Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Tuesday, 22 November 2016

Kesultanan Alwatzihkoebillah Sambas


Kesultanan Sambas seperti yang disebutkan oleh Pabali Musa bila ditinjau berdasakan Salsilah didirikan pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1040 M.[1] Namun menurut Machrus Effendy bahwa kesultanan Sambas berdiri sekitar tahun 1612 M.[2] Tetepi belum ada kesepakatan para sejarawan Sambas tentang tahun masehi berdirinya kesultanan Sambas. Apabila dikonversi dalam tahun masehi, maka sekitar tahun 1630 M.
Nama kesultanan Sambas menurut Raden Muchin Panji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kesuma (kerabat kerajaan), dalam laporan tentang “Kontrol dan riwayat Raja-raja Sambas” tanggal 5 Januari 1951 menyebutkan tentang nama Kesultanan Sambas sebagai berikut: “Menurut riwayat yang tercantum di lembaran Kitab Sejarah, kerajaan bahwa raja-raja di Kerajaan Sambas berasal-usul dari pancaran negeri tiga serangkai yakni Brunai, Sukadana dan Sambas di masa pemerintahan Majapahit”.[3] Kata nama Sambas dari pengertian di atas dapat diartikan dari tiga kerajaan yaitu Brunai, Sambas, Sukadana. Kerajaan Sambas sebelum kedatangan Raja Tengah dari Brunai dalam membawa pengaruh Islam, Kerajaan Sambas pada masa itu diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Sepudak. Ratu sepudak dikatakan berasal dari keturunan tentara Majapahit, yang berkedudukan di kota lama.[4] Sekarang daerah ini merupakan kecamatan Galing, Kabupaten Sambas.
Berakhirnya kekuasaan Ratu Sepudak menjelang permulaan Zaman VOC lebih kurang 1600 M.[5] Sejarah berdirinya Kesultanan Sambas di tandai dengan pemindahan kekuasaan secara damai dari penguasa Hindu kerajaan Sepudak kepada penguasa Islam Raden Sulaiman bergelar Raja Tengah. Pemindahan kekuasaan yang dilakukan melalui jalur perkawinan antara putri Ratu Sepudak yang bernama Raden Mas Ayu Bungsu dengan Raden Sulaiman.[6] Pada masa pemerintahan Ratu Sepudak sistem birokrasi Kerajaan Sambas ketika itu adalah menurut adat istiadat kerajaaan turun-temurun.
Selanjutnya, seperti yang diungkapkan Pabali Musa bahwa telah menjadi kebiasaan dari sejak dahulu dan seterusnya untuk menentukan pengganti raja hanya cukup bermusyawarah dengan lingkungan keluarga raja dan kaum bangsawan tanpa melibatkan rakyat banyak. Merekalah yang memutuskan dan menetapkan sedangkan rakyat wajib menerima dan mentaatinya.[7] Akhirnya Raden Sulaiman dapat mewarisi Kerajaan Sambas dan menjadi raja Islam pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiudin I. Menjadikan Kerajaan Sambas Hindu berubah menjadi kerajaan Islam dengan menjadi Kesultanan Sambas.
Sejak awal tahun 1600 M, agama Islam sudah berkembang di Sambas yang dibawa oleh Raden Sulaiman.[8] Sepanjang perjalanan sejarahnya Kesultanan Sambas memiliki lima tempat atau kota bersejarah sebagai tonggak awal kelahirannya sehingga akhirnya menjadi kesultanan besar. Mula-mula di Kota Bangun atau Muara Tebangun, merupakan tempat pertama kalinya Raja Tengah ayah Raden Sulaiman singgah dan kemudian membangun perkapungan. Ditempat ini pula Ratu Anom Kusuma Yudha menyerahkan tahta kerajaan Hindu Sambas secara damai dan sukarela kepada Raden Sulaiman sultan pertama Sambas.
Kemudian Kota Lama, merupakan Ibukota atau pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua yang masih menganut pengaruh Animis-Hindu yaitu Kerajaan Ratu Sepudak yang berpusat Kecamatan Galing. Selanjutnya, Kota Bandir, daerah hulu sungai Subah yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kerajaan Ratu Sepudak dan juga selama sekitar tiga tahun menjadi pusat pemerintahan transional Kerajaan Sambas yang diamanahkan Ratu Sepudak kepada Raden Sulaiman.[9] Berikutnya Lubuk Madung daerah disamping  Sungai Teberau merupakan ibukota pertama Kesultanan Islam Sambas dan disini Raden Sulaiman dinobatkan menjadi penguasa pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I. Terakhir Muara Ulakan[10] tempat ini dijadikannya sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Sambas sejak masa kekuasaan Raden Bima, dan tempat ini masih dapat disaksikan hingga sekarang ini yang berada dalam Desa Dalam Kaum.
Kesultanan Sambas dikatakan Pabali Musa[11], pernah eksis di bumi Khatulistiwa selama kurang tiga abad (1630-1943). Sepanjang itu diperintah oleh 15 orang keturunan sultan mulai dari sultan Muhammad Tsyafiuddin I (1612) sampai sulthan terakhir Muhammad Mulia Ibrahim Tsyafiuddin (1943).[12] Masa pemerintahan terakhir yaitu Raden Mulia Ibrahim bin pangeran Adipati Ahmad bin Marhum Cianjur, disebut Sultan Mulia Ibrahim yang berkuasa 1931-1943.[13] Masa pemerintahan Sultan Mulia Ibrahim Tsyafiuddin baginda telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan agama Islam dengan jalan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Islam di dalam maupun di luar kota Sambas sampai kepelosok kampung.
Kemudian Sultan Mulia Ibrahim Tsyafiuddin mendirikan masjid Jami’ atau masjid Agung di dalam kota, diikuti oleh rakyat dengan mendirikan masjid-masjid atau surau-surau dan madrasah di seluruh kampung. Pemberantasan buta huruf Arab Jawi dan huruf Latin, menyebarluaskan pengertian seluk-beluk agama Islam dan menghidupkan atau menguatkan hukum-hukum agama Islam dan hukum adat, semua ini merupakan usaha Sultan dalam mengembangkan agama Islam dan kelestarian adat.[14] Tetapi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim pembangunan dibidang pendidikan dan pengajaran tidak banyak mengalami peningkatan mengingat masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi negeri Sambas mengalami masa krisis, dalam keadaan susah. Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat di sekolah-sekolah. Demikian juga Madrasah Sultha>niah mengalami kemunduran kemudian atas insiatif dari maharaja Imam Haji Muhammad Basiuni Imran,  Raden Muchsin Panjianom, Raden Abubakar Panjianom, Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk perkumpulan “Tarbiatoel Islam” dengan motto: bahwa bangsa Indonesia tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai perguruan bangsa sendiri”.[15] Dengan atas insiatif diatas membuat kesultanan sambas bangkit dalam bidang pendidikan masa itu.
Kesultanan Sambas pernah mencapai puncak kebesarannya pada awal abad ke-20 dengan sebutan “Serambi Mekah” kejayaan yang bercirikan keilmuan Islam dengan corak reformisme pada saat Maharaja Imam Sambas di jabat oleh Muhammad Basyuni Imran.[16] Pada tahun 1931 pengangkatan  Muhammad Basyuni Imran di tetapkan sebagai Maharaja Imam, keberadaan Islam dan penganut Islam dalam Kota Sambas dan sekitarnya masa itu belum berkembang. Bukan karena penduduknya sedikit, akan tetapi juga terdapat perimbangan dengan agama lain yang non Islam. Di antaranya ialah agama Budha dan Kong Hu Cu yang di peluk oleh sebagian besar penduduk asing Cina demikian juga dengan agama Katholik dan mereka yang memeluk agama kepercayaan  animisme yang berada didaerah pedalaman. Bagi ulama keadaan yang sedemikian merupakan suatu tantangan yang mesti dihadapi. Islam yang mengandung iman dan taqwa harus pula disebarluaskan  dengan memperbanyak dakwah dan muballigh kepada penduduk yang masih buta agama.[17] Perkembangan Islam di masyarakat Sambas hanya pada lingkungan masyarakat Melayu yang bermukim di pesisir tepi sungai Sambas tetapi perkembangan Islam belum begitu merata ke daerah pedalaman Sambas.




[1] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 35.
[2] Lihat, ibid, hal. 35
[3] Johansen, Jurnal Sejarah..., hal. 155.
[4] Nurcahyanni, Sejarah Kerajaan Sambas..., hal. 43.
[5] Ahmadi Muhammad, Tahun Hijriyah dan Sejarah Sambas Masjid Jami’ Sulthan Muhammad Tsafiudin II sambas, (Sambas: YASPI Sambas, 2007), hal. 10.
[6] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat..., hal. 66.
[7] Nurcahyani, Sejarah Kerajaan Sambas, hal. 20.
[8] Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah, (Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas: 2001), hal. 88.
[9] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 3
[10] Usman, Sambas Merajut Kisah..., hal 6-7.
[11] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 36-37.
[12] Machrus Effendy, Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas, (Jakarta, Dian Kemilau, 1995), hal. 12.
[13] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 37.
[14] Nurcahyani, Sejarah Kerajaan Sambas..., hal. 34.
[15] Rahman, Kabupaten Sambas..., hal. 78.
[16] Musa, Sejarah Kesultanan Sambas..., hal. 39.
[17] Effendi, Riwayat Hidup..., hal. 38.

0 comments: