang bertentangan dengan hukum dengan tujuan yang buruk.[1] Konsep kekerasan seringkali juga diterapkan untuk menandai kebijakan atau pertentangan dengan moral misalnya pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Kekerasan menurut Johan Galtung adalah kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya Kekerasan di sini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual.
Konsep kekerasan menurut Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural, dan langsung.[2] Dan kekerasan langsung sering kali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resourse power). Kekuasaan sumber bias dibagi menjadi kekuasaan punitif, yaitu kekuasaan yang menghancurkan, kemudian kekuasaan Ideologis dan kekuasaan ideologis . Kekuasaan Ideologis dan renumatif cenderung menciptakan kekerasan kultural.
Sedangkan kekuasaan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, seperti orang yang memiliki wewenang menciptakan wewenang publik. Kekuasaan  sumber dan kekuasaan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural, kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul kepermukaan sosial.
a.    Kekerasan Struktural
Menurut Galtung ketidak adilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep kekerasan struktural (structural violence).[3] Kekerasan model ini dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya manusia di lingkungannya, diskriminasi rasa atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil juga, manusia mati akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep kekerasan struktural.
Contoh dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah memberikan hak pendidikan dan masyarakat pribumi. Hanya kalangan tertentu dari penduduk pribumi yang bias mengakses sekolah, yaitu golongan bangsawan yang memiliki tanah-tanah perkebunan dan bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
b.    Kekerasan Langsung
Kekerasan (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung.
Kekerasan langsung terjadi dalam konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat tahun 1999,[4] seperti di Pontianak dan Sambas, ditandai dengan terbunuhnya banyak sekali manusia, dirusaknya harta benda yang ada dipengusiran etnis dari tempat tinggalnya. Kekerasan langsung pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura bisa dilakukan kedua belah pihak pada awalnya. Tetapi kekuatan fisik yang tidak berimbang, seperti peralatan dan jumlah massa, pada gilirannya membuat salah satu etnis telah melakukan kekerasan langsung terhadap etnis yang lain.
c.  Kekerasan Budaya
Kekerasan budaya bias disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya bias muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya (Cultural violence), di lihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produk kebencian, ketakutan dan kecurigaan.
Sumber Kekerasan budaya ini biasa berangkat dari etnesitas, agama maupun ideologi. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang dimaksud bukan untuk menyebut kebudayaan sebagai keseluruhan sistemnya, namun aspek-aspek dari kebudayaan itu. Galtung memberikan definisi kepada kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan; ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan, empiris dan formal (logis), matematis, yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegatimasi kekerasan struktural dan langsung.[5]
d.   Kekerasan Model Litke
Alternatif persefektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F. Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power (1992) membuat skema definisi kekerasan pada dimensi fisik-psikologis, dan personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi psikologis kekerasan personal muncul dalam bentuk paternalisme, ancaman personal dan pembunuhan karakter. Kekerasan institusional (terlembagakan) yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme dan perang, sedangkan secara psikologis muncul dalam bentuk perbudakan, rasisme, dan sexist.
2.      Macam-Macam Kekerasan
a.       Kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang tidak adanya keadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.[6]
b.      Kekerasan Kultural, yaitu kekerasan yang sebab maupun timbulnya bisa ditelusuri melalui aspek-aspek, budaya, wilayah, simbolis, eksistensi kita, diwakili oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan formal.[7]
Sebuah perbuatan, atau prilaku sosial bisa dikatakan sebagai kekerasan. Ada pun menurut Galtung ada beberapa dimensi dalam kekerasan:
1)      Perbedaan antara kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
2)      Pendekatan negatif dan positif terhadap pengaruh.
3)      Terletak pada segi obyek.
4)      Terletak pada subyek.
5)      Antara kekerasan yang disengaja dengan kekerasan yang tidak disengaja.
6)      Perbedaan tradisional, diantara dua tingkat kekerasan, yakni kekerasan nyata dan kekerasan tersembunyi.
3.      Faktor-Faktor Kekerasan Politik
M Enoc. Markum, yang membagi penyebab terjadinya kekerasan ada lima, yaitu :
a.    Kondisi kritis sangat benar-benar terjadi, dalam suatu wilayah tertentu, sehingga muncul kekerasan.
b.    Keyakinan masyarakat luas bahwa saluran formal yang seharusnya dapat menampung dan diandalkan untuk menyelesaikan masalah dan aspirasi masyarakat tidak berfungsi dengan semestinya.
c.    Harapan yang diyakini oleh masyarakat bahwa melahirkan kekerasan, dapat menimbulkan perubahan.
d.    Hilangnya wibawa ABRI di mata masyarakat.
e.    Crowding.
Sedangkan Arbi Sanit menyebutkan bahwa sebab terjadinya kekerasan dari dalam yaitu :[8]
a.    Perasaan tertekan di kalangan masyarakat yang berasal dari kombinasi diantara peningkatan harapan (aspirasi) dengan melebarnya jurang (gap) di antara kebutuhan dan pelayanan publik.
b.    Belum terlembaganya kehidupan politik secara memadai.
c.    Rendahnya standar ekonomi yang ditandai oleh ketidak berimbangan pemberlakuan publik (cara politik).
d.   Ketidakseimbangan distribusi sumber daya, dan ketidak berimbangan pemenuhan hak dalam masyarakat.
4.  Sumber-Sumber Kekerasan
Menurut I Marsana Windu, sumber sumber kekerasan antara lain:
a.    Watak Manusia yang Keras
Manusia merupakan makhluk yang bersegi jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Dilihat dari segi rohani manusia terbagi menjadi pikiran dan perasaan. Apabila keduanya diserasikan akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindak. Sikap tindak itulah yang kemudian menjadi landasan gerak segi jasmani manusia.[9]
Secara sosiologis, kepribadian seseorang didapat melalui proses sosialisasi yang dimulai sejak kelahirannya. Pada tahap itu, dia mulai mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara mengadakan hubungan dengan orang lain. Di mulai dari keluarga, dan lambat laun mulai dapat membedakan dirinya dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Secara bertahap dia akan mempunyai konsep tentang dirinya sendiri yang didasarkan pada dugaan tentang pendapat orang-orang perihal dirinya. Kesadaran akan dirinya sendiri dapat diamati dari tingkah laku anak tersebut dalam permainan, mungkin terhadap alat-alat permainan, mungkin pula terhadap teman-teman sepermainannya. Sifat tersebut makin lama makin berkembang dengan bertambah dewasa individu tersebut.
Ditengah perkembangan kehidupan yang keras, maka akan mustahil jika tidak memunculkan perkembangan watak manusia yang keras pula, karena terbentuknya watak manusia itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.[10] Seorang individu, selain memiliki ciri-ciri watak secara umum, namun individu jga memiliki ciri-ciri wataknya sendiri. Sedangkan pembentuk watak dalam jiwa seseorang banyak dipengaruhi pergaulannya di masa kecil.
b.    Struktural yang Tidak Adil
Sebuah kekerasan bisa juga didukung oleh ketidak adilan struktural. Secara sosiologis, struktur masyarakat tersusun atas perbutan manusia dan bukan alam Stuktur sosial, atau juga biasa disebut sebagai stratifikasi sosial, sangat penting, karena mengakibatkan masyarakat dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan individu. Akan tetapi pada akhirnya, stratifikasi menimbulkan adanya kelas dan status. Kelas dan status biasanya terbentuk atas dasar tingkat kehormatan yang dimiliki oleh individu.
Status biasanya diidentifikasi oleh posisi dan jabatan yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan kelas lebih merujuk kepada tingkat kepemilikan harta dan properti oleh individu. Orang dengan kelas dan status tertentu cenderung berbagi pola dan mode perilaku. Kelas dan status dibentuk oleh kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dengan kelas atau status yang sama. Ketidak adilan struktural dapat terjadi bila orang-orang dalam kelas atau status yang sama membentuk aliansi guna mendominasi sistem ekonomi atau politik masyarakat.




[1] Eka Henry, Sosiologi Konflik, ( Pontianak: Anggota Ikapi, 2009), hlm 51
[2] Novri Susan, Sosiologi Konflik . . . hlm 110.
[3] Ibid, khlm 111.
[4] Ibid, hlm 114.
[5] Ibid, hlm 115.
[6]Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian, dan Penelitian Perdamaian”, dalam Mochtar Lubis, Menggapai Dunia Damai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm 150.
[7] Johan Galtung, “Kekerasan Kultural” dalam Wacana Kekerasan dalam Masyarakat Transisi,(Yogyakarta : Insist, Edisi IX, 2002), hlm 11.
[8] Ibid
[9] Soerjono Soekanto, Sosiologi Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, Cet IV, 1990), hlm 127.
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta ; Rineka Cipta, 1996), hlm 108.