Masalah
bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap
kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka
mengikuti perintah dan larangan pimpinan.
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla
berbai’at kepada Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka
maupun tidak. Juga berbai’at untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal
dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah perjalanan hidupNabi umat ini.
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, bai’at untuk senantiasa
mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari
umat.Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh yang
dapat membentengi.
A. Pengertian Bai’at
Bai’at secara bahasa Etimologi
adalah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan
taat.Bai’at juga mempunyai Arti yaitu setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri"
seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai
arti : "shafaquu 'alaihi"
(membuat perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'atahu" berasal dari kata "al-baiy'u" dan "al-baiy'ah"
demikian pula kata "al-tabaaya'u".
Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'ala tubaa
yi'uunii 'ala al-islami'"Maukah kalian membaiatku di atas Islam.Hadits
di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing
dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan
ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah
berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.
Bai'at Secara Istilah Terminologi adalah Berjanji atau taat Seakan-akan
orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk
menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin,
tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan
perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.
Membai’at seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia
meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan
penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa
dan secara ketetapan syari'at. Dan bai’at itu secara syar’I maupun kebiasan
tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukmin dan khalifah kaum muslim. Karena
orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada bai’at masyarakat kepada
kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa bai’at itu terjadi untuk kepala
negara.Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada
musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi. Sedang bai’at
selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti bai’at mereka.
Banyak sekali hadits-hadits
yang menerangkan atau membicarakan tentang bai’at, baik yang berisi aturan
untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.
Karena
keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan
berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena
dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa
sebelumnya, ataupun karena kudeta. Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa,
kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan
membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya.
Permasalahan
ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas dari hawa nafsu.
Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu sebagian kelompok kaum
muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan berusaha menerapkan syari’at
Allah di negeri kaum muslimin (menurut persepsi mereka). Akibatnya, mereka
keliru dan terjerembab berkaitan dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan
nash-nash supaya sesuai dengan kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui
dua jalan, yaitu kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada
diri seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.
Pemahaman
tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok orang tersebut,
yaitu bai’at yang (seharusnya, penting.) diberikan kepada penguasa yang berhak
untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak memerintahkan kepada perbuatan
maksiat, meskipun penguasa zhalim. Itulah bai’at yang merupakan kewajiban
agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.
Jadi
orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan dalam
memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau kesepakatan kerja, atau
-dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa, red.)- bai’at yang terjadi di
kalangan beberapa individu manusia, kelompok, atau lembaga untuk kepentingan
mengatur kegiatan dakwah, seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf
nahi munkar, membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Maka ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada
hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada keharusan
taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar kegiatan yang telah
disepakati.
Bai’at
(secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan mendengar secara
mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada penguasa kaum muslimin.
Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin itu berbuat fasiq atau zhalim.
ا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ
Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para
pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati uli
al-amr, yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat (al-hâkim),
karena pengertian uli al-amr dalam bahasa Arab tidak ada lain, kecuali al-hâkim.
Namun, ayat ini tidak berlaku untuk semua uli al-amr, melainkan uli
al-amr minkum, yaitu uli al-amr dari kalangan umat Islam. Tidak juga
untuk uli al-amr yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita
dilarang untuk menaati orang yang bermaksiat kepada Allah
B. Syarat Sah
Bai’at
Menaati kepala negara atau kepala daerah Muslim yang
menjalankan hukum-hukum Allah adalah wajib; mengangkat mereka pun hukumnya
wajib. Sebab, jika mereka tidak ada, kewajiban untuk menaati mereka pun tidak
bisa dijalankan. Dengan begitu, hukum memilih atau mengangkat mereka pun
menjadi wajib. Ini merupakan bagian dari dalâlah iltizâm ayat di atas. Namun,
para ulama sepakat, bahwa kewajiban dalam konteks ini bukanlah kewajiban
orang-perorang (fardhu ‘ain), melainkan kewajiban orang secara kolektif
(fardhu kifâyah). Inilah yang dijelaskan dalam hadis baiat.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas,
ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi
pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi beberapa
persyaratan:
1.
Mempunyai
sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
2.
Berilmu,
yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
3.
Memiliki
pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.(lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
Al-Mawardi, hal. 6)
Mereka
yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
1. Orang yang dibai’at harus memenuhi
persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak
menjadi imam adalah:Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik
dan bukan pula kafir.
2. Berilmu yang dengannya ia mampu
berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
3. Sehat pancaindera, penglihatan,
pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
4. Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu
yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala
negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah)
antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan
hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya
metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’,
baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab,
baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat
ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban
ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus
dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk
menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.
Dengan demikian, hukum baiat in’iqâd dalam rangka
mengangkat kepala negara adalah fardhu kifâyah.[1]
Karena itu, istilah baiat ini hanya bisa digunakan untuk memilih dan
mengangkat kepala negara. Adapun untuk kepala daerah, pemilihan dan
pengangkatannya oleh Islam diserahkan kepada kepala negara. Semuanya terkait
dengan mengangkat pemimpin untuk memimpin orang dalam melakukan ketaatan.
Adapun mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat hukumnya jelas berbeda.
Melakukan maksiat hukumnya haram. Karena itu, mengangkat pemimpin dalam
konteks maksiat pun sama-sama diharamkan.
Pertama, baik-buruk dalam konteks kepemimpinan
ini bisa dilihat dari dua aspek: person/orang dan sistem. Boleh jadi secara
personal pemimpin yang terpilih tersebut memang memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh syariah, yang berarti, pemimpin tersebut baik. Sebut saja,
seluruh syarat yang ditetapkan (syurûth in’iqâd)[2]
seperti laki-laki, Muslim, berakal, balig, adil (tidak fasik), merdeka dan
mamputelah terpenuhi. Namun, dia tidak memerintah dengan menggunakan sistem
yang baik, yaitu syariah Islam. Dalam konteks ini, pemimpin yang secara
personal baik, namun memerintah tidak dengan menggunakan syariah, maka
statusnya adalah salah satu di antara tiga: kafir, fasik dan zalim, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Allah dalam surah al-Maidah: 44, 45 dan 47. Dengan
demikian bisa disimpulkan, mengangkat pemimpin yang tidak memenuhi kriteria
jelas tidak sah, sekaligus melanggar ketentuan syariah, dan karenanya tidak
baik. Namun, mengangkat pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i pun, jika
dia diangkat untuk menjalankan sistem sekular juga haram. Karena itu, kedua
pilihan tersebut sama-sama tidak boleh, karena sama-sama melanggar hukum
syariah.
Kedua, memang ada kaidah syariah:
«إذَا تَعَارَضَ
مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكاَبِ أَخَفِّهِمَا»
Jika ada dua
keburukan, yang harus diperhatikan adalah mana di antara keduanya yang paling
besar bahayanya, dengan mengerjakan yang paling ringan di antara keduanya
Ada juga kaidah sejenis yang lainnya. Dalam
praktiknya, kaidah ini sering digunakan secara serampangan. Bahkan banyak yang
menjadikan fakta (realitas) sebagai penentu yang menentukan pilihan mana yang
harus dipilih. Sebagai contoh, ketika kita disuruh memilih, mana yang harus
kita pilih: memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular atau tidak
memilih? Jika kita memilih untuk tidak memilih maka bisa jadi yang akan
terpilih adalah pemimpin yang tidak baik, sistemnya pun tidak berubah, alias
tetap sekular. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular tetap
lebih baik ketimbang tidak memilih. Inilah logika akhaffu ad-dhararayn, yang
sering mereka gunakan.
Padahal memilih pemimpin untuk menjalankan sistem sekular
itu berarti mempertahankan keburukan dan hukumnya jelas haram. Ini bukanlah
pilihan satu-satunya yang harus dipilih. Sebab, ada pilihan lain, yaitu
berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik, yang
menerapkan sistem yang baik, yaitu syariah. Ini hukumnya wajib. Jadi, memilih
pemimpin yang “baik” untuk menjalankan sistem sekular tetap tidak wajib, justru
haram. Sebaliknya, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin
yang baik dengan menjalankan sistem yang baik, yaitu syariah, hukumnya wajib. Wallâhu
a’lam.
C. Bai’at
Metode Pengangkatan Kepala Negara
Salah
satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata
cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem
Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang
mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang
diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara
Khilafah) Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam
untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang
harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan
al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka
pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk
(memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum
muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika
Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu
diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode
pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah
saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat
kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian,
melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan
bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam
kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab
pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka
baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai
kepala negara. Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits.
Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ
بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Artinya:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka
tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
D. Bai’at
dan system putra mahkota
Prosedur praktis untuk mencalonkan
Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu
sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya
Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali
–radhiyaLlâh ‘anhum Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal
tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan
dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang
menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan
yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi
dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum
muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah
Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu
Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar.
Maka seakan-akan perkaranya berada
hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi
itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang
ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah
adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum
muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa
sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang
berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu
Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan
menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung
selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim
itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar
mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar
menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad
pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya
Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku
jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim,
bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat
Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah
kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi
nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas
bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim
memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus
mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang
kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan
untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah
dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan
bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan
rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang
menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh
ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah
wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’,
oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu
Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau
menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan
setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara
kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk
dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman
bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta
pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu
diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak.
Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu,
Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka
siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia
menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat
masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari
mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “..
Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku
terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau
habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika
orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada
Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan
dengan penetapan Umar kepada enam orang. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu
mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka
dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan
mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu
diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi
dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl
al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan
umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin,
karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah.
Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka
orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan
kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum
membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi
wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa
yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana
juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada
enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya
amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang
baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.
[1] Dalam konteks kifayah ini,
ulama’ ushul, seperti as-Syathibi memilah pelaku hukum menjadi dua: al-qadir
(yang mempunyai kemampuan melaksanakan secara langsung) dan ghair
al-qadir (yang tidak mempunyai kemampuan). Al-Farra’ dan Imam an-Nawawi
menyebut kelompok al-qadir dalam konteks bai’at in’iqad ini
dengan Ahl al-halli wa al-‘aqd, karena memang merekalah yang pemegang
simpul-simpul umat. Al-Mawardi menyebut dengan istilah Ahl al-ikhtiyar,
yaitu orang-orang yang bisa menentukan pilihan. Lihat,
as-Syathibi, al-Muqafaqat, juz , hal. . al-Farra’, al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, hal. 24. An-Nawawi, Nihayat al-Muhtaj il Syarh
al-Minhaj, juz VII, hal. 390. Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal.
15
[2] Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam
Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, Beirut, cet. I, 1426-1996, hal.
95. Dr. Mahmud al-Khalidi, al-Bai’ah fi al-Fikr as-Siyasi al-Islami, Maktabah
ar-Risalah al-Islamiyyah, Yordania, cet. I, 1985, hal. 32.