Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Monday, 21 November 2016

Sejarah Masuknya Muhammadiyah di Sambas


Sambas merupakan kerajaan Melayu, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam dan berbudaya Melayu. Jika dilihat dari kondisi sosial pada masyarakatnya, Sambas sangat terbuka terhadap perkembangan disekitarnya,[1] termasuklah keterbukaannya terhadap pergerakan nasional dan gerakan keagamaan yang berkembang di Sambas salah satunya adalah organisasi Muhammadiyah. Mengenai sosial keagamaan pada masyarakat Sambas, masyarakat Sambas merupakan basis NU yang merupakan daerah yang menganut sistem pemerintahan tradisional. Kondisi ini berlangsung sejak masa pendudukan Majapahit sekitar abad ke-13 M.[2]
Selanjutnya, perjalanan sejarah Sambas mengalami proses Islamisasi sebagaimana yang terjadi diseluruh kepulauan Melayu di Nusantara, hasilnya, pada awal abad ke-17 berubah menjadi kesultanan Islam yang berpusat di Muare Ulakan (sekarang Dalam Kaum Sambas).[3] Ketika Islam telah menjadi agama mayoritas di Sambas dan menjadi agama resmi kerajaan, maka pergumulan kehidupan masyarakat diatur berdasarkan ketentuan yang berlandaskan Islam, hal ini terbukti dengan penempatan ulama sebagai bagian penting yang harus ada dalam kerajaan Sambas, yaitu dengan mengangkat Maharaja Imam sebagai mufti kerajaan.[4]
Selanjutnya, mengenai informasi berdirinya cabang Muhammadiyah di Sambas, peneliti menemukan dua sumber mengenai tahun yang berbeda. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ansar Rahman,[5] sebagaimana di sebutkan bahwa berdirinya Muhammadiyah di Borneo Barat dirintis oleh dua orang guru agama yakni Manaf (ayah dari dr. Abdul Hadi) dan Mohammad Akib yang datang dari Sumatera Barat sejak tahun 1925. Kedua tokoh ini mengajarkan agama Islam dengan memakai sistem dan metode Muhammadiyah. Setelah kader-kadernya cukup dewasa, maka pada tahun 1932 lahirlah gerakan Muhammadiyah sebagai cabang Sambas yang di pimpin H. A. Malik Sood. Pendapat kedua yang terkait pembentukan cabang Muhammadiyah di Sambas yang di peroleh dari Syafaruddin Usman MHD[6], dalam kronik riwayat mengatakan bahwa pada tahun 1937 terbentuk pergerakan Islam Muhammadiyah cabang Sambas yang diketuai oleh H. A Malik Sood dengan pengurus lain seperti A. Rahman Umbri, A. Kadir Kasim, Sanusi, Sjarif Hamid dan Uray Kastani.
Berdasarkan dari dua sumber diatas peneliti temukan terdapat perbedaan awal berdirinya Muhammadiyah di Sambas, yaitu pada tahun 1932 dan 1937. Untuk melihat lebih jauh awal masuknya Muhammadiyah di Sambas, peneliti akan menguraikan perjalanan awal masuknya Muhammadiyah ke Sambas. Maka dalam hal ini, sebagaimana informasi yang diperoleh dari Lisyawati Nurcahyani[7], bahwa sekitar pertengahan tahun 1932, pusat pimpinan Muhammadiyah yang terpilih ialah K.H Hisyam, pada masa kepemimpinannya kegiatan dakwah dilakukan dengan seluas-luasnya. Pada kesempatan inilah K.H Khatib Syatibi diutus ke Borneo Barat untuk memperkenalkan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi. Sesuai dengan visi Muhammadiyah[8] yaitu:
1.      Menegakkan tauhid yang murni berlandaskan Al-Quran dan As-Sunah.
2.      Menyebarluaskan dan memajukan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunah yang shahihah/muqbulah.
3.      Mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Awal kedatangan K.H Khatib Syatibi di Borneo Barat tepatnya berada di daerah Pontianak, yang mana sebelumnya telah ada dua orang guru agama dari Sumatera Barat yang telah mengajarkan paham Muhammadiyah di Pontianak.[9] Kedatangan K.H Khatib Syatibi di Pontianak disambut oleh guru Manaf (Manaf Siasa) guru Perguruan Islamiyah kampong Bangka Pontianak[10], Setelah bermalam di Ponianak barulah K.H Khatib Syatibi melanjutkan dakwahnya. Selanjutnya, dalam perjalanan dakwahnya K.H Khatib Syatibi singgah ke Bakau Kecil, kedatangannya di sambut oleh Penghulu Kiting bersama H. Jafar, setelah bermalam satu malam kemudian barulah melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Sei Kunyit dan disambut oleh Kepala Kampung (penghulu) Sie Kunyit yaitu H. Abdul Razak dan H. Sood. Pada hari berikutnya dilanjutkan menuju Singkawang dan disambut oleh guru M. Taufik, guru Hamid, dan Thaha Yusuf, kemudian ke Selakau dan disambut oleh H. Saad, tiga hari di Singkawang, barulah K.H Khatib Syatibi berangkat ke Sambas dimana kedatangannya disambut oleh H. Abdurrahman dan H. Basuni Imran.[11] Maksud kedatangan K.H Khatib Syatibi ke Sambas, adalah untuk memperkenalkan organisasi Muhammadiyah dan gerakannya, terutama yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Hal ini yang merupakan cetusan dari Konferensi Nasional Mubaligh Muhammadiyah seluruh Indonesia yang diadakan di Yogyakarta.[12]
Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Risa[13] dalam tesisnya, bahwa tumbuhnya organisasi di Sambas dengan melalui aktifitas pengajaran, pengajian, penyuluhan dan pengkajian Islam melalui diskusi-diskusi keagamaan yang kemudian melahirkan kesadaran masyarakat Sambas, akan rasa tertindas akibat penjajahan. Kemudian kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk organisasi sosial dan politik baik yang bersifat lokal maupun nasional seperti Perkoempoelan Tarbiatoel Islam (1936 M), organisasi Muhammadiyah (1932 M) dan Gerakan Indonesia Raya (1937) yang secara umum membangkitkan gerakan nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi Muhammadiyah di Sambas pertama kali saat itu diketuai oleh H. A Malik Sood.[14] Awal di bentuknya organisasi Muhammadiyah di Sambas keanggotaannya hanya beberapa orang. Hal ini dikarenakan organisasi Muhammadiyah terhitung masih baru di Sambas. Pada tahun 1937, perkembangannya telah menyebar di berbagai daerah Sambas, selain itu dibentuk pula Kepaduan Hizbul Wathan, satuan organisasi di bawah Muhammadiyah yang diketuai oleh Buyung Umri dengan pengurus lain seperti Harun Ahmad dan Rusdi Bakri.[15]




[1] Erwin Mahrus, dkk, Shaykh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875) Sufi dan Ulama Besar Dikenal Dunia, (Pontianak: Untan Press, 2003), hal. 4.
[2] Sunandar, Peran Mahraja Imam Muhammad Basiuni Imran Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat kerajaan Al-Watzikhoebillah Sambas 1913-1976, Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tidak diterbitkan, 2013, hal. 46.
[3] Pabali Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat Kajian Naskah Asal Raja-Raja dan Silsilah Raja Sambas, (Pontianak: Romeo Grafika Pontianak, 2003), hal. 36.
[4] Mengenai dinamika dan peran Maharaja Imam di kesultanan Sambas, lihat Sunandar, Peran Maharaja Imam..., hal. 95.
[5] Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah, (Sambas: Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas, 2001), hal. 101.
[6] Syafaruddin Usman MHD, Sambas Merajut Kisah Menenun Sejarah, (Pontianak: Pemerintah Kabupaten Sambas, 2011), hal.152.
[7] Lihat, Lisyawati Nurcahyani, sejarah kerajaan Sambas, (Pontianak: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 133.
[8] Haedar Nashir, Buku Pintar Muhammadiyah, (Yogyakarta, Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013), hal. 29.
[9] Lihat, Jonhansen, Jurnal Sejarah...,hal 129.
[10] Ibid, hal. 133.
[11]https://spupe07.wordpress.com/2009/12/31/sejarah-dan-perkembangan-muhammadiyah-kalimantan-barat/, diunduh 2 Mei 2015. mengenai tentang jabatan H. Basuni Imran, adalah seorang Maharaja Imam di Sambas sedangkan H. Abdurrahman adalah seorang Imam Maharaja. Lihat, Machrus Effendy, Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas, (Jakarta, tidak diterbitkan, 1995), hal. 29.
[12] Johansen, dkk, Jurnal Sejarah...,hal 133.
[13] Risa, Perkembangan Islam di Kesultanan Sambas pada Masa Pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866-1922 M), (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tidak diterbitkan, 2013), hal. 138-139.
[14] Nama lengkapnya adalah Abdul Malik Sood, berdasarkan data yang di temukan peneliti, menyebutkan bahwa Abdul Malik Sood adalah anak dari Datok Kaye salah satu orang kaya di Sambas. Dari latar belakang keluarga terpandang membuat Abdul Malik Sood di lingkungan masyarakat Tumok Manggis dikenal dengan sosok kepribadian yang baik. Abdul Malik Sood merupakan ketua Muhammadiyah pertama di Sambas, tetapi setelah beberapa tahun kemudian Abdul Malik Sood hijrah ke Bandung untuk melanjutkan sekolah anaknya dan tidak kembali lagi ke Sambas.
[15] Usman, Sambas Merajut Kisah..., hal 153.

0 comments: