A. Pengertian Thaharah
Thaharah menurut
bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti
membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah,
air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang
terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya
mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum.[1]
Adapun thaharah
menurut istilah syara’ adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi
sahnya shalat, baik dari hadats atau najis dengan menggunakan air atau yang
lainnya, atau dengan menggunakan debu.[2]
Hukum sifat
ini adalah mencegah seseorang untuk melaksanakan shalat dan sebagainya. Ungkapan
yang digunakan dalam hadas adalah irtifa’ (terangkat) karena ia bersifat
maknawi sedangkan untuk najis digunakan kata izalah (menghilangkan)
karena ia bersifat inderawi. Sementara istilah izalah tidak digunakan
kecuali pada sesuatu yang bersifat inderawi.
B.
Kesucian Air Laut
Bersuci Pada
dasarnya harus dengan air, karena air adalah cairan yang paling baik, sebab
materi apapun akan larut di dalamnya. Kekuatan pensucian air kembali pada
bentuk aslinya, karena apabila air tersebut telah bercampur dengan sesuatu yang
dapat merubah bentuk aslinya, maka kekuatan menghilangkan dan membersihkan
najis menjadi lemah, karena ia telah kehilangan kelembutan, dan pengaruhnya.
Air suci adalah air yang suci pada zatnya dan dapat menyucikan yang lain (suci
dan mensucikan) serta tidak berubah, baik baik yang diturunkan dari langit
(seperti: air hujan, salju, dan embun) maupun air yang mengalir dibumi
(seperti: air sungai, air dari mata air, air sumur, air laut, dan air yang
disuling).[3]
Air laut
mengandung banyak materi zat garam. Potensi zat garam di sini menjadi
penghantar listrik yang lebih besar, yang terdapat dalam kandungan air laut.
Dengan demikian ia lebih mampu dari air lainnya dalam menghilangkan najis dan
menghilangkan hadats. Itu juga berarti air laut itu suci.[4] Di
dalam penciptaannya Allah SWT memiliki banyak rahasia yang masih belum
terungkap oleh umat manusia.
C.
Hadits Tentang Wudhu dengan
Menggunakan Air Laut
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مَالِكٍ قِرَاءَةً عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ مِنْ آلِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي
بُرْدَةَ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ
أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ
فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ
الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mubarak dari Malik dari Shafwan
bin Sulaim dari Sa'id bin Salamah -dari keluarga Al `Azraq-, Al Mughirah bin
Burdah (dia adalah seorang dari Bani Abdud Daar) mengabarkan kepadanya, ia
mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu ia berkata: "Seseorang pernah
bertanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ' Kami naik
(perahu) di laut, dan bersama kami hanya ada sedikit air, jika kami pergunakan
untuk berwudhu tentu kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?
', Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: ' (laut) itu suci airnya
dan halal bangkainya' ". (H.R Ad-Darimi: 723)[5]
Hadits
yang senada selain diriwayatkan oleh Sunan Ad-Darimi juga diriwayatkan oleh
beberapa kolektor hadits diantaranya oleh Ibnu Majah pada hadits no 380, Ahmad pada
hadits no 8380 dan Malik pada hadits no 37.[6]
D.
Sanad Hadits
Berdasarkan hadits sunan Ad-Darimi no 723,
diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Muhammad bin Al Mubarak bin Ya’laa,
(2) Malik bin Anas bin Malik bin Abi
‘Amir, (3) Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al Mughirah bin
Burdah, (6) Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits sunan Ibnu Majah no 380,
diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Hisyam bin Ammar, (2) Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir, (3)
Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al Mughirah bin Burdah, (6)
Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits Musnad Ahmad no 8380,
diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Manshur bin Salamah bin ‘Abdul
‘Aziz bin Shalih, (2) Malik bin Anas bin
Malik bin Abi ‘Amir, (3) Shafwan bin Sulaim, (4) Sa'id bin Salamah, (5) Al
Mughirah bin Burdah, (6) Abdur Rahman bin Shakhr.
Berdasarkan hadits Muatha’ Malik no 37,
diketahui urutan sanadnya sebagai berikut: (1) Shafwan bin Sulaim, (2) Sa'id
bin Salamah, (3) Al Mughirah bin Burdah, (4) Abdur Rahman bin Shakhr.
1.
Abdur Rahman bin Shakhr
Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman bin
Shakhr, merupakan salah seorang dari kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW yang
bertemu langsung dengan Nabi, lahir di Daws, yaman, pada tahun 19 SH dan
wafat pada tahun 57 H
2.
Al Mughirah bin Abi Bardah
Nama lengkapnya adalah Al Mughirah bin Abi
Bardah, ia merupakan dari kalangan Tabi’in pertengahan dan wafat pada tahun 73 H.[7]
3.
Sa'id bin Salamah
Nama lengkapnya adalah Sa'id bin Salamah
dari kalangan Tabi'in (tidak jumpa Shahabat). Wafat pada tahun 124 H.[8]
4.
Shafwan bin Sulaim
Nama lengkapnya adalah Shafwan bin Sulaim
dari kalangan Tabi'in kalangan biasa dengan kuniyah Abu 'Abdullah. Negeri semasa
hidupnya di Madinah. Wafatnya pada tahun 132 H
5.
Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi 'Amir dari kalangan Tabi'ut Tabi'in kalangan tua dengan kuniyah
Abu 'Abdullah. Negeri semasa hidupnya di Madinah dan wafat pada tahun 179 H
6.
Manshur bin Salamah bin ‘Abdul ‘Aziz bin
Shalih
Nama lengkapnya adalah Manshur bin Salamah
bin 'Abdul 'Aziz bin Shalih dari kalangan Tabi'in kalangan pertengahan dengan
kuniyah Abu Salamah. Negeri semasa hidupnya di Baghdad dan wafatnya pada 210 H
7.
Hisyam bin Ammar
Nama lengkapnya adalah Hisyam bin 'Ammar
bin Nushair bin Maisarah bin Aban dari kalangan Tabi'in kalangan biasa.
Kuniyahnya adalah Abu Al Walid dari negeri Syam dan wafat pada 245 H
8.
Muhammad bin Al Mubarak bin Ya’laa
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Al
Mubarak bin Ya'laa dari kalangan Tabi'ul Atba' kalangan tua dengan kuniyah Abu
'Abdullah, berasal dari negeri Syam dan wafat pada tahun 215 H
E. Matan Hadits
Sunan Ad-Darimi hadits nomor 723,
رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ
مَيْتَتُهُ
Muatha’ Malik hadits nomor 37,
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Musnad Ahmad hadits nomor 8380,
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Sunan Ibnu Majah hadits nomor 380,
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Berdasarkan keempat hadits diatas untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih
dan yang maudu‘ para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis maudu‘ sebagai tolak ukurnya. Dalam hadis palsu, mreka
menetapkan tanda-tanda matan hadis yang palsu, yaitu : (1)
susunan bahasanya rancu, (2) isinya bertentangan dengan akal yang sehat
dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, (3) isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, (4) isinya bertentangan
dengan hukum alam (sunnatullah), (5) isinya bertentangan dengan sejarah,
(6) isinya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an atau hadits mutawatir yang
telah mengandung petunjuk secara pasti, dan (7) isinya berada di luar kewajaran bila diukur dari
petunjuk ajaran Islam.[9]
Adapun
persyaratan hadis sahih yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi),
diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan dhabit ) sampai akhir
sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz)
dan cacat (‘illat).[10]
Berdasarkan
kriteria diatas dapat disimpulkan bahwa hadits wudhu dengan menggunakan air
laut susunan bahasanya tidak rancu, isinya tidak bertentangan dengan akal
sehat, dan isinya tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hadits diatas juga tidak
memilliki kejanggalan dan tidak cacat maka dapat disimpulkan hadits diatas dinilai
shahih.
F. Kosakata Hadits
Al Bahr (laut)[11]
adalah lawan kata dari Al Barr (daratan)
yaitu daratan yang luas yang terdiri dari air asin. Al Bahr jamaknya abhur, bihar
dan buhur. Dinamakan Bahr, karena dalam dan luasnya.
Ath-Thuhuur adalah nama untuk air yang
suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Al dalam lafazh Atthuhur tidak
menunjukkan makna qashr (keterbatasan).
Oleh sebab itu ia tidak menafikan kesucian yang lain, karena keberadaannya
sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan. Maka Al tersebut berfungsi menjelaskan makna yang sebenarnya.
Kata miyaah (air) adalah bentuk jama’ dari
kata maa’. Yaitu cairan yang sudah
populer yang secara kimiawi tersusun dari gas hydrogen serta oksigen.
Sumber-sumbernya terdiri dari air hujan, sumber air, mata air, laut dan sungai.
Al Hillu adalah lawan dari kata haram.
Maksudnya, adalah halal sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat
Ad-Daruquthni.
Maitatuhu disyariatkan yaitu hewan yang
tidak tersentuh oleh sembelihan yang disyariatkan. Kalimat maitatuhu adalah Fa’il dari mashdar al hillu, yang dimaksud adalah
bangkai semua hewan yang mati, yang tidak bisa hidup kecuali di laut, dan bukan
semua yang mati di laut. [12]
G.
Asbabul Wurud Hadits
Hadits di atas menceritakan tentang seorang laki-laki
yang datang kepada
Rasulullah untuk bertanya tentang berwudhu dengan air laut. Lelaki tersebut
merupakan seorang pelaut yang pergi mencari ikan dalam jangka waktu yang lama.
Mereka merasa kebingungan ketika hendak berwudhu. Jika mereka berwudhu
menggunakan bekal air tawar yang mereka miliki otomatis mereka akan kehabisan
air tawar yang mereka gunakan untuk minum. Jadi mereka langsung menanyakannya
kepada Rasulullah, sesuai yang telah disebutkan dalam hadit di atas. “Telah
mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mubarak dari Malik dari Shafwan bin
Sulaim dari Sa'id bin Salamah -dari keluarga Al `Azraq-, Al Mughirah bin Burdah
(dia adalah seorang dari Bani Abdud Daar) mengabarkan kepadanya, ia mendengar
Abu Hurairah radliallahu 'anhu ia berkata: "Seseorang pernah
bertanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia
berkata: ' Kami naik (perahu) di laut, dan bersama kami hanya ada sedikit air,
jika kami pergunakan untuk berwudhu tentu kami kehausan, apakah kami boleh
berwudhu dengan air laut? “.
NO
|
PERAWI
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
||||||||||||||||||||||
1
|
Abdur
Rahman bin Shakhr
|
Ibnu
Hajar al 'Asqalani
|
Shahabat
|
||||||||||||||||||||||
2
|
Al Mughirah
bin Abi Bardah
|
Ibnu
Hajar al 'Asqalani
|
Majhul
|
||||||||||||||||||||||
3
|
Sa'id
bin Salamah
|
Ibnu
Hibban
|
disebutkan dalam 'ats Tsiqaat
|
||||||||||||||||||||||
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
||||||||||||||||||||||||
4
|
Shafwan
bin Sulaim
|
|
|
||||||||||||||||||||||
5
|
Malik
bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir
|
|
|
||||||||||||||||||||||
6
|
Manshur
bin Salamah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih
|
|
|
||||||||||||||||||||||
7
|
Hisyam
bin Ammar
|
|
|
||||||||||||||||||||||
8
|
Muhammad
bin Al Mubarak bin Ya’laa
|
|
|
I. Pendapat
Para Ulama
1. Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh
jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut),
anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.
2. Pendapat Imam
Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak,
ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya
merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa.
3. Imam Malik dan
Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali. [13]
Hal ini dipertegas dengan firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an surah
al-Maidah ayat 96:
¨@Ïmé&
öNä3s9
ßø|¹
Ìóst7ø9$#
¼çmãB$yèsÛur
$Yè»tFtB
öNä3©9
Íou$§¡¡=Ï9ur
( tPÌhãmur
öNä3øn=tæ
ßø|¹
Îhy9ø9$#
$tB
óOçFøBß
$YBããm
3 (#qà)¨?$#ur
©!$#
üÏ%©!$#
Ïmøs9Î)
crç|³øtéB
ÇÒÏÈ
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[14]
dan makanan (yang berasal) dari laut[15]
sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;
dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
(QS Al Maidah : 96).
J. Peringkat Hadits
Hadits ini shahih.
At-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan shahih yang aku tanyakan kepada Imam Bukhari, Imam Bukhari berkata:
“Hadits ini shahih.” Az-Zarqani di
dalam syarah Al Muwaththa’ berkata:
“Hadits ini merupakan salah satu prinsip dasar agama Islam yang diterima oleh
umat Islam.” Sekelompok ulama telah menshahihkan
hadits ini, di antara mereka: Al Bukhari, Hakim, Ibnu Hiban, Al Khaththabi,
Ibnu Huzaimah, Ad-Daruqutni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu daqiq Al’Id, Ibnu
Katsir dan Ibnu Hajar serta ulama lainnya yang lebih dari 36 ulama.[16]
K. Hal-hal Penting dari Hadits
1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Ia suci
secara substansi dan dapat mensucikan. Seluruh ulama menyatakan seperti ini,
hanya saja ada sedikit ulama yang tidak sependapat, tetapi pendapat tersebut
tidak kuat.
2. Air laut itu dapat mengangkat hadas kecil dan besar serta
menghilangkan najis yang muncul pada tempat yang suci, baik pada badan,
pakaian, suatu tempat atau yang lainnya.
3. Air apabila rasa, warna dan bau air berubah karena sesuatu yang
suci, maka air tetap berada dalam kesuciannya, selagi air masih tetap pada
posisi aslinya sekalipun sangat asin, panas dan sangat dingin.
4. Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan bangkai
adalah hewan yang mati yang tidak hidup kecuali di laut.
5. Hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib membawa air yang cukup
untuk bersuci, walaupun ia mampu membawanya, karena para sahabat memberitahu
bahwa mereka membawa sedikit air saja.
6. Ungkapan Ath-thahuru
ma’uhu dengan alif lam (ma’rifat) tidak
menafikan kesucian jenis air lainnya, karena keberadaannya hanya sebagai
jawaban sebuah pertanyaan tentang air laut. Ia telah dithashish oleh manthuq yang
benar.
7. Keutamaan menambahkan fatwa dari suatu pertanyaan. Hal tersebut
apabila seorang mufti berasumsi bahwa si penanya barangkali tidak mengetahui
hukum masalah ini atau sekedar mencoba, sebagaimana pada bangkai hewan laut
bagi para pelaut.
Ibnu Arabi berkata: Hal tersebut
fatwa yang baik yang didatangkan untuk menjawab lebih dari pertanyaan yang
diminta, sebagai sebuah kesempurnaan dan pemberitahuan apa yang tidak
ditanyakan. Hal ini menjadi lebih kuat ketika adanya kebutuhan terhadap hukum
sebagaimana di sini dan hal ini tidak dianggap sebagai pemaksaan sesuatu yang
tidak penting.
8. Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah separuh dari
pengetahuan bersuci.” Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini adalah hadits yang
sangat agung dan merupakan dasar bersuci yang mencakup banyak hukum dan
kaidah-kaidah yang penting.”
9. Perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa hewan laut hukumnya tidak halal kecuali ikan dan seluruh jenisnya. Adapun
selain ikan yang menyerupai hewan daratan seperti, ular, anjing, babi dan
sebagainya, maka menurut Imam Abu Hanifah tidak halal. Imam Ahmad, menurut yang
mansyur dari mazhabnya berpendapat diperbolehkannya seluruh jenis hewan laut
kecuali katak, ular dan buaya. Katak dan ular merupakan jenis hewan yang kotor.
Sementara buaya adalah binatang bertaring yang dapat digunakan memangsa.[17]
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah
Buluhghul Maram,V.1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006
Abu Malik Kamal bin
As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah, Bangun Sarwo Aji Wibowo
dan Masrur huda, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006
Ahmad Sunart, Kamus
Alfikr, Rembang: Halim Jaya, 2009
Imam Ad-Darimi, Sunan
Ad-Darimi; Penerjemah, Abdul Syakur Abdul Razaq,dan Ahmad Riva’I Utsman, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007
Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik; Penerjemah, Nur Alim, Asep Saefullah,
Rahnat Hidayatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006 , jilid. 1
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih
Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali; Penerjemah,
Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Jakarta: Lentera, 2011,
cet. 28
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan
An-Nasa’I, penerjemah, Ahmad Yuswaji, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, jilid.
1
Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Ali Fauzan, Ringakasan Fikih Syaikh Fauzan: Khusus Fikih
Ibadah; Penerjemah, Kamaludin Sahar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006
Syaikh Albani, Tuntunan
Fikih Islam; Penerjemah, Ahmad Rivai Usma, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004
http://hadits.wordpress.com/2013/05/28/kritik-matan-hadis/, diakses pada 22,
Oktober 2014
http://id.wikipedia.org/matan/hadits/, diakses pada 22, Oktober
2014
https://id-id.facebook.com/note.php?note_id=93750158665, diakses pada 22,
Oktober 2014
[1]
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’I dan Hambali; Penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus
Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2011), cet. 28, hal. 3.
[2]
Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah,
Bangun Sarwo Aji Wibowo dan Masrur huda, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet.1,
hal. 102.
[3]
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringakasan Fikih Syaikh Fauzan:
Khusus Fikih Ibadah; Penerjemah, Kamaludin Sahar, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), h. 21
[4]
Syaikh Albani, Tuntunan Fikih Islam; Penerjemah, Ahmad Rivai Usma,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h. 21
[5]
Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi; Penerjemah, Abdul Syakur Abdul
Razaq,dan Ahmad Riva’I Utsman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 436
[6] Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik; Penerjemah, Nur Alim, Asep Saefullah, Rahnat
Hidayatullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), jilid. 1, hal. 27.
[7]
http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/2014/04/kitab-thanarah.html, diakses pada 15
Novemeber 2014
[11]
Ahmad Sunart, Kamus Alfikr, (Rembang: Halim Jaya, 2009), h. 24
[12]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Buluhghul Maram,V.1,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 128
[14]
Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti
mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini
Ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya.
[15]
Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah
mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
[16]
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan An-Nasa’I, penerjemah,
Ahmad Yuswaji, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid. 1, hal. 148.
[17]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Buluhghul Maram,…, h. 127-129