Oleh: Halim
Setiawan
Abstrak
Pernikahan merupakan suatu bentuk ibadah
dimana seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad dengan tujuan meraih
kehidupan yang sakinah (tenang, damai), mawaddah (saling
mencintai dan penuh kasih dan sayang), serta warahmah (kehidupan yang
dirahmati Allah). Pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting
dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan, dapat dibentuk ikatan
hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam
suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat
terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari
perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hukum dari pernikahan itu terkadang bisa
mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga
bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi
makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan
sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Pernikahan
dini merupakan sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua
pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah
menengah atas yang sudah akil baligh. sebuah pernikahan di sebut pernikahan
dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun
(masih berusia remaja).Islam adalah agama yang sesuai dengan
tabiat manusia, sehingga jelas bahwa kesucian dan kebersihan seksual
meniscayakan kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam dalam hal penting
dalam kehidupan ini. Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Islam tidak
melarang sesorang yang akan melangsungkan pernikahan dengan syarat sudah baligh
dan sudah mampu dalam memberika nafkah baik itu nafkah jasmani maupun rohani. Melihat dari sudut pandang kedokteran,
pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang
dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan
dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita.
Kata
Kunci: Pernikahan, Usia Dini, Hukum Islam
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan hal
yang penting bagi manusia, karena dengan pernikahan seseorang akan memperoleh
keseimbangan hidup baik secara psikologis, maupun biologis. Agama Islam
juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis
manusia adalah hanya dengan pernikahan. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan
bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu
ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai
sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu, pernikahan juga
menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun
surga dunia di dalam nya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan
tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah
ditetapkan Islam.
Pernikahan pada umumnya
dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya
atau miskin, dan sebagainya. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai
kemampuan baik dari segi fisik maupun mental akan mencari pasangan hidup sesuai
kriteria yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia, pernikahan seharusnya
menjadi sesuatu yang bersifat seumur hidup. Tetapi tidak semua orang bisa
memahami hakikat dan tujuan pernikahan yang seutuhnya yaitu mendapatkan
kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan berumah tangga.
Batas usia dalam
melaksanakan pernikahan sangatlah penting karena didalam pernikahan menghendaki
kematangan psikologis. Usia pernikahan yang terlalu muda dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung
jawab dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan yang sukses sering ditandai
dengan kesiapan memikul suatu tanggung jawab.
PEMBAHASAN
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan suatu perjanjian
suci yang diikrarkan oleh suatu pasangan untuk
membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita.
Dalam bahasa Arab, kata zauj (pasangan) berarti suami (ba’l) dan
juga istri (zaujah); yang merupakan kebalikan dari kata fard (seorang
diri tanpa yang lain). Zauj berarti dua (sepasang), baik laki-laki
maupun perempuan. Allah berfirman:
وَأَنَّهُۥ
خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ ٤٥
Artinya:dan
bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita (Q.S.
An-Najm: 45)
Menurut Muhammad Nabil Khazim (2007:
20) Zawaj (perkawinan atau
pernikahan) adalah penyatuan suami dengan istri, atau laki-laki dengan
perempuan. Sedangkan zauj adalah setiap orang yang didampingi oleh yang
lain dari sejenisnya. Zauj juga bisa berarti sesuatu dan lawannya; siang
dan malam, manis dan pahit, basah dan keering, dan seterusnya.
Menurut pandangan Islam, (M. Thobroni
dan Aliyah A. Munir, 2010: 11) Nikah adalah suatu bentuk ibadah dimana
seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad dengan tujuan meraih kehidupan
yang sakinah (tenang, damai), mawaddah (saling mencintai dan penuh kasih
dan sayang), serta warahmah (kehidupan yang dirahmati Allah).
Pengertian nikah banyak yang
mengartikannya dengan berbagai pengertian, namun mengandung maksud yang sama. Nikah
juga bisa diartikan sebagai suatu akad yang memberikan hak kepada laki-laki dan
perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan perkataan nikah atau adanya
ijab dan qabul antara pasangan tersebut.
Menurut Sayuti Thalib (1986: 73), pengertian
pernikahanan ialah "perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang
pria dengan seorang wanita". Sedangkan Imam Syafi'i memberikan
definisi nikah (M. Idris Ramulyo, 1984: 2) ialah
"akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan
wanita." Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai
arti akad atau perjanjian, karena itu pendapat Anwar Haryono (1988: 219) yang
mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia."
Manusia menurut Gerungan (1978: 29) adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu
ingin bergaul, hidup bersama dan saling membutuhkan “pada dasarnya manusia
tidak sanggup hidup seorang diri”. Menurut Aristoteles (Simorangkir
dan Woeryono Sastropranoto, 1972: 1) manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat). Manusia diciptakan dengan
fitrahnya yaitu mempunyai hajat hidup untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada
lawan jenis. Hal ini merupakan kebutuhan biologis yang tidak dapat dipungkiri.
Tuhan telah menciptakan manusia mempunyai perasaan cinta kepada lawan jenisnya
Muhammad al-Bahi (t.t: 8) mengemukakan
bahwa cinta birahi merupakan faktor yang terpenting unntuk mendorong seseorang
berhubungan kepada lawan jenisnya. Adapun cara penyaluran nafsu birahi yang
paling baik ditempuh oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai martabat
tinggi ialah melalui perkawinan. Ini berarti bahwa untuk mengolah dan memakmurkan
bumi ini memerlukan adanya manusia yang banyak dan bersinambung generasi sampai
akhir zaman. Dengan demikian, pengembangan keturunan manusia sangat diperlukan
adanya. Disinilah pentingnya pernikahan, karena “adanya manusia tergantung
adanya pernikahan”.
Pernikahan menurut Ali
Ahmad al-Jurjani (1961: 5) mempunyai arti dan kedudukan
yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan,
dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis
secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya
keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin
dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan Pernikahan
Pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat
penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan, dapat dibentuk
ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi
dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga
dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai
dari pernikahan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan dari
penikahan juga terdapat dalam al-Qur’an, Adapun tujuan dari pernikahan itu
sendiri sudah jelas termaktub dalam surah ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم
مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ
وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Q.S. ar-Rum : 21)
Pernikahan
menurut M. Quraish Shihab
(2002: 35) melahirkan ketenangan batin. Setiap jenis kelamin pria atau wanita,
jantan atau betina dilengkapi Allah dengan alat kelamin, yang tidak berfungsi
berfungsi secara sempurna jika ia berdiri sendiri. Kesempurnaan eksistensi
makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan
pasangannya. Allah telah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan untuk
menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing ingin mempertahankan
eksistensi jenisnya. Dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri
seksual. Karena itu, setiap jenis tersebut merasa perlu menemukan lawan
jenisnya, dan ini, dari hari kehari memuncak dan mendesak pemenuhannya. Dia
akan merasa gelisah, pikirannya akan kacau, dan jiwanya akan terus bergejolak
jika penggabungan dan kebersamaan dengan pasangan itu tidak terpenuhi. Karena
itu Allah mensyariatkan bagi manusia perkawinan, agar kekacauan pikiran dan gejolak
jiwa itu mereda dan masing-masing meperoleh ketenangan.
Ayat
diatas menurut Moustafa al Qazwini,
(2003: 168) mengungkapkan tiga prinsip keberhasilan dalam pernikahan. Pertama,
pernikahan itu harus memberikan emosi dan perlindungan sosial (hidup tentram)
dimana suami dan istri menemukan keseimbangan dalam keuangan, spritual,
emosional, dan keamanan sosial. Prinsip kedua dari keberhasilan pernikahan
adalah cinta diantara pasangan suami istri. Pernikahan yang tidak berdasarkan
cinta, mudah gagal setiap saat. Dan prinsip ketiga ialah kasih sayang diantara
suami istri yang mengarah kepada saling pengertian, saling menghargai,
menghormati, dan perhatian.
Tujuan
awal dilaksanakannya nikah menurut Yusuf al-Qaradhawi (2002: 402) adalah agar suami istri bisa hidup bersama,
malam dan siang hari, musim panas maupun musim dingin. Namun, banyak ditemukan
pasangan suami istri yang sering berpisah karena suami berpergian untuk tujuan
bisnis atau karena tugas-tugas lain yang tidak dapat ditinggalkan (dengan
meninggalkan istrinya sampai beberapa hari, bahkan ada yang sampai
berbulan-bulan). Meskipun sudah tidak lagi memenuhi tujuan inti pernikahan,
bukan berarti menjadikan nikah mereka batal. Oleh karena itu, ada sebuah mazhab
yang mensyaratkan agar suami tidak meninggalkan istri lebih dari empat bulan
dan ada sebagian lagi yang berpendapat selama tidak melampaui enam bulan secara
bertuurt-turut kecuali darurat atau dengan izin istri.
Al-Qur’an
mengajarkan bahwa Allah menghendaki pria dan wanita bersatu dalam perkawinan
supaya dari persatuan mereka terciptalah generasi manusia baru yang meneruskan
eksistensi manusia di bumi.
Hingga
kini telah terbukti, bahwa pernikahan adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia. Nah, yang harus diperhatikan adalah kualitas pernikahan dan hubungan
pasangan suami istri, serta kehidupan sosial mereka setelah perkawinan.
Islam
sangat menitik beratkan pentingnya pembentukan unit kecil ini. Husain
‘Ali Turkamani (1988: 40) menegaskan bahwa kesejahteraan keluarga
menjamin kesejahteraan masyarakat. Inikah sebabnya, Islam berulang kali
menganjurkan pembentukan keluarga dan melestarikan kehidupan bersama yang
bahagia oleh pasangan suami istri bersama anak-anak mereka. Pasangan suami
istri ini, setelah perkawinan, meletakan fondasi bagi sebuah bangunan baru,
sebuah lembaga yang lebih unggul ketimbang lembaga-lembaga dan
bangunan-bangunan lain. Masyarakat yang suci itulah tempat mendidik secara
benar anak-anak masa kini yang kelak akan menjadi orang-orang besar dimasa depan. Yang pasti, semakin sehat
sistem ini, yang dipengaruhi oleh budaya orang tua dan sebagian oleh
masyarakat, maka semakin tinggi kualitas pertumbuhan anak-anak.
Pernikahan menurut Erwin Yudi Prahara
(2009: 313) akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Melihat
tujuan dari suatu pernikahan, maka di Indonesia juga membentuk suatu
undang-undang pernikahan yang bertujuan untuk menciptakan suatu rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah, sehingga tercipta pula
lingkungan masyarakat yang tidak semena-mena dan menyalahgunakan status
pasangan dari suami isteri.
Menurut undang-undang pernikahan (Libertus
Jehani, 2008: 1) No. 1 tahun 1974 (UUP) pernikahan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 1). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2
disebutkan, bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan
harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan dan persyaratan yang telah
ditentukan oleh hukum agama. Maka dengan sendirinya pernikahan yang
dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum agama adalah tidak sah. Karena
pernikahan merupakan perbuatan / peristiwa hukum yang secara otomatis
melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum.
Hukum Pernikahan
Para ulama
ketika membahas hukum pernikahan, (Muhammad Sholikhin, 2010: 180) menemukan bahwa menikah itu terkadang
bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang
juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa
menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua
akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya.
Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi.
A. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wjib hukumnya bagi
seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke
dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib.
Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi
seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Para ulama tidak berbeda pendapat
tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan
takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah
SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya
:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ
ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱلَّذِينَ
يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ
فِيهِمۡ خَيۡرٗاۖ وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ وَلَا تُكۡرِهُواْ
فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ
رَّحِيمٞ ٣٣
Artinya:Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan
pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa itu. (QS.An-Nur
: 33)
B.
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai
diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak
merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih
muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti
ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih
ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang
diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan
mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi
wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
C.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama
yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu
memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia
telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima
keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya
ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya.
Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia
berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon
pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit
menular dimana bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari
pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah
kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada
lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita
muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga
menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram
dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa
iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang
tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.
Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
D. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan
sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya
makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa
mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski
dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan
menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya
sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian
berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat
kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
E.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi
tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan
hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi
mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada
larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti
ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Pernikahan Dini
Pernikahan dini merupakan sebuah bentuk
ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun
atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Jadi sebuah
pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk
berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).
Fenomena yang terjadi saat sekarang
banyak muda mudi yang melakukan pernikahan dibawah umur 18 tahun dengan alasan
hamil duluan. Anak SMP, SMA, bahkan anak-anak SD pun sudah ada yang menikah.
Sudah pantaskah mereka melakukan pernikahan dengan usia yang begitu muda. Walaupun
begitu, dalam konteks beberapa budaya, pernikahan dini bukanlah sebuah masalah,
karena pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep
perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar
dikemudian hari karena pernikahan dini tersebut.
Pernikahan Dini Menurut Islam
Istilah pernikahan dini adalah istilah
kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat di awal waktu tertentu.
Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada
awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14
tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa.
Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang
menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak
wajar, "terlalu dini" istilahnya.
Menurut Imam Muhammad Syirazi dan
Asadullah Dastani Benisi (2004: 47) budaya
pernikahan dini dibenarkan oleh ilmuan dan agama. Ini adalah norma di antara
kaum Muslim sejak awal Islam, sebelum serbuan budaya, ekonomi, serta militer
Barat dan Timur atas tanah-tanah kaum Muslim. Jika pernikahan dini ini tidak
diperhatikan, maka akan terjadi kerusakan moral, bentuknya yang terkecil adalah
masturbasi, atau munculnya berbagai penyakit, sebagaimana yang telah
diperhatikan oleh kalangan medis.
Adalah budaya kaum muslim untuk
menikahkan gadis antara 10 hingga sekitar 15 tahun, dan perjaka antara awal
baligh hinga usia 18 tahun. Pernikahan dini merupakan kebutuhan vital bagi
mereka, apalagi dengan kemudahan yang
ada padanya. Tidak diperlukan studi yang rumit ataupun peralatan militer untuk
mewujudkannya. Pernikahan layaknya kebutuhan makan, minum, dan sandang bagi
mereka. Pria tertentu akan memerlukan wanita tertentu pula, dan sebaliknya;
tidak ada yang dapat menghalangi mereka urntuk bersatu sebagai pasangan yang
sah.
Mayoritas kaum muda aktif secara seksual
sejak usia sepuluh tahun bagi wanita, dan sejak baligh bagi laki-laki, dengan
segala konsekuensi berbahaya seperti aborsi, melimpahnya anak-anak haram di
jalan-jalan dan perkampungan miskin; munculnya berbagai macam penyakit, aksi
perzinahan, perselingkuhan, dan bunuh diri; juga timbulnya homoseksualitas,
perdagangan anak, dan lain-lain.
Islam adalah agama yang sesuai dengan
tabiat manusia, sehingga jelas bahwa kesucian dan kebersihan seksual
meniscayakan kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam dalam hal penting
dalam kehidupan ini.
Hukum Islam secara umum meliputi lima
prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.
Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga
jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh
Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap
terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui
pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi
(jalur keturunan) akan semakin kabur.
Terlepas dari semua itu, masalah
pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran
sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak
dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam
klasik dalam merespons kasus tersebut. Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama
melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai
esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan
keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia
lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri
dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan
kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah
(yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai
ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya,
mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan
hasil interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah
mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula
pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Bahkan sebagian
ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar
hukum Islam. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (2008:
315) para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam
perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai. Juga disyaratkan bahwa kedua
mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang
kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang
bersifat permanen maupun sementara. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah
dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak
dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi (t.t: 210) pernah
menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah
”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang
waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab
taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan
tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan
atas orang tuanya”. Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi
positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi
acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui
batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila
di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada
taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam
pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.
Pernikahan Usia Dini Menurut
Undang-Undang
Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan
berdasarka Undang-Undang Peradilan Anak.
“Jika seorang yang di
bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup
16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada
orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman,
atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah dengan tidak dikenakan
sesuatu hukuman”
Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas,
pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur adalah yang berusia belum 16
tahun.
Undang-undang negara kita telah mengatur
batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1
disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas
tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan
batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai
pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan
matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran,
pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang
dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan
dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita.
Dampak Pernikahan Dini
Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan
dini. Ada dampak fisik dan dampak psikologis, diantaranya adalah :
1. Dampak Fisik :
a. Ekonomi Rumah
Tangga
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan
keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi
kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan
dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi
muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa
ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.
b. Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher
rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human
papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.
Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner.
Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia
muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya
disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi
displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20
tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta
perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau
prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan
yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun
sekali.
c. Resiko
Kematian Ibu Melahirkan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh
pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, bahwa
usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun,
artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami
prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik
maupun mental , kebutaan dan ketulian.
2. Dampak Psikologis
a. Neoritis
deperesi
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa
terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert
(tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi
pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam
bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi
ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh
untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan
sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama
berbahaya.
"Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki
atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi
mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada
masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah
menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak.
Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih
bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya
masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam
tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi
atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak.
Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena
"kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada
remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas
begitu saja.
b. Konflik yang
berujung perceraian
Menurut E.B. Subakti (2008: 315) pernikahan usia muda mengandung resiko
besar karena secara mental mereka belum siap untuk memikul tanggung jawab yang
besar sebagai sebuah keluarga. Sibuknya seorang remaja menata dunia yang
baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini.
Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan
bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering
berbuntut perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa
cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau
menikah dalam usia muda, memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik,
remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa
membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil
sebaiknya dilakukan pada usia 20 - 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja
belum stabil.
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat
itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh di bilang baru
berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 - 24 tahun dalam psikologi,
dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya
mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil.
Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih
ingin bertualang menemukan jati dirinya.
Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus
melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk
belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan
gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah.
Simpulan
Pernikahan merupakan suatu perjanjian
suci yang diikrarkan oleh suatu pasangan untuk
membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita.
Hukum dari pernikahan itu ada sunnah (mandub),
ada yang wajib atau terkadang ada juga yang mubah. Bahkan dalam kondisi
tertentu ada yang makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk
dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan
permasalahannya.
Pernikahan
dini merupakan sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua
pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah
menengah atas yang sudah akil baligh. sebuah pernikahan di sebut pernikahan
dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun
(masih berusia remaja).
Islam tidak melarang sesorang yang akan
melangsungkan pernikahan dengan syarat sudah baligh dan sudah mampu dalam
memberika nafkah baik itu nafkah jasmani maupun rohani. Melihat dari sudut
pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu
maupun anak yang dilahirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Ahmad al-jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu, Mesir; Jami’atu
al-Ilmiyati, 1961
Anwar
Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang,
1988
E.B. Subakti, Sudah
Siapkah Menikah, Jakarta: IKAPI, 2008
Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:
Nadi Offset, 2009
Gerungan,
Psychologi Social, Jakarta:PT. Erasco, 1978
Husain “Ali Turkamani, Bimbingan Keluarga dan
Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988
Imam Muhammad Syirazi dan Asadullah Dastani Benisi, Dengan
Siapa Kita Menikah?; Panduan Islami dalam Memilih Jodoh & Membangun
Keluarga Sakinah, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004
Jalaluddin
Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Beirut : Darul Kutub Ilmiah,t.t
Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya, Jakarta:Forum
Sahabat, 2008
M.
Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan
Perkawinan Islam, Jakarta : Hill.Co., 1984
M. Thobroni
dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah dengan Menikah, Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2010
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera
Hati, 2002
Moustafa al Qazwini, Panggilan Islam, Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003
Muhammad
al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir, Jakarta: Dar
al-Qoumiyah, t.t
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta:
Lentera: 2008
Muhammad
Nabil Khazim, Buku Pintar Nikah; Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Solo:
Samudera, 2007
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa,
Yogyakarta: Narasi, 2010
Sayuti
Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1986
Simorangkir
dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung
Agung, 1972
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta:
Gema Insani Press, 2002
0 comments:
Post a Comment