1. Pengertian Kekerasan
Secara etimologis kekerasan adalah tindakan atau kebijakan/ keputusan
apapun yang disertai penggunaan kekuasaan/ kekuatan. Sedangkan secara
terminologis kekerasan adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk menyakiti
seseorang dengan jalan yang bertentangan dengan hukum dengan tujuan yang buruk.[1] Konsep
kekerasan seringkali juga diterapkan untuk menandai kebijakan atau pertentangan
dengan moral misalnya pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Kekerasan menurut Johan Galtung adalah kekerasan
terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan
mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya Kekerasan di sini
didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual.
Konsep
kekerasan menurut Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan. Galtung
menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural,
dan langsung.[2]
Dan kekerasan langsung sering kali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber
(resourse power). Kekuasaan sumber bias dibagi menjadi kekuasaan punitif, yaitu
kekuasaan yang menghancurkan, kemudian kekuasaan Ideologis dan kekuasaan
ideologis . Kekuasaan Ideologis dan renumatif cenderung menciptakan kekerasan
kultural.
Sedangkan
kekuasaan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, seperti orang yang
memiliki wewenang menciptakan wewenang publik. Kekuasaan sumber dan kekuasaan struktural saling
berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural,
kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar ini adalah
kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan
identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari
kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul
kepermukaan sosial.
a. Kekerasan Struktural
Menurut
Galtung ketidak adilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep
kekerasan struktural (structural violence).[3]
Kekerasan model ini dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan
lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter,
pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya manusia di lingkungannya,
diskriminasi rasa atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak
adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil juga, manusia mati
akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep kekerasan
struktural.
Contoh
dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah memberikan
hak pendidikan dan masyarakat pribumi. Hanya kalangan tertentu dari penduduk
pribumi yang bias mengakses sekolah, yaitu golongan bangsawan yang memiliki
tanah-tanah perkebunan dan bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
b. Kekerasan Langsung
Kekerasan
(direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap
orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang
menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan
kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari
satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan
bentuk kekerasan langsung.
Kekerasan langsung terjadi dalam konflik antara
etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat tahun 1999,[4] seperti di Pontianak dan
Sambas, ditandai dengan terbunuhnya banyak sekali manusia, dirusaknya harta
benda yang ada dipengusiran etnis dari tempat tinggalnya. Kekerasan langsung pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura bisa
dilakukan kedua belah pihak pada awalnya. Tetapi kekuatan fisik yang tidak berimbang, seperti peralatan dan jumlah
massa, pada gilirannya membuat salah satu etnis telah melakukan kekerasan
langsung terhadap etnis yang lain.
c. Kekerasan Budaya
Kekerasan
budaya bias disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung,
karena sifat budaya bias muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan
budaya (Cultural violence), di lihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik
melalui produk kebencian, ketakutan dan kecurigaan.
Sumber
Kekerasan budaya ini biasa berangkat dari etnesitas, agama maupun ideologi. Galtung menekankan
makna kekerasan budaya yang dimaksud bukan untuk menyebut kebudayaan sebagai keseluruhan sistemnya, namun
aspek-aspek dari kebudayaan itu. Galtung memberikan definisi kepada kekerasan
budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan; ruang simbolis dari keberadaan
masyarakat manusia dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu
pengetahuan, empiris dan formal (logis), matematis, yang bisa digunakan untuk
menjustifikasi atau melegatimasi kekerasan struktural dan langsung.[5]
d. Kekerasan Model Litke
Alternatif
persefektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F.
Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power (1992) membuat skema definisi
kekerasan pada dimensi fisik-psikologis, dan personal-institusional. Kekerasan
yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan
psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan pembunuhan
merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi psikologis kekerasan personal
muncul dalam bentuk paternalisme, ancaman personal dan pembunuhan karakter. Kekerasan
institusional (terlembagakan) yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa
kerusuhan, terorisme dan perang, sedangkan secara psikologis muncul dalam
bentuk perbudakan, rasisme, dan sexist.
2. Macam-Macam Kekerasan
a. Kekerasan struktural, yaitu
kekerasan yang tidak adanya keadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang
menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.[6]
b. Kekerasan Kultural, yaitu
kekerasan yang sebab maupun timbulnya bisa ditelusuri melalui aspek-aspek,
budaya, wilayah, simbolis, eksistensi kita, diwakili oleh agama dan ideologi,
bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan formal.[7]
Sebuah perbuatan, atau prilaku sosial bisa
dikatakan sebagai kekerasan. Ada pun menurut Galtung ada beberapa dimensi dalam
kekerasan:
1) Perbedaan antara kekerasan
fisik dan kekerasan psikologis.
2) Pendekatan negatif dan
positif terhadap pengaruh.
3) Terletak pada segi obyek.
4) Terletak pada subyek.
5) Antara kekerasan yang
disengaja dengan kekerasan yang tidak disengaja.
6) Perbedaan tradisional,
diantara dua tingkat kekerasan, yakni kekerasan nyata dan kekerasan
tersembunyi.
3. Faktor-Faktor Kekerasan
Politik
M
Enoc. Markum, yang membagi penyebab terjadinya kekerasan ada lima, yaitu :
a. Kondisi kritis sangat
benar-benar terjadi, dalam suatu wilayah tertentu, sehingga muncul kekerasan.
b. Keyakinan masyarakat luas bahwa saluran formal
yang seharusnya dapat menampung dan diandalkan untuk menyelesaikan masalah dan aspirasi
masyarakat tidak berfungsi dengan semestinya.
c. Harapan yang diyakini oleh masyarakat bahwa
melahirkan kekerasan, dapat menimbulkan perubahan.
d. Hilangnya wibawa ABRI di mata masyarakat.
e. Crowding.
Sedangkan
Arbi Sanit menyebutkan bahwa sebab terjadinya kekerasan dari dalam yaitu :[8]
a.
Perasaan
tertekan di kalangan masyarakat yang berasal dari kombinasi diantara
peningkatan harapan (aspirasi) dengan melebarnya jurang (gap) di antara
kebutuhan dan pelayanan publik.
b.
Belum
terlembaganya kehidupan politik secara memadai.
c.
Rendahnya
standar ekonomi yang ditandai oleh ketidak berimbangan pemberlakuan publik
(cara politik).
d.
Ketidakseimbangan
distribusi sumber daya, dan ketidak berimbangan pemenuhan hak dalam masyarakat.
4. Sumber-Sumber Kekerasan
Menurut
I Marsana Windu, sumber sumber kekerasan antara lain:
a.
Watak Manusia
yang Keras
Manusia
merupakan makhluk yang bersegi jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Dilihat dari
segi rohani manusia terbagi menjadi pikiran dan perasaan. Apabila keduanya
diserasikan akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindak.
Sikap tindak itulah yang kemudian menjadi landasan gerak segi jasmani manusia.[9]
Secara
sosiologis, kepribadian seseorang didapat melalui proses sosialisasi yang
dimulai sejak kelahirannya. Pada tahap itu, dia mulai mempelajari pola-pola
perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara mengadakan hubungan
dengan orang lain. Di mulai dari keluarga, dan lambat laun mulai dapat
membedakan dirinya dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Secara bertahap
dia akan mempunyai konsep tentang dirinya sendiri yang didasarkan pada dugaan
tentang pendapat orang-orang perihal dirinya. Kesadaran akan dirinya sendiri
dapat diamati dari tingkah laku anak tersebut dalam permainan, mungkin terhadap
alat-alat permainan, mungkin pula terhadap teman-teman sepermainannya. Sifat
tersebut makin lama makin berkembang dengan bertambah dewasa individu tersebut.
Ditengah
perkembangan kehidupan yang keras, maka akan mustahil jika tidak memunculkan
perkembangan watak manusia yang keras pula, karena terbentuknya watak manusia
itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.[10]
Seorang individu, selain memiliki ciri-ciri watak secara umum, namun individu
jga memiliki ciri-ciri wataknya sendiri. Sedangkan pembentuk watak dalam jiwa
seseorang banyak dipengaruhi pergaulannya di masa kecil.
b.
Struktural yang
Tidak Adil
Sebuah
kekerasan bisa juga didukung oleh ketidak adilan struktural. Secara sosiologis,
struktur masyarakat tersusun atas perbutan manusia dan bukan alam Stuktur
sosial, atau juga biasa disebut sebagai stratifikasi sosial, sangat penting,
karena mengakibatkan masyarakat dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan
individu. Akan tetapi pada akhirnya, stratifikasi menimbulkan adanya kelas dan
status. Kelas dan status biasanya terbentuk atas dasar tingkat kehormatan yang
dimiliki oleh individu.
Status
biasanya diidentifikasi oleh posisi dan jabatan yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan kelas lebih merujuk kepada tingkat kepemilikan harta dan properti
oleh individu. Orang dengan kelas dan status tertentu cenderung berbagi pola
dan mode perilaku. Kelas dan status dibentuk oleh kesamaan-kesamaan yang
dimiliki oleh masing-masing individu dengan kelas atau status yang sama.
Ketidak adilan struktural dapat terjadi bila orang-orang dalam kelas atau
status yang sama membentuk aliansi guna mendominasi sistem ekonomi atau politik
masyarakat.
[1]
Eka Henry, Sosiologi Konflik, ( Pontianak: Anggota Ikapi, 2009), hlm 51
[2] Novri Susan, Sosiologi Konflik . . . hlm 110.
[3] Ibid, khlm 111.
[4] Ibid, hlm 114.
[5] Ibid, hlm 115.
[6]Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian, dan Penelitian
Perdamaian”, dalam Mochtar Lubis, Menggapai
Dunia Damai, (Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm 150.
[7]
Johan Galtung, “Kekerasan Kultural” dalam Wacana Kekerasan dalam Masyarakat Transisi,(Yogyakarta : Insist, Edisi IX, 2002), hlm
11.
[8] Ibid
0 comments:
Post a Comment