Oleh: Halim Setiawan
A.
Budaya Antar Ajong
Masyarakat Sentebang Kabupaten Sambas
Sambas adalah nama salah satu Kabupaten yang
teletak pada bagian pantai barat paling utara dari wilayah Provinsi Kalimantan
Barat. Kabupaten Sambas ini memiliki luas wilayah 6.395,70 km². Kabupaten Sambas memiliki 19 kecamatan salah satunya
adalah kecamatan Jawai. Kecamatan Jawai ini merupakan kecamatan yang berada
pada pesisir pantai. Salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Jawai ini
adalah Desa Sentebang.
Desa Sentebang ini merupakan desa yang tidak
jauh dari pesisir pantai. Adapun
salah satu kebudayaan yang terdapat di Desa Sentebang Kecamatan Jawai Kabupaten
Sambas ini adalah kegiatan Antar Ajong. Kegiatan Antar Ajong ini
biasanya dilakukan di salah satu pantai yang terdapat di Kecamatan Jawai yaitu
pantai Natuna Desa Sentebang.
Antar Ajong merupakan suatu ritual adat yang lahir dari sebuah
kebudayaan nenek moyang yang
masih dilestarikan hingga saat sekarang. Antar Ajong berasal dari dua
suku kata yaitu Antar dan Ajong. Antar merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia
ke bahasa Sambas yaitu Mengantar. Antar memiliki arti membawa,
mengantar, menemani, dan mengirim. Sedangkan Ajong itu sendiri memiliki
arti perahu, sampan atau perahu layar. Ajong ini memiliki ukura yang
lebih kecil dari perahu biasanya dan tidak bisa di naiki oleh manusia karena
akan tenggelam jika dinaiki. Perahu Ajong dibuat menyerupai kapal-kapal
layar dalam bentuk mini yang lengkap dengan geladak kamar tidur mirip perahu
kapal layar aslinya. Biasanya ukuran badan perahu bervariasi dengan lebar 20 cm
- 40 cm dan panjang 1,5 m - 4 m. Kain yang dibuat sebagai
layarnya sering tampil dalam berbagai warna tapi lebih didominasi oleh warna
putih dan kuning. Warna kuning merupakan identitas simbol dari
kerajaan Sambas itu sendiri. Badan perahu diberi warna cat bebas dengan variasi
gambar ukiran khas sambas.
Antar Ajong menjadi sebuah ritual
yang dilakukan untuk menghindarkan masyarakat dari segala bala (hal-hal
jahat yang tidak di inginkan atau hal negatif, seperti wabah penyakit, hama
tanaman yang merajalela dan bencana alam. Ritual ini juga sebagai pertanda dimulainya masa bercocok tanam
padi, karena mayoritas masyarakat Desa Sentebang Kecamatan Jawai memiliki
profesi sebagai petani selain dari nelayan. Kegiatan Antar Ajong ini dilakukan
setiap satu tahun sekali yaitu pada setiap pertengahan tahun antara bulan Juni
sampai Juli.
B.
Persiapan Hingga Prosesi Budaya Antar Ajong
Masyarakat Sentebang Kabupaten Sambas
1.
Persiapan
Ajong
Sebelum melaksanakan ritual adat Antar Ajong maka tokoh-tokoh
masyarakat beserta tokoh adat kampung tersebut melakukan suatu musyawarah. Melalui musyawarah yang dituakan oleh
pemangku adat setempat maka dilakukan musyawarah masyarakat untuk menentukan hari atau tanggal
pelaksanaan Antar Ajong. Apabila telah disepakati maka masyarakat secara
bersama-sama mempersiapkan segala perangkat yang diperlukan khususnya untuk
mencari kayu atau pohon di hutan kampung yang tepat untuk dijadikan bahan Ajong
tersebut.
Menentukan pohon yang diambil tersebut terlebih dahulu dilakukan renungan
oleh tetua (ketua adat) untuk mendapatkan petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa dengan
melakukan pembacaan doa bersama. Apabila kayu tersebut sudah ditemukan maka
dilakukan pengasapan atau pembersihan kayu tersebut dari roh-roh yang jahat,
dengan harapan agar kayu tersebut tetap mampu membawa segala beban yang
terdapat dalam Ajong tersebut.
Benda-benda lambang dalam upacara ini dipercaya memiliki kekuatan guna
maksud tertentu. Pembuatan Ajong tersebut dilakukan oleh masyarakat
secara bergotong royong dari mulai memotong, membelah bahkan hingga mengecat
serta memberi bentuk layar Ajong tersebut. Ajong yang didesain
seperti layaknya perahu layar tersebut juga diisi dengan beberapa muatan seperti
telur ayam kampung, ratteh (padi yang digoreng tapi tidak mengguakan
minyak seperti membuat pop corn), beras kuning, tebu, pisang wetel,
kue cucur dan sebagainya.
Sehari sebelum Ajong diantar didahului oleh kegiatan yang disebut ratib, yaitu suatu kegiatan
mengagung-agungkan Asma Allah disertai doa selamat dan doa tolak bala.
Kegiatan ratib ini merupakan salah
satu hasil dari pengakulturasian ajaran Islam ke dalam tradisi lokal yang
sebelumnya sangat kental dengan unsur dari kepercayaan Hindu. Sebab, proses
Islamisasi yang dilakukan pada zaman kesultanan Sambas sangat menghargai
eksistensi tradisi lokal tersebut.
2.
Upacara Besiak
Besiak adalah sebuah kegiatan untuk menangkap roh-roh jahat penguasa hal negatif
guna dimasukkan ke dalam Ajong. Proses penangkapan roh jahat tersebut
juga dilakukan dengan menggunakan roh-roh (baik) penguasa alam gaib di kawasan
setempat yang merasuki pawang.
Upacara besiak dimulai yang ditandai dengan pembakaran kemenyan oleh pawang
(dukun) sambil mengambur-hamburkan ratteh (padi yang di buat seperti pop
corn) dan beras kuning ke sekeliling penonton. Lalu, dimulailah proses
pemanggilan roh. Ketika memanggil roh, pawang (dukun) bersahut-sahutan
melantunkan syair dan lagu khusus yang diiringi dengan pukulan gendang dan alat
musik lainnya.
Sebelum syair habis dilantunkan, tiba-tiba terjadi perubahan pada sang
pawang. Tubuhnya berkelojotan sesaat dan matanya nanar. Itu diyakini sebagai
pertanda bahwa tubuhnya telah disusupi oleh roh. Peradi kemudian berkomunikasi
dengannya dan menyatakan maksud pemanggilan. Roh baik yang datang itu diminta
untuk "menangkap" roh-roh jahat dan memasukkannya ke dalam Ajong.
Pawang yang sudah dirasuki roh itu terkadang bertingkah aneh-aneh. Ada
kalanya ia memanjat di atas atap rumah, pohon dan sebagainya. Setelah itu, ia
akan mengelilingi Ajong sambil menaburkan ratteh atau mengipasinya dengan mayang pinang. Biasa pula ia minta
dihibur dulu dengan nyanyian dan tarian.
Pawang biasanya dirasuki oleh beberapa roh. Ini diketahui dari pengakuan
roh yang meminjam tubuh pawang. Ketika ditanya, ia memperkenalkan diri dengan
nama yang berbeda-beda. Tak jarang juga ditemukan penonton yang ikut-ikutan
dirasuki roh. Upacara baru dinyatakan selesai setelah roh tersebut menyatakan
bahwa semua roh jahat yang ada dan potensial mengganggu telah ditangkap dan
dimasukkan ke dalam Ajong. Dengan demikian, Ajong-ajong itu sudah
siap untuk dihanyutkan ke laut.
3.
Ritual Pelepasan Ajong Ke Laut
Apabila Ajong
sudah selesai dilaksanakan, maka dilakukan penurunan Ajong pada parit kecil
sebagai wujud pengadaptasian untuk mengarungi lautan luas. Waktu dilakukan
pelepasan Antar Ajong kelautan lepas, terlebih dahulu semua Ajong-ajong
punya masyarakat itu disusun secara sejajar di pinggir pantai dengan corak dan
warna yang sangat bervariasi.
Ajong sebelum dilepas terlebih dahulu diantar dengan
tradisi joget dan bahkan pencak silat yang diiringi dengan bunyi-bunyian
gendang tradisional masyarakat setempat. Usai acara hiburan tersebut dan setelah mendapatkan
instruksi dari pawang, para pemilik Ajong lalu memanggul Ajong
mereka masing-masing. Dengan aba-aba berupa Shalawat Nabi, mereka berlari
sejadi-jadinya menuju laut. Pelepasan Ajong harus dilakukan secara
serentak oleh pemilik Ajong, Ajong tersebut digiring ke bibir
laut yang selanjutnya akan terbawa arus menuju lautan lepas. Mereka baru
kembali ke daratan setelah Ajong dinilai aman berlayar.
C. Makna Budaya Antar Ajong
Masyarakat Jawai Sambas
Jawai sebagai salah satu kawasan pesisir di
Kabupaten Sambas dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Ini terbukti dari
hasil tangkapan ikan dari para nelayan, lahan yang cukup subur terutama untuk
perkebunan dan pertanian sehingga memungkinkan masyarakat di sana memilih
bekebun dan bertani. Dengan alam yang begitu potensial tersebut sudah
sewajarnya masyarakat setempat bersyukur kepada Pencipta alam ini.
Kekhawatiran terhadap musibah yang melanda masih tetap ada, wabah dan
penyakit, kegagalan panen akibat hama dan berbagai gangguan terhadap desa
mereka masih muncul disebagaian masyarakat ini. Berbagai cara mereka lakukan
untuk menanggulangi berbagai gangguan tersebut. Bagi mereka yang masih percaya
bahwa segala gangguan itu bersumber dari roh-roh jahat yang menyebar di
beberapa penjuru desa seperti di hutan, laut, gunung dan sebagainya maka salah
satu tradisi lokal yang masih dilakukan adalah Antar Ajong seperti yang
terdapat di Desa Sentebang Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas.
D.
Peran dan Sistem
Komunikasi Budaya Antar Ajong Masyarakat Jawai Sambas
Adapun peran dari di adakannya Antar Ajong ini adalah:
1. Dengan diadakannya Antar Ajong, masyarakat dapat mengetahui musim
tanam padi yang sesuai dan tepat menurut kepercayaan setempat. Selain itu,
kegiatan ini telah dijadikan masyarakat untuk mempererat hubungan silaturahmi
di antara mereka. Dapat disaksikan dari persiapan Antar Ajong diawali
dengan musyawarah antar tetua masyarakat, begitupula dimulai dari pencarian
bahan Ajong, pembuatan, penyeiaan sesajian, sampai upacara ritual
pelepasan Ajong ke laut itu semua dilakukan secara bergotong-royong
antar desa.
2. Selain itu, Antar Ajong telah menjadi sarana hiburan menarik baik
bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Bahkan tradisi ini dapat
digali dan dijadikan sebagai aset wisata yang menjanjikan sehingga imbasnya
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Paloh. Paloh menjadi salah satu tempat
yang dikenali dengan ikon Antar Ajongnya. Di sela-sela acara tahunan ini
masyarakat dapat berjualan sehingga menambah pendapatan mereka.
Komunikasi adalah pertukaran simbol, jadi komunikasi antar budaya
adalah pertukaran simbol dari dua orang atau lebih (etnis/ras) yang
dilatarbelakangi oleh faktor perbedaan budaya. [1]
Dari definisi tersebut layak diamati bahwa dalam kebudayaan itu ada; gagasan,
budi dan karya manusia; gagasan dan karya manusia itu akan menjadi kebudayaan
setelah sebelumnya dibiasakan dengan belajar. Memandang kebudayaan hanya dari
segi hasil karyanya adalah tidak tepat. Demikian juga melihat sesuatu hanya
dari gagasan manusia juga terlalu sempit. Dengan kata lain, kebudayaan
menemukan bentuknya jika dipahami secara keseluruhan.
Antar ajong memiliki sistem komunikasi yang sangat komplit mulai dari
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, komunikasi intra personal dan antar
personal. Komunikasi yang terjalin di dalamnya juga terdapat komunikasi lintas
agama dan budaya. Antar Ajong juga memiliki suatu sistem komunikasi yang
terjalin antara dimensi yang berbeda, yang di tunjukan pada suatu ritual
sebelum Ajong itu di bawa kelaut. Komunikasi demikian dinamakan
komunikasi transendental. Komunikasi
transendental secara luas dapat diartikan sebagai proses komunikasi antara
manusia dan sang penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Komunikasi jenis ini
dapat berupa aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Sang
Khalik, misalnya shalat, dan berbagai bentuk permohonan doa yang dipanjatkan
manusia kepada Tuhan.[2] Melalui Antar Ajong dapat
memperbaiki hubungan silaturahmi dengan melakukan berbagai interaksi khususnya
melalui suatu komunikasi yang terbentuk melalui acara tersebut.
E.
Komunikasi
Sebagai Proses Budaya
Dalam hubungannya Antar
Ajong dengan proses budaya komunikasi yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain adalah sebuah pertukaran budaya.
Dalam proses tersebut terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah
bahasa, sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi
juga disebut sebagai proses budaya.
Budaya merupakan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan
belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum,
berpakaian berbicara, bertani, bertukang, berelasi dalam masyarakat adalah
budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam
gagasan yang terdapat fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan
masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup.[3]
Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan
lainnya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[4]
Jika ditinjau secara
lebih kongkrit, hubungan antara komunikasi dengan isi kebudayaan Antar Ajong
akan semakin jelas. Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik
manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain.
Wujud banyaknya bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa
bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana penggunaan bahasa yang
efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari
komunikasi sebagai proses budaya. Termasuk di sini juga ada manifestasi
komunikasi sebagai proses kesenian misalnya, dalam ritual Antar Ajong tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adeng Muchtar Ghazali. Antropologi Agama:
Upaya Memahami Keragaman, Kepercayaan, Keeyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta,
2015.
Ahmad Fedyani Saifuddin. Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana,
2006.
Mohammad Zamroni. Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis,
Epistimologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Suryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bnadung:
Pustaka Setia. 2015.
[1] Mohammad Zamroni, Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis,
Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 229.
[3] Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman,
Kepercayaan, Keeyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 37
[4] Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 82.
0 comments:
Post a Comment