Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Wednesday, 16 November 2016

PERNIKAHAN USIA DINI MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM


Oleh: Halim Setiawan

Abstrak

Pernikahan merupakan suatu bentuk ibadah dimana seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad dengan tujuan meraih kehidupan yang sakinah (tenang, damai), mawaddah (saling mencintai dan penuh kasih dan sayang), serta warahmah (kehidupan yang dirahmati Allah). Pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hukum dari pernikahan itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Pernikahan dini merupakan sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas yang sudah akil baligh. sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).Islam adalah agama yang sesuai dengan tabiat manusia, sehingga jelas bahwa kesucian dan kebersihan seksual meniscayakan kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam dalam hal penting dalam kehidupan ini. Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Islam tidak melarang sesorang yang akan melangsungkan pernikahan dengan syarat sudah baligh dan sudah mampu dalam memberika nafkah baik itu nafkah jasmani maupun rohani. Melihat dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Kata Kunci: Pernikahan, Usia Dini, Hukum Islam

PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan hal yang penting bagi manusia, karena dengan pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara psikologis, maupun biologis. Agama Islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu, pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalam nya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan Islam.
Pernikahan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya atau miskin, dan sebagainya. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik dari segi fisik maupun mental akan mencari pasangan hidup sesuai kriteria yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia, pernikahan seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat seumur hidup. Tetapi tidak semua orang bisa memahami hakikat dan tujuan pernikahan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan berumah tangga.
Batas usia dalam melaksanakan pernikahan sangatlah penting karena didalam pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul suatu tanggung jawab.

PEMBAHASAN
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan suatu perjanjian suci yang diikrarkan oleh suatu pasangan untuk  membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita. Dalam bahasa Arab, kata zauj (pasangan) berarti suami (ba’l) dan juga istri (zaujah); yang merupakan kebalikan dari kata fard (seorang diri tanpa yang lain). Zauj berarti dua (sepasang), baik laki-laki maupun perempuan. Allah berfirman:
وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ ٤٥
Artinya:dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita (Q.S. An-Najm: 45)
Menurut Muhammad Nabil Khazim (2007: 20)  Zawaj (perkawinan atau pernikahan) adalah penyatuan suami dengan istri, atau laki-laki dengan perempuan. Sedangkan zauj adalah setiap orang yang didampingi oleh yang lain dari sejenisnya. Zauj juga bisa berarti sesuatu dan lawannya; siang dan malam, manis dan pahit, basah dan keering, dan seterusnya.
Menurut pandangan Islam, (M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, 2010: 11) Nikah adalah suatu bentuk ibadah dimana seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad dengan tujuan meraih kehidupan yang sakinah (tenang, damai), mawaddah (saling mencintai dan penuh kasih dan sayang), serta warahmah (kehidupan yang dirahmati Allah).
Pengertian nikah banyak yang mengartikannya dengan berbagai pengertian, namun mengandung maksud yang sama. Nikah juga bisa diartikan sebagai suatu akad yang memberikan hak kepada laki-laki dan perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan perkataan nikah atau adanya ijab dan qabul antara pasangan tersebut.
Menurut Sayuti Thalib (1986: 73), pengertian pernikahanan ialah "perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang wanita". Sedangkan Imam Syafi'i memberikan definisi nikah (M. Idris Ramulyo, 1984: 2) ialah "akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita." Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai arti akad atau perjanjian, karena itu pendapat Anwar Haryono (1988: 219) yang mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia."
Manusia menurut Gerungan (1978: 29)  adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu ingin bergaul, hidup bersama dan saling membutuhkan “pada dasarnya manusia tidak sanggup hidup seorang diri”. Menurut Aristoteles (Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, 1972: 1) manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat). Manusia diciptakan dengan fitrahnya yaitu mempunyai hajat hidup untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada lawan jenis. Hal ini merupakan kebutuhan biologis yang tidak dapat dipungkiri. Tuhan telah menciptakan manusia mempunyai perasaan cinta kepada lawan jenisnya
Muhammad al-Bahi (t.t: 8) mengemukakan bahwa cinta birahi merupakan faktor yang terpenting unntuk mendorong seseorang berhubungan kepada lawan jenisnya. Adapun cara penyaluran nafsu birahi yang paling baik ditempuh oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai martabat tinggi ialah melalui perkawinan. Ini berarti bahwa untuk mengolah dan memakmurkan bumi ini memerlukan adanya manusia yang banyak dan bersinambung generasi sampai akhir zaman. Dengan demikian, pengembangan keturunan manusia sangat diperlukan adanya. Disinilah pentingnya pernikahan, karena “adanya manusia tergantung adanya pernikahan”.
Pernikahan menurut Ali Ahmad al-Jurjani (1961: 5) mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Tujuan Pernikahan
Pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan pernikahan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari pernikahan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan dari penikahan juga terdapat dalam al-Qur’an, Adapun tujuan dari pernikahan itu sendiri sudah jelas termaktub dalam surah ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum : 21)
Pernikahan menurut M. Quraish Shihab (2002: 35) melahirkan ketenangan batin. Setiap jenis kelamin pria atau wanita, jantan atau betina dilengkapi Allah dengan alat kelamin, yang tidak berfungsi berfungsi secara sempurna jika ia berdiri sendiri. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Allah telah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing ingin mempertahankan eksistensi jenisnya. Dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri seksual. Karena itu, setiap jenis tersebut merasa perlu menemukan lawan jenisnya, dan ini, dari hari kehari memuncak dan mendesak pemenuhannya. Dia akan merasa gelisah, pikirannya akan kacau, dan jiwanya akan terus bergejolak jika penggabungan dan kebersamaan dengan pasangan itu tidak terpenuhi. Karena itu Allah mensyariatkan bagi manusia perkawinan, agar kekacauan pikiran dan gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing meperoleh ketenangan.
Ayat diatas menurut Moustafa al Qazwini, (2003: 168) mengungkapkan tiga prinsip keberhasilan dalam pernikahan. Pertama, pernikahan itu harus memberikan emosi dan perlindungan sosial (hidup tentram) dimana suami dan istri menemukan keseimbangan dalam keuangan, spritual, emosional, dan keamanan sosial. Prinsip kedua dari keberhasilan pernikahan adalah cinta diantara pasangan suami istri. Pernikahan yang tidak berdasarkan cinta, mudah gagal setiap saat. Dan prinsip ketiga ialah kasih sayang diantara suami istri yang mengarah kepada saling pengertian, saling menghargai, menghormati, dan perhatian.
Tujuan awal dilaksanakannya nikah menurut Yusuf al-Qaradhawi (2002: 402) adalah agar suami istri bisa hidup bersama, malam dan siang hari, musim panas maupun musim dingin. Namun, banyak ditemukan pasangan suami istri yang sering berpisah karena suami berpergian untuk tujuan bisnis atau karena tugas-tugas lain yang tidak dapat ditinggalkan (dengan meninggalkan istrinya sampai beberapa hari, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan). Meskipun sudah tidak lagi memenuhi tujuan inti pernikahan, bukan berarti menjadikan nikah mereka batal. Oleh karena itu, ada sebuah mazhab yang mensyaratkan agar suami tidak meninggalkan istri lebih dari empat bulan dan ada sebagian lagi yang berpendapat selama tidak melampaui enam bulan secara bertuurt-turut kecuali darurat atau dengan izin istri.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah menghendaki pria dan wanita bersatu dalam perkawinan supaya dari persatuan mereka terciptalah generasi manusia baru yang meneruskan eksistensi manusia di bumi.
Hingga kini telah terbukti, bahwa pernikahan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Nah, yang harus diperhatikan adalah kualitas pernikahan dan hubungan pasangan suami istri, serta kehidupan sosial mereka setelah perkawinan.
Islam sangat menitik beratkan pentingnya pembentukan unit kecil ini. Husain ‘Ali Turkamani (1988: 40) menegaskan bahwa kesejahteraan keluarga menjamin kesejahteraan masyarakat. Inikah sebabnya, Islam berulang kali menganjurkan pembentukan keluarga dan melestarikan kehidupan bersama yang bahagia oleh pasangan suami istri bersama anak-anak mereka. Pasangan suami istri ini, setelah perkawinan, meletakan fondasi bagi sebuah bangunan baru, sebuah lembaga yang lebih unggul ketimbang lembaga-lembaga dan bangunan-bangunan lain. Masyarakat yang suci itulah tempat mendidik secara benar anak-anak masa kini yang kelak akan menjadi orang-orang besar  dimasa depan. Yang pasti, semakin sehat sistem ini, yang dipengaruhi oleh budaya orang tua dan sebagian oleh masyarakat, maka semakin tinggi kualitas pertumbuhan anak-anak.
Pernikahan menurut Erwin Yudi Prahara (2009: 313) akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Melihat tujuan dari suatu pernikahan, maka di Indonesia juga membentuk suatu undang-undang pernikahan yang bertujuan untuk menciptakan suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, sehingga tercipta pula lingkungan masyarakat yang tidak semena-mena dan menyalahgunakan status pasangan dari suami isteri.
Menurut undang-undang pernikahan (Libertus Jehani, 2008: 1) No. 1 tahun 1974 (UUP) pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan, bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan dan persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama. Maka dengan sendirinya pernikahan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum agama adalah tidak sah. Karena pernikahan merupakan perbuatan / peristiwa hukum yang secara otomatis melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum.

Hukum Pernikahan
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, (Muhammad Sholikhin, 2010: 180) menemukan bahwa menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi.
A.  Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيهِمۡ خَيۡرٗاۖ وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣٣
Artinya:Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (QS.An-Nur : 33)
B.   Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
C.   Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

D.  Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.

Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
E.   Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.

Pernikahan Dini
Pernikahan dini merupakan sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Jadi sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).
Fenomena yang terjadi saat sekarang banyak muda mudi yang melakukan pernikahan dibawah umur 18 tahun dengan alasan hamil duluan. Anak SMP, SMA, bahkan anak-anak SD pun sudah ada yang menikah. Sudah pantaskah mereka melakukan pernikahan dengan usia yang begitu muda. Walaupun begitu, dalam konteks beberapa budaya, pernikahan dini bukanlah sebuah masalah, karena pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar dikemudian hari karena pernikahan dini tersebut.

Pernikahan Dini Menurut Islam
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.
Menurut Imam Muhammad Syirazi dan Asadullah Dastani Benisi (2004: 47) budaya pernikahan dini dibenarkan oleh ilmuan dan agama. Ini adalah norma di antara kaum Muslim sejak awal Islam, sebelum serbuan budaya, ekonomi, serta militer Barat dan Timur atas tanah-tanah kaum Muslim. Jika pernikahan dini ini tidak diperhatikan, maka akan terjadi kerusakan moral, bentuknya yang terkecil adalah masturbasi, atau munculnya berbagai penyakit, sebagaimana yang telah diperhatikan oleh kalangan medis.
Adalah budaya kaum muslim untuk menikahkan gadis antara 10 hingga sekitar 15 tahun, dan perjaka antara awal baligh hinga usia 18 tahun. Pernikahan dini merupakan kebutuhan vital bagi mereka, apalagi dengan kemudahan  yang ada padanya. Tidak diperlukan studi yang rumit ataupun peralatan militer untuk mewujudkannya. Pernikahan layaknya kebutuhan makan, minum, dan sandang bagi mereka. Pria tertentu akan memerlukan wanita tertentu pula, dan sebaliknya; tidak ada yang dapat menghalangi mereka urntuk bersatu sebagai pasangan yang sah.
Mayoritas kaum muda aktif secara seksual sejak usia sepuluh tahun bagi wanita, dan sejak baligh bagi laki-laki, dengan segala konsekuensi berbahaya seperti aborsi, melimpahnya anak-anak haram di jalan-jalan dan perkampungan miskin; munculnya berbagai macam penyakit, aksi perzinahan, perselingkuhan, dan bunuh diri; juga timbulnya homoseksualitas, perdagangan anak, dan lain-lain.
Islam adalah agama yang sesuai dengan tabiat manusia, sehingga jelas bahwa kesucian dan kebersihan seksual meniscayakan kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam dalam hal penting dalam kehidupan ini.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (2008: 315) para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai. Juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi (t.t: 210) pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”. Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.

Pernikahan Usia Dini Menurut Undang-Undang
Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan berdasarka Undang-Undang Peradilan Anak.
“Jika seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman”
Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas, pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur adalah yang berusia belum 16 tahun.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Dampak Pernikahan Dini
Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada dampak fisik dan dampak psikologis, diantaranya adalah :
1.   Dampak Fisik :
a.   Ekonomi Rumah Tangga
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

b.   Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.
Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
c.    Resiko Kematian Ibu Melahirkan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian.

2.   Dampak Psikologis
a.    Neoritis deperesi
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
"Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
b.   Konflik yang berujung perceraian
Menurut E.B. Subakti (2008: 315) pernikahan usia muda mengandung resiko besar karena secara mental mereka belum siap untuk memikul tanggung jawab yang besar sebagai sebuah keluarga. Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau menikah dalam usia muda, memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 - 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh di bilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 - 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya.
Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah.

Simpulan
Pernikahan merupakan suatu perjanjian suci yang diikrarkan oleh suatu pasangan untuk  membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita.
Hukum dari pernikahan itu ada sunnah (mandub), ada yang wajib atau terkadang ada juga yang mubah. Bahkan dalam kondisi tertentu ada yang makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya.
Pernikahan dini merupakan sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas yang sudah akil baligh. sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).
Islam tidak melarang sesorang yang akan melangsungkan pernikahan dengan syarat sudah baligh dan sudah mampu dalam memberika nafkah baik itu nafkah jasmani maupun rohani. Melihat dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.




DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad al-jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu, Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961

Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1988

E.B. Subakti, Sudah Siapkah Menikah, Jakarta: IKAPI, 2008

Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Nadi Offset, 2009

Gerungan, Psychologi Social, Jakarta:PT. Erasco, 1978

Husain “Ali Turkamani, Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988

Imam Muhammad Syirazi dan Asadullah Dastani Benisi, Dengan Siapa Kita Menikah?; Panduan Islami dalam Memilih Jodoh & Membangun Keluarga Sakinah, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004

Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Beirut : Darul Kutub Ilmiah,t.t

Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya, Jakarta:Forum Sahabat, 2008

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, Jakarta : Hill.Co., 1984

M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah dengan Menikah, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Moustafa al Qazwini, Panggilan Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003

Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir, Jakarta: Dar al-Qoumiyah, t.t

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera: 2008

Muhammad Nabil Khazim, Buku Pintar Nikah; Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Solo: Samudera, 2007

Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2010

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1986

Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1972


Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2002

0 comments: