Sambas merupakan
kerajaan Melayu, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam dan berbudaya
Melayu. Jika dilihat dari kondisi sosial pada masyarakatnya, Sambas sangat
terbuka terhadap perkembangan disekitarnya,[1]
termasuklah keterbukaannya terhadap pergerakan nasional dan gerakan keagamaan
yang berkembang di Sambas salah satunya adalah organisasi Muhammadiyah.
Mengenai sosial keagamaan pada masyarakat Sambas, masyarakat Sambas merupakan
basis NU yang merupakan daerah yang menganut sistem pemerintahan tradisional.
Kondisi ini berlangsung sejak masa pendudukan Majapahit sekitar abad ke-13 M.[2]
Selanjutnya, perjalanan
sejarah Sambas mengalami proses Islamisasi sebagaimana yang terjadi diseluruh
kepulauan Melayu di Nusantara, hasilnya, pada awal abad ke-17 berubah menjadi
kesultanan Islam yang berpusat di Muare Ulakan (sekarang Dalam Kaum Sambas).[3]
Ketika Islam telah menjadi agama mayoritas di Sambas dan menjadi agama resmi
kerajaan, maka pergumulan kehidupan masyarakat diatur berdasarkan ketentuan
yang berlandaskan Islam, hal
ini terbukti dengan penempatan ulama sebagai bagian penting yang harus ada
dalam kerajaan Sambas, yaitu dengan mengangkat Maharaja Imam sebagai mufti
kerajaan.[4]
Selanjutnya, mengenai
informasi berdirinya cabang Muhammadiyah di Sambas, peneliti menemukan dua
sumber mengenai tahun yang berbeda. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ansar Rahman,[5]
sebagaimana di sebutkan bahwa berdirinya Muhammadiyah di Borneo Barat dirintis
oleh dua orang guru agama yakni Manaf (ayah dari dr. Abdul Hadi) dan Mohammad
Akib yang datang dari Sumatera Barat sejak tahun 1925. Kedua tokoh ini
mengajarkan agama Islam dengan memakai sistem dan metode Muhammadiyah. Setelah
kader-kadernya cukup dewasa, maka pada tahun 1932 lahirlah gerakan Muhammadiyah
sebagai cabang Sambas yang di pimpin H. A. Malik Sood. Pendapat kedua yang terkait pembentukan cabang
Muhammadiyah di Sambas yang di peroleh dari Syafaruddin Usman MHD[6],
dalam kronik riwayat mengatakan bahwa pada tahun 1937 terbentuk pergerakan
Islam Muhammadiyah cabang Sambas yang diketuai oleh H. A Malik Sood dengan
pengurus lain seperti A. Rahman Umbri, A. Kadir Kasim, Sanusi, Sjarif Hamid dan
Uray Kastani.
Berdasarkan dari dua
sumber diatas peneliti temukan terdapat perbedaan awal berdirinya Muhammadiyah
di Sambas, yaitu pada tahun 1932 dan 1937. Untuk melihat lebih jauh awal
masuknya Muhammadiyah di Sambas, peneliti akan menguraikan perjalanan awal
masuknya Muhammadiyah ke Sambas. Maka dalam hal ini, sebagaimana informasi yang
diperoleh dari Lisyawati Nurcahyani[7],
bahwa sekitar pertengahan tahun 1932, pusat pimpinan Muhammadiyah yang terpilih
ialah K.H Hisyam, pada masa kepemimpinannya kegiatan dakwah dilakukan dengan
seluas-luasnya. Pada kesempatan inilah K.H Khatib Syatibi diutus ke Borneo
Barat untuk memperkenalkan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi. Sesuai
dengan visi Muhammadiyah[8]
yaitu:
1.
Menegakkan
tauhid yang murni berlandaskan Al-Quran dan As-Sunah.
2.
Menyebarluaskan
dan memajukan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunah yang
shahihah/muqbulah.
3.
Mewujudkan
Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Awal kedatangan K.H
Khatib Syatibi di Borneo Barat tepatnya berada di daerah Pontianak, yang mana
sebelumnya telah ada dua orang guru agama dari Sumatera Barat yang telah
mengajarkan paham Muhammadiyah di Pontianak.[9]
Kedatangan K.H Khatib Syatibi di Pontianak disambut oleh
guru Manaf (Manaf Siasa) guru Perguruan Islamiyah kampong Bangka Pontianak[10],
Setelah bermalam di Ponianak barulah K.H Khatib
Syatibi melanjutkan dakwahnya. Selanjutnya, dalam perjalanan dakwahnya K.H
Khatib Syatibi singgah ke Bakau Kecil, kedatangannya di sambut oleh Penghulu
Kiting bersama H. Jafar, setelah bermalam satu malam kemudian barulah melanjutkan
perjalanan dakwahnya ke Sei Kunyit dan disambut oleh Kepala Kampung (penghulu)
Sie Kunyit yaitu H. Abdul Razak dan H. Sood. Pada hari berikutnya dilanjutkan
menuju Singkawang dan disambut oleh guru M. Taufik, guru Hamid, dan Thaha
Yusuf, kemudian ke Selakau dan disambut oleh H. Saad, tiga hari di Singkawang,
barulah K.H Khatib Syatibi berangkat ke
Sambas dimana kedatangannya disambut oleh H. Abdurrahman dan H. Basuni Imran.[11]
Maksud kedatangan K.H Khatib Syatibi ke Sambas, adalah
untuk memperkenalkan organisasi Muhammadiyah dan gerakannya, terutama yang
bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Hal ini yang merupakan cetusan dari
Konferensi Nasional Mubaligh Muhammadiyah seluruh Indonesia yang diadakan di
Yogyakarta.[12]
Sebagaimana yang di
ungkapkan oleh Risa[13]
dalam tesisnya, bahwa tumbuhnya organisasi di Sambas dengan melalui aktifitas
pengajaran, pengajian, penyuluhan dan pengkajian Islam melalui diskusi-diskusi
keagamaan yang kemudian melahirkan kesadaran masyarakat Sambas, akan rasa
tertindas akibat penjajahan. Kemudian kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk
organisasi sosial dan politik baik yang bersifat lokal maupun nasional seperti
Perkoempoelan Tarbiatoel Islam (1936 M), organisasi Muhammadiyah (1932 M) dan
Gerakan Indonesia Raya (1937) yang secara umum membangkitkan gerakan nasionalisme
melalui pendidikan. Organisasi Muhammadiyah di Sambas pertama kali saat itu diketuai
oleh H. A Malik Sood.[14]
Awal di bentuknya organisasi Muhammadiyah di Sambas keanggotaannya hanya
beberapa orang. Hal ini dikarenakan organisasi Muhammadiyah terhitung masih
baru di Sambas. Pada tahun 1937, perkembangannya telah menyebar di berbagai
daerah Sambas, selain itu dibentuk pula Kepaduan Hizbul Wathan, satuan
organisasi di bawah Muhammadiyah yang diketuai oleh Buyung Umri dengan pengurus
lain seperti Harun Ahmad dan Rusdi Bakri.[15]
[1] Erwin Mahrus,
dkk, Shaykh Ahmad Khatib Sambas
(1803-1875) Sufi dan Ulama Besar Dikenal Dunia, (Pontianak: Untan Press,
2003), hal. 4.
[2] Sunandar, Peran Mahraja Imam Muhammad Basiuni Imran
Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat kerajaan Al-Watzikhoebillah Sambas
1913-1976, Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tidak
diterbitkan, 2013, hal. 46.
[3] Pabali Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat
Kajian Naskah Asal Raja-Raja dan Silsilah Raja Sambas, (Pontianak: Romeo
Grafika Pontianak, 2003), hal. 36.
[4] Mengenai
dinamika dan peran Maharaja Imam di kesultanan Sambas, lihat Sunandar, Peran Maharaja Imam..., hal. 95.
[5] Ansar Rahman,
dkk, Kabupaten Sambas Sejarah Kesultanan
dan Pemerintahan Daerah, (Sambas: Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas,
2001), hal. 101.
[6] Syafaruddin
Usman MHD, Sambas Merajut Kisah Menenun
Sejarah, (Pontianak: Pemerintah Kabupaten Sambas, 2011), hal.152.
[7] Lihat, Lisyawati
Nurcahyani, sejarah kerajaan Sambas, (Pontianak:
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 133.
[8] Haedar Nashir,
Buku Pintar Muhammadiyah, (Yogyakarta,
Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013),
hal. 29.
[9] Lihat, Jonhansen,
Jurnal Sejarah...,hal 129.
[10] Ibid, hal. 133.
[11]https://spupe07.wordpress.com/2009/12/31/sejarah-dan-perkembangan-muhammadiyah-kalimantan-barat/, diunduh 2 Mei
2015. mengenai tentang jabatan H. Basuni Imran, adalah seorang Maharaja Imam di Sambas sedangkan H.
Abdurrahman adalah seorang Imam Maharaja. Lihat, Machrus Effendy, Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam
Sambas, (Jakarta, tidak diterbitkan, 1995), hal. 29.
[12] Johansen, dkk,
Jurnal Sejarah...,hal 133.
[13] Risa, Perkembangan
Islam di Kesultanan Sambas pada Masa Pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin II
(1866-1922 M), (Yogyakarta:
Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tidak diterbitkan, 2013), hal. 138-139.
[14] Nama
lengkapnya adalah Abdul Malik Sood, berdasarkan data yang di temukan peneliti,
menyebutkan bahwa Abdul Malik Sood adalah anak dari Datok Kaye salah satu orang
kaya di Sambas. Dari latar belakang keluarga terpandang membuat Abdul Malik
Sood di lingkungan masyarakat Tumok Manggis dikenal dengan sosok kepribadian yang
baik. Abdul Malik Sood merupakan ketua Muhammadiyah pertama di Sambas, tetapi setelah
beberapa tahun kemudian Abdul Malik Sood hijrah ke Bandung untuk melanjutkan
sekolah anaknya dan tidak kembali lagi ke Sambas.
[15] Usman, Sambas Merajut Kisah..., hal 153.
0 comments:
Post a Comment