A. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam
Pemikiran ekonomi islam lahir
dari kenyataan bahwa Islam adalah sistem yang diturunkan Allah kepada seluruh
manusia untuk menata seluruh aspek kehidupannya dalam ruang dan waktu.
Karakteragama Islam yang paling kuat adalah fungsi sistem dan penataan. Objek
dari sistem ini adalah seluruh aspek kehidupan manusia; individu, keluaraga,
sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, politik, militer dan di atas itu semu.
Tidak satu pun masalah aau aspek yang terkait dengan kehidupan manusia,
langsung atau tidak langsung, dan dibutuhkan tentang masalah atau aspek itu.[1]
Sebagai subsistem, masalah-masalah
ekonomi dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunah secara berurut.[2]
Aktivitas ekonomi harus
diletakkan dalam konteks memenuhi kebutuhan biologis manusia untuk melangkah
lebih jauh; kepada obsesi-obsesi spiritual yang senantiasa menghubungkan
manusia dengan langit. Ibadah dan kerja selanjutnya diimplementasikan ke dalam
prinsip-prinsip umum yang kemudian menjadi dasar ekonomi bahwa Allah adalah
pemilik asli dari semua harta benda, tetapi Dia memberikan harta itu kepada
manusia untuk tujuan ibadah. Konsep ibadah selanjutnya melahirkan prinsip
kebebasan terbatas; kebebasan yang dibatasi oleh nilai-nilai etika dalam
berbagai aktivitas ekonomi, yaitu pengharaman segala bentuk kezaliman,
penumbuhan berbagai buntuk kesetiakawanan sosial, dan tetap memberi ruang pada
kompetisi sosial yang sehat. Allah
mengharamkan riba sebagai subtansi ekonomi jahiliah, menganjurkan jual beli,
zakat, infak dan sedekah, mengatur proses utang-piutang, sewa-menyewa,
perkongsian, dan semua bentuk aktivitas ekonomi.[3]
B. Pengertian Ekonomi Menurut Islam
Dalam realita kehidupan, manusia
berusaha mengerahkan daya, tenaga dan juga fikirannya untuk memenuhi berbagai
keperluan hidupnya seperti makan, pakaian dan tenpat tinggal. Pengerahan tenaga
dan fikiran ini penting bagi menyempurnakan kehidupannya sebagai individu dam
anggota masyarakat. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan usaha-usaha yang
bertujuan untuk memenuhi keperluan ini dinamakan ekonomi.
Dari pengertian diatas,dapat
diambil bahwa ekonomi adalah setiap satu yang memberi khidmat kepada kehidupan
manusia.
Dalam pengkajian masa kini
ekonomi ialah satu pengkajian berkenaan dengan kelakuan manusia dalam
menggunakan sumber-sumber untuk memenuhi keperluan mereka. Dalam pengertian
islam pula, ekonomi ialah salah satu sains sosial yang mengkaji masalah-masalah
ekonomi manusia-manua yang berdasarkan kepada asas-asas dan nulai-nilai islam.[4]
Dalam penataan ekonomi,
sebenarnya tidak lepas dari agama islam. Karena Nabi Muhammad SAW telah
mempraktekkan sistem ekonomi pada zamannya. Dimana aturan-aturan yang ada
didalam ekonomi itu selalu terarah. Dalam sistem ekonomi, Nabi pernah
mengajarkan tentang kejujuran dalam berdagang sehingga orang-orang percaya
padanya dan dagangannya pun laris. Sesungguhnya itu merupakan salah satu ajaran
Nabi Muhammad SAW kepada kita betapa pentingnya peranan Islam terhadap ekonomi.
Ruang lingkup ekonomi Islam
adalah masyarakat Muslim atau komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya,
perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara Muslim dimana nilai-nilai ajaran
Islam dapat diaplikasikan. Menurut Yuliadi (2001) titik tekan ilmu ekonomi
Islam adalah bagaimana Islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai
persoalan ikonomi yang dihadapi umat secara umum.[5]
Ekonomi islam merupakan mazhab
ekonomi islam yang menjelma di dalamnya bagaimana cara Islam mengatur kehidupan
perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan oleh mazhab ini tentang
ketelitian cara berpikir yang terdiri dari nilai-nilai moral Islam dan
nilai-nilai ekonomi, atau nilai sejarah yang ada hubungannya dengan masalah
siasat perekonomian, maupun dengan uraian sejarah masyarakat (As Shodr, 1968;
hlm 9). Menurut An-Nabhani (1990) Ekonomi sebagai suatu kajian studi, bersifat
universal, artinya tidak terkait dengan sebuah ideologi tertentu. Ia dapat dikembangkan
dan diadopsi dari mana pun selama tidak kontraproduktif dengan sabda Rasulullah
“kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian” yang berarti boleh untuk
mengembangkan kemampuan produksi secara kualitas maupun kuantitas. Pemahaman
seperti ini akan mengantarkan kepada kita agar tidak terjebak dalam wacana
Islamisasi ilmu pengetahuan. Pakar Ekonomi Islam tidak perlu membuang semua
teori yang telah berhasil dikembangkan. Yang diperlukan ialah melakukan
internalisasi nilai-nilai Islam dalam rangka turut mengembangkan keberadaan
dari ilmu ekonomi.[6]
A.M. Saefuddin (1987)
mengemukakan bahwa pandangan ilmu ekonomi tentang manusia sekarang ini sarat
dengan kultur Barat sehingga perlu diganti dengan homo Islamicus.[7]
Seorang muslim yang baik adalah
mereka yang memperhatikan keseimbangan faktor dunia dan akhirat, yang tidak
meninggalkan urusan dunia demi kepentingan akhirat, juga tidak meninggalkan akhirat untuk urusan
dunia.
Penyeimbangan aspek dunia dan
akhirat merupakan karakteristik unik sistem ekonomi dalam Islam.
Tujuan ekonomi
menurut islam
1. Menunaikan sebagian
daripada tuntutan ibadah.
2. Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat.
3. Menghapuskan kemiskinan dan keadaan guna tenaga penuh serta
kadar perkembangan ekonomi yang Optimum.
4. Mewujudkan kestabilan barang sejajar dengan kondisi masyarakat
yang tidak mementingkan kepentingan sendiri, sehingga sistem ekonomi di pasaran
menjadi stabil.
5. Mengekalkan keamanan dan kepatuhan terhadap undang-undang.
C. Landasan Hukum Ekonomi Islam
Dalam konsep islam, semua sistem
kehidupan yang di dalamnya termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah
kebenaran. Diambil dari sumber yang benar, dikaji dan diterapkan secara benar
pula.[9]
Dua hal pokok yang menjadi
landasan hukum islam dalam ekonomi yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.
Hukum-hukum yang diambil dari kedua landasan pokok tersebut secara konsep dan
prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapan pun dan dimana saja), tetapi pada
praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku
luwes dan ada pula yang bisa mengalami perubahan.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber pertama
dan utama bagi penerapan Islam dalam Ekonomi. Didalamnya dapat kita temui hal yang
berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang
diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli yang tertera pada surah
Al-Baqarah ayat 275 yang artinya “..... padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Contoh lain seperti perintah
mencatat atau pembukuan yang baik dalam masalah utang-piutang, Allah ungkapkan
di surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “wahai orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu, menuliskannya......”
Dan contoh
terakhir adalah perintah menepati dan menghormati janji pada surat Al-Maidah
ayat 1 yang artinya: “wahai
orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu...”[10]
Banyak ayat Al-Qur’an yang
menyerukan penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam, diantaranya:
“Makan dan
minumlah dari rizki yang diberikan Allah dan janganlah berrkeliaran di muka
bumi ini dengan berbuat kerusakan. (QS. Al-Baqarah: 60).
“Hai manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi janganlah kumu
mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu. (AS Al-Baqarah: 168).
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagimu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas, dan makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang telah Allah rizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya. (QS Al-Maidah: 87-88).
Semua ayat itu merupakan penentuan
dasar pikiran dari pesan Al-Qur’an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat
tersebut dapat dipahami bahwa Islam mendorong manusia untuk menikmati karunia
yang telah diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan, baik materi maupun non materi.[11]
2. As-Sunah An
Nabawiyah
As-Sunah adalah sumber kedua dalam
perundang-udangan Islam. Di dalamnya dapat kita jumpai aturan perekonomian
Islam. Di antaranya seperti sebuah hadis yang isinya memerintahkan untuk
menjaga dan menlindungi harta, baik milik pribadi maupun umum serta tidak boleh
mengambil yang bukan miliknya, “Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian,
(mengambil) harta kalian, (mengganggu) kehormatan kalian haram sebagaimana
haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini, .....” (HR
Bukhari).
Contoh lain misalnya As-Sunah juga
menjelaskan jenis-jenis harta yang harus menjadi milik umum dan untuk
kepentingan umum, tertera pada hadis: “Aku ikut berperang bersama Rasulullah,
ada tiga hal yang aku dengar dari Rasulullah: Orang-orang Muslim bersyariat
(sama-sama memiliki) tempat mengembala, air, dan api.” ( HR. Abi Dawud).
Contoh terakhir adalah hadis yang
menerangkan larangan menipu “Barang siapa yang menipu kami, maka tidak termasuk
golongan kami. “ (HR. Muslim).
3. Kitab-kitab
Fikih Umum
Kitab-kitab ini menjelaskan ibadah
dan muamalah, di dalamnya terdapat pula bahasan tentang ekonomi yang kemudian
dikenal dengan istilah Al-muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil-hasil
ijtihad Ulama terutama dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil
Al-Qur’an maupun hadis yang sahih.
Adapun bahasan-bahsan yang
langsung berkaitan dengan ekonomi Islam adalah zakat, sedekah sunah, fidyah,
zakat fitrah, jual beli, riba dan jual beli uang dan lain-lain.
4. Kitab-kitab
Fikih Khusus (Al-Maaulu wal-Iqtishaadi)
Kitab-kitab ini secara khusus
membahas masalah yang berkaitan dengan uang, harta lainnya, dan ekonomi.[12]
Islam mendorong penganutnya
berjuang untuk mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti
rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Salah satu hadis Rasulullah
menegaskan: “Kaum Muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan
kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (At Tirmidzi, kitab Al Ahkam nomor 1272).
Rambu-rambu tersebut di
antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak menggunakan cara bathil; tidak
berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak dizhalimi maupun menzhalimi; menjauhkan
diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation),
dan gharar ( ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan
tanggung jawab sosial berupa zakat, infaq, dan sedekah. Ini yang membedakan
sistem ekonomi islam dengan perekonomian yang lainnya`yang menggunakan prinsip self
interest (kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.
Islam mendorong umatnya untuk
bekerja. Hal tersebut disertai jaminan Allah bahwa Ia telah menetapkan rizki
setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Islam juga melarang umatnya untuk
meminta-mina atau mengemis. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah menyatakan:
“Barang siapa
yang mencari dunianya dengan cara yang halal, menahan diri dari mengemis,
memenuhi kebutuhan keluarganya, dan berbuat kebaikan kepada tetangganya, maka
ia akan menemui Tuhan dengan muka atau wajah bersinar bagai bulan purnama.”[13]
D. Asas-Asas Ekonomi Islam
Sistem ekonomi mencakup
pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik
untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi. Dalam hukum syara’ dijelaskan
bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga
menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengonsumsi dan mengembangkan) harta
serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Inilah yang sesungguhnya
dianggap oleh islam sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Atas dasar
ini, maka asas-asas ekonomi islam yang digunakan untuk membangun sisem ekonomi
berdiri di atas tiga asas (fundamental) yaitu: bagaimana harta diperoleh yakni
menyangkut hak milik (tamalluk), pengelolaan (tasharruf) hak
milik, serta distribusi kekayaan di tengah masyarakat.[14]
E. Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi
Islam
Banyak orang yang menyepelekan
keampuhan tatanan Islam kalau tidak mau dikatakan sangsi, termasuk umat Islam
sendiri, padahal konsep ini sebagaimana yang telah kita ketahui adalah konsep
yang Allah ridhai untuk seluruh umat manusia, dan selaras dengan fitrah
manusia, serta menjunjung tinggi kepentingan pribadi maupun kepentingan
masyarakat.
Sistem ini telah diuji coba
selama lebih delapan abad sejak zaman Rasulullah SAW dengan zaman kita berada
sekarang sangatlah mencolok. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita ingat bahwa
konsep Islam secara keseluruhan adalah produk Allah yang Maha Mengetahui sejauh
mana perubahan akan terjadi yang dilakukan oleh umat manusia. Oleh karena itu,
konsep Islam adalah konsep yang telah disiapkan untuk mampu menghadapi dan
menjawab segala macam bentuk tantangan pada setiap zamannya.[15]
1. Hak Milik
Pribadi
Hak milik pribadi adalah hukum
syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utiliti) tertentu, yang
memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut,
serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain (seperti disewa), ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya
seperti dibeli dari barang tersebut. Oleh karena itu, setiap orang bisa
mimiliki kekayaan dengan cara-cara kepemilikan tertentu.[16]
2. Kebebasan
mencarai sumber pendapatan
Islam memberikan kepada setiap
orang hak dan kebebasan dalam menentukan corak kehidupannya. Ia bebas memilih
kerja yang ia minati asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam Islam, pekerjaan mempunyai
taraf kemuliaan yang besar yang tidak ada dibandingnya dalam semua agama dan
kebudayaan yang lain. Kebebasan mencari sumber pendapatan dalam Islam
berdasarkan kepada firman Allah yang artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah kurnia Allah” ( Al-jum’ah:10)
“Dialahyang menjadikan bumi ini sudah bagi
kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah kebahagiaan daripada
rezeki-Nya, dan kepadaNya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.(Al-Mulk:15)
3. Keadilan Sosial
Apa saja yang hendak ditegakkan
oleh Islam maka itu jugalah yang ditegakkan mana-mana bagian daripadanya. Islam
betujuan untuk menegakkan keadilan, oleh itu salah asas utama sistem ekonomi
Islam juga ialah untuk menegakkan keadilan.
Keadilan sosial yang hendak
ditegakkan oleh sistem ekonomi Islam bersih daripada sebarang slogan kosong dan
bebas daripada sebarang kekeliruan. Ini adalah karena keadilan dalam Islam
mempunyai asasnya yang tersendiri, yaitu diatas dasar taqwa dan ma’ruf.
3. Hak Pewarisan
Diantara prinsip yang ditetapkan
oleh Islam dalam memperoleh hak milik ialah melalui hak pewarisan. Hak pewarisan
kepada berdasarkan fitrah manusia.
Malah islam memandang bahwa hak
pewarisan adalah salah satu alat yang utama bagi mencapai keadilan sosial di
dalam masyarakat. Di atas dasar inilah undang undang pewarisan Islam menjadi sesuatu ndang-undang
yang unik yang tidak terdapat di dalam sestem-sistem yang lain.[17]
F.
Keistimewaan dan Karakteristik Ekonomi Islam
1. Ekonomi
Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Islam yang utuh dan
menyeluruh.
2. Aktivitas
ekonomi Islam merupakan suatu bentuk ibadah.
3. Tatanan
ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat mulia.
4. Ekonomi
Islam merupakan sistem yang memiliki pengawasan melekat yang berakar dari
keimanan dan tanggung jawab kepada Allah (Muraqabatullah).
5. Ekonomi
Islam merupakan sistem yang menyelaraskan antara maslahat individu dan maslahat
umum.[18]
[1]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
1.
[2]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
5.
[3]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
6-7.
[5] M.
Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 5.
[6] M.
Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 6-7.
[7]
Saefuddin, Ekonomi dan Mayarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali,
1987).
[9] M.
Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 11.
[10]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
32.
[11]
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm.29-30.
[12]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
32.
[13]
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 30-31.
[14]
M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 32.
[15]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
31.
[16]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
33.
[18]
Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah; Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
33.
0 comments:
Post a Comment