Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

BERDIRI DI UJUNG NEGERI

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU GARUDA PERBATASAN

TEMAJUK, SAMBAS.

TANJUNG DATOE INDONESIA

INDAHNYA INDONESIA KU, TEMAJUK, SAMBAS.

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

BERDIRI DI BATAS NEGERI, TEMAJUK, SAMBAS.

TUGU KETUPAT BERDARAH

SAKSI BISU PERTUMPAHAN DARAH 1999, JAWAI, SAMBAS

Thursday, 17 November 2016

WUDHU DENGAN MENGGUNAKAN AIR LAUT


       A.     Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum.[1]
Adapun thaharah menurut istilah syara’ adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi sahnya shalat, baik dari hadats atau najis dengan menggunakan air atau yang lainnya, atau dengan menggunakan debu.[2]
Hukum sifat ini adalah mencegah seseorang untuk melaksanakan shalat dan sebagainya. Ungkapan yang digunakan dalam hadas adalah irtifa’ (terangkat) karena ia bersifat maknawi sedangkan untuk najis digunakan kata izalah (menghilangkan) karena ia bersifat inderawi. Sementara istilah izalah tidak digunakan kecuali pada sesuatu yang bersifat inderawi.

B.     Kesucian Air Laut
Bersuci Pada dasarnya harus dengan air, karena air adalah cairan yang paling baik, sebab materi apapun akan larut di dalamnya. Kekuatan pensucian air kembali pada bentuk aslinya, karena apabila air tersebut telah bercampur dengan sesuatu yang dapat merubah bentuk aslinya, maka kekuatan menghilangkan dan membersihkan najis menjadi lemah, karena ia telah kehilangan kelembutan, dan pengaruhnya. Air suci adalah air yang suci pada zatnya dan dapat menyucikan yang lain (suci dan mensucikan) serta tidak berubah, baik baik yang diturunkan dari langit (seperti: air hujan, salju, dan embun) maupun air yang mengalir dibumi (seperti: air sungai, air dari mata air, air sumur, air laut, dan air yang disuling).[3]
Air laut mengandung banyak materi zat garam. Potensi zat garam di sini menjadi penghantar listrik yang lebih besar, yang terdapat dalam kandungan air laut. Dengan demikian ia lebih mampu dari air lainnya dalam menghilangkan najis dan menghilangkan hadats. Itu juga berarti air laut itu suci.[4] Di dalam penciptaannya Allah SWT memiliki banyak rahasia yang masih belum terungkap oleh umat manusia.

C.    Hadits Tentang Wudhu dengan Menggunakan Air Laut
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مَالِكٍ قِرَاءَةً عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ مِنْ آلِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mubarak dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa'id bin Salamah -dari keluarga Al `Azraq-, Al Mughirah bin Burdah (dia adalah seorang dari Bani Abdud Daar) mengabarkan kepadanya, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu ia berkata: "Seseorang pernah bertanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ' Kami naik (perahu) di laut, dan bersama kami hanya ada sedikit air, jika kami pergunakan untuk berwudhu tentu kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? ', Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: ' (laut) itu suci airnya dan halal bangkainya' ". (H.R Ad-Darimi: 723)[5]
Hadits yang senada selain diriwayatkan oleh Sunan Ad-Darimi juga diriwayatkan oleh beberapa kolektor hadits diantaranya oleh Ibnu Majah pada hadits no 380, Ahmad pada hadits no 8380 dan Malik pada hadits no 37.[6]

D.    Sanad Hadits
Berdasarkan hadits sunan Ad-Darimi no 723, diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Muhammad bin Al Mubarak bin Ya’laa, (2)  Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir, (3) Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al Mughirah bin Burdah, (6) Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits sunan Ibnu Majah no 380, diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Hisyam bin Ammar, (2)  Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir, (3) Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al Mughirah bin Burdah, (6) Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits Musnad Ahmad no 8380, diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Manshur bin Salamah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih, (2)  Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir, (3) Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al Mughirah bin Burdah, (6) Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits Muatha’ Malik no 37, diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Shafwan bin Sulaim, (2) Sa'id bin Salamah, (3) Al Mughirah bin Burdah, (4) Abdur Rahman bin Shakhr.
1.      Abdur Rahman bin Shakhr
Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman bin Shakhr, merupakan salah seorang dari kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW yang bertemu langsung dengan Nabi, lahir di Daws, yaman, pada tahun 19 SH dan wafat pada tahun 57 H
2.      Al Mughirah bin Abi Bardah
Nama lengkapnya adalah Al Mughirah bin Abi Bardah, ia merupakan dari kalangan Tabi’in pertengahan dan wafat pada tahun 73 H.[7]
3.      Sa'id bin Salamah
Nama lengkapnya adalah Sa'id bin Salamah dari kalangan Tabi'in (tidak jumpa Shahabat). Wafat pada tahun 124 H.[8]
4.      Shafwan bin Sulaim
Nama lengkapnya adalah Shafwan bin Sulaim dari kalangan Tabi'in kalangan biasa dengan kuniyah Abu 'Abdullah. Negeri semasa hidupnya di Madinah. Wafatnya pada tahun 132 H
5.      Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir dari kalangan Tabi'ut Tabi'in kalangan tua dengan kuniyah Abu 'Abdullah. Negeri semasa hidupnya di Madinah dan wafat pada tahun 179 H
6.      Manshur bin Salamah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih
Nama lengkapnya adalah Manshur bin Salamah bin 'Abdul 'Aziz bin Shalih dari kalangan Tabi'in kalangan pertengahan dengan kuniyah Abu Salamah. Negeri semasa hidupnya di Baghdad dan wafatnya pada 210 H
7.      Hisyam bin Ammar
Nama lengkapnya adalah Hisyam bin 'Ammar bin Nushair bin Maisarah bin Aban dari kalangan Tabi'in kalangan biasa. Kuniyahnya adalah Abu Al Walid dari negeri Syam dan wafat pada 245 H
8.      Muhammad bin Al Mubarak bin Ya’laa
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Al Mubarak bin Ya'laa dari kalangan Tabi'ul Atba' kalangan tua dengan kuniyah Abu 'Abdullah, berasal dari negeri Syam dan wafat pada tahun 215 H

E.     Matan Hadits
Sunan Ad-Darimi  hadits nomor 723,
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Muatha’ Malik hadits nomor 37,
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Musnad Ahmad hadits nomor 8380,
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Sunan Ibnu Majah hadits nomor 380,
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Berdasarkan keempat hadits diatas untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudu‘ para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis maudu‘ sebagai tolak ukurnya. Dalam hadis palsu, mreka menetapkan tanda-tanda  matan hadis  yang palsu, yaitu :  (1) susunan bahasanya rancu, (2) isinya bertentangan dengan  akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, (3) isinya bertentangan dengan  tujuan pokok ajaran Islam, (4) isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah), (5) isinya bertentangan dengan sejarah, (6) isinya bertentangan  dengan petunjuk al-Qur’an atau hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti, dan (7) isinya berada di luar kewajaran bila diukur dari petunjuk  ajaran Islam.[9]
Adapun persyaratan hadis sahih yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah   (adil dan dhabit ) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).[10] 
Berdasarkan kriteria diatas dapat disimpulkan bahwa hadits wudhu dengan menggunakan air laut susunan bahasanya tidak rancu, isinya tidak bertentangan dengan akal sehat, dan isinya tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hadits diatas juga tidak memilliki kejanggalan dan tidak cacat maka dapat disimpulkan hadits diatas dinilai shahih.




F.     Kosakata Hadits
Al Bahr (laut)[11] adalah lawan kata dari Al Barr (daratan) yaitu daratan yang luas yang terdiri dari air asin. Al Bahr jamaknya abhur, bihar dan buhur. Dinamakan Bahr, karena dalam dan luasnya.
Ath-Thuhuur adalah nama untuk air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Al dalam lafazh Atthuhur tidak menunjukkan makna qashr (keterbatasan). Oleh sebab itu ia tidak menafikan kesucian yang lain, karena keberadaannya sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan. Maka Al tersebut berfungsi menjelaskan makna yang sebenarnya.
Kata miyaah (air) adalah bentuk jama’ dari kata maa’. Yaitu cairan yang sudah populer yang secara kimiawi tersusun dari gas hydrogen serta oksigen. Sumber-sumbernya terdiri dari air hujan, sumber air, mata air, laut dan sungai.
Al Hillu adalah lawan dari kata haram. Maksudnya, adalah halal sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Daruquthni.
Maitatuhu disyariatkan yaitu hewan yang tidak tersentuh oleh sembelihan yang disyariatkan. Kalimat maitatuhu adalah Fa’il dari mashdar al hillu, yang dimaksud adalah bangkai semua hewan yang mati, yang tidak bisa hidup kecuali di laut, dan bukan semua yang mati di laut. [12]     

G.    Asbabul Wurud Hadits
Hadits di atas menceritakan tentang seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah untuk bertanya tentang berwudhu dengan air laut. Lelaki tersebut merupakan seorang pelaut yang pergi mencari ikan dalam jangka waktu yang lama. Mereka merasa kebingungan ketika hendak berwudhu. Jika mereka berwudhu menggunakan bekal air tawar yang mereka miliki otomatis mereka akan kehabisan air tawar yang mereka gunakan untuk minum. Jadi mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah, sesuai yang telah disebutkan dalam hadit di atas. “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mubarak dari Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa'id bin Salamah -dari keluarga Al `Azraq-, Al Mughirah bin Burdah (dia adalah seorang dari Bani Abdud Daar) mengabarkan kepadanya, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu ia berkata: "Seseorang pernah bertanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ' Kami naik (perahu) di laut, dan bersama kami hanya ada sedikit air, jika kami pergunakan untuk berwudhu tentu kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? “.

 H.       Komentar Ulama Terhadap Perawi Hadits
NO
PERAWI
ULAMA
KOMENTAR
1
Abdur Rahman bin Shakhr
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Shahabat
2
Al Mughirah bin Abi Bardah
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Majhul
3
Sa'id bin Salamah
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'ats Tsiqaat
An Nasa'i
Tsiqah
4
Shafwan bin Sulaim
Ibnu Sa'd
Ibnu Uyainah
Ahmad bin Hambal
Al 'Ajli
An Nasa'i
Abu Hatim
Ya'kub bin Syaibah
Al 'Ajli
Ibnu Hibban
Ibnu Hajar Al Atsqalani
Adz Dzahabi
Tsiqah ahli ibadah
Tsiqah
Tsiqah
Tsiqah
Tsiqah
Tsiqah
Tsiqah Tsabat
Shalih
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
"Tsiqah ahli ibadah, tertuduh beraliran qadariyah"
Tsiqah hujjah
5
Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
Yahya bin Ma'in
Muhammad bin Sa'd
Tsiqah
Tsiqah ma`mun
6
Manshur bin Salamah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih
Yahya bin Ma'in
Ibnu Hibban
Ibnu 'Adi
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Adz Dzahabi
Tsiqah
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
La ba`sa bih
Tsiqah tsabat
Hafizh
7
Hisyam bin Ammar
Yahya bin Ma'in
Al 'Ajli
Abu Hatim
An Nasa'i
Ad Daruquthni
Ibnu Hibban
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Adz Dzahabi
Tsiqah
Tsiqah
kaisun
La ba`sa bih
Shaduuq
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Shaduuq
Hafizh
8
Muhammad bin Al Mubarak bin Ya’laa
Al 'Ajli
Abu Hatim
Ibnu Syahin
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Adz Dzahabi
Tsiqah
Tsiqah
Disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Tsiqah
Ahadul aimmah

I.      Pendapat Para Ulama
1.      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.
2.      Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa.
3.      Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali. [13] Hal ini dipertegas dengan firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 96:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ ̍óst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur ( tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ ÎhŽy9ø9$# $tB óOçFøBߊ $YBããm 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# ÏmøŠs9Î) šcrçŽ|³øtéB ÇÒÏÈ  
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[14] dan makanan (yang berasal) dari laut[15] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS Al Maidah : 96).

J.    Peringkat Hadits
Hadits ini shahih. At-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan shahih yang aku tanyakan kepada Imam Bukhari, Imam Bukhari berkata: “Hadits ini shahih.” Az-Zarqani di dalam syarah Al Muwaththa’ berkata: “Hadits ini merupakan salah satu prinsip dasar agama Islam yang diterima oleh umat Islam.” Sekelompok ulama telah menshahihkan hadits ini, di antara mereka: Al Bukhari, Hakim, Ibnu Hiban, Al Khaththabi, Ibnu Huzaimah, Ad-Daruqutni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu daqiq Al’Id, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta ulama lainnya yang lebih dari 36 ulama.[16]

K.     Hal-hal Penting dari Hadits
1.      Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Ia suci secara substansi dan dapat mensucikan. Seluruh ulama menyatakan seperti ini, hanya saja ada sedikit ulama yang tidak sependapat, tetapi pendapat tersebut tidak kuat.
2.      Air laut itu dapat mengangkat hadas kecil dan besar serta menghilangkan najis yang muncul pada tempat yang suci, baik pada badan, pakaian, suatu tempat atau yang lainnya.
3.      Air apabila rasa, warna dan bau air berubah karena sesuatu yang suci, maka air tetap berada dalam kesuciannya, selagi air masih tetap pada posisi aslinya sekalipun sangat asin, panas dan sangat dingin.
4.      Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan bangkai adalah hewan yang mati yang tidak hidup kecuali di laut.
5.      Hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib membawa air yang cukup untuk bersuci, walaupun ia mampu membawanya, karena para sahabat memberitahu bahwa mereka membawa sedikit air saja.
6.      Ungkapan Ath-thahuru ma’uhu dengan alif lam (ma’rifat) tidak menafikan kesucian jenis air lainnya, karena keberadaannya hanya sebagai jawaban sebuah pertanyaan tentang air laut. Ia telah dithashish oleh manthuq yang benar.
7.      Keutamaan menambahkan fatwa dari suatu pertanyaan. Hal tersebut apabila seorang mufti berasumsi bahwa si penanya barangkali tidak mengetahui hukum masalah ini atau sekedar mencoba, sebagaimana pada bangkai hewan laut bagi para pelaut.
Ibnu Arabi berkata: Hal tersebut fatwa yang baik yang didatangkan untuk menjawab lebih dari pertanyaan yang diminta, sebagai sebuah kesempurnaan dan pemberitahuan apa yang tidak ditanyakan. Hal ini menjadi lebih kuat ketika adanya kebutuhan terhadap hukum sebagaimana di sini dan hal ini tidak dianggap sebagai pemaksaan sesuatu yang tidak penting.
8.      Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah separuh dari pengetahuan bersuci.” Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan merupakan dasar bersuci yang mencakup banyak hukum dan kaidah-kaidah yang penting.”
9.      Perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut hukumnya tidak halal kecuali ikan dan seluruh jenisnya. Adapun selain ikan yang menyerupai hewan daratan seperti, ular, anjing, babi dan sebagainya, maka menurut Imam Abu Hanifah tidak halal. Imam Ahmad, menurut yang mansyur dari mazhabnya berpendapat diperbolehkannya seluruh jenis hewan laut kecuali katak, ular dan buaya. Katak dan ular merupakan jenis hewan yang kotor. Sementara buaya adalah binatang bertaring yang dapat digunakan memangsa.[17]


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Buluhghul Maram,V.1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah, Bangun Sarwo Aji Wibowo dan Masrur huda, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Ahmad Sunart, Kamus Alfikr, Rembang: Halim Jaya, 2009

Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi; Penerjemah, Abdul Syakur Abdul Razaq,dan Ahmad Riva’I Utsman, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007

Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik; Penerjemah, Nur Alim, Asep Saefullah, Rahnat Hidayatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006 , jilid. 1

Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali; Penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Jakarta: Lentera, 2011, cet. 28

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan An-Nasa’I, penerjemah, Ahmad Yuswaji, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, jilid. 1

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringakasan Fikih Syaikh Fauzan: Khusus Fikih Ibadah; Penerjemah, Kamaludin Sahar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Syaikh Albani, Tuntunan Fikih Islam; Penerjemah, Ahmad Rivai Usma, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004


http://id.wikipedia.org/matan/hadits/, diakses pada 22, Oktober 2014






[1] Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali; Penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2011), cet. 28, hal. 3.
[2] Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah, Bangun Sarwo Aji Wibowo dan Masrur huda, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet.1, hal. 102.
[3] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringakasan Fikih Syaikh Fauzan: Khusus Fikih Ibadah; Penerjemah, Kamaludin Sahar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 21
[4] Syaikh Albani, Tuntunan Fikih Islam; Penerjemah, Ahmad Rivai Usma, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h. 21
[5] Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi; Penerjemah, Abdul Syakur Abdul Razaq,dan Ahmad Riva’I Utsman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 436
[6] Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik; Penerjemah, Nur Alim, Asep Saefullah, Rahnat Hidayatullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), jilid. 1, hal. 27.
[8] Ibid.
[10] http://id.wikipedia.org/matan/hadits/, diakses pada 22, Oktober 2014
[11] Ahmad Sunart, Kamus Alfikr, (Rembang: Halim Jaya, 2009), h. 24
[12] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Buluhghul Maram,V.1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 128
[14] Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini Ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya.
[15] Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
[16] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan An-Nasa’I, penerjemah, Ahmad Yuswaji, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid. 1, hal. 148.
[17] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Buluhghul Maram,…, h. 127-129