Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Tuesday 22 November 2016

Pengantar Menuju Filsafat




A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu “philosophy”, sedangkan dalam bahasa Yunani “philein” atau “philos” dan “sopein” atau “sophi”. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “falsafah” yang artinya al-hikmah. Akan tetapi kata tersebut awalnya berasal dari bahasa Yunani. “Philos” artinya cinta, sedangkan “sophia” artinya kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan.[1]
Secara teminologis, filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi.[2]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang cara berpikir kritis; pengetahuan tentang kritik yang radikal, artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Radiks artinya akar yang juga disebut arche sebagai ciri khas berfikir filosofis. Perbedaannya dengan pengetahuan adalah adanya asumsi sebagai titik tolak yang disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief). Radikal adalah asumsi yang tidak hanya dibicarakan, tetapi digunakan.[3] Jadi, filsafat merupakan cara berfikir secara sistematis menggunakan logika tanpa terikat apa pun itu dan dengan sedalam-dalamnya hingga ke dasar persoalan.
Filsafat juga merupakan kebebasan berpikir manusia terhadap segala sesuatu tanpa batas dengan mengacu pada hukum keraguan atau segala hal. Sarwa sekalian alam dan segala hal dapt dilihat dari berbagai sudut melalui kontemplasi pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal. Segala hal yang dipikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal-hal berikut:
1. Sesuatu yang bersifat metafisik yang tidak dapat diliahat oleh mata kepala manusua;
2. Alam semesta yang fisikal dan terbentuk oleh hukum perubahan;
3. Segala sesuatu yang rasional dan irasioanal;
4. Semua yang bersifat natural maupun supranatural;
5. Akal, rasa, pikiran, intuisi, dan persepsi;
6. Hakikat yang terbatas dan yang tidak terbatas;
7. Teori pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang objektif maupun subjektif;
8. Fungsi dan manfaat segala sesuatu yang didambakan manusia atau dihindarinya.
9. Kebenaran spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku pemahaman dialektis terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia. Tesis yang melahirkan antitesis dan terciptanya sintesis.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat mendorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian pula, berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah terjangkau.[4]

B. Objek Materia dan Objek Forma dalam Filsafat
Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Adapun objek forma filsafat adalah pencarian terhadap yang ada dan yang mungkin ada secara kontemplatif pada permasalahan yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan empiris dan observatif yang biasa berada dalam sains.
Segala sesuatu yang ada dengan sendirinya dan yang keberadaannya disebabkan oleh keberadaan yang lain. Segala sesuatu yang ada, ada yang wajib adanya tanpa ada kemungkinan yang lain dan ada yang tidak wajib adanya tanpa ada kemungkinan yang lain dan ada yang tidak wajib adanya dan wajib bergantung kepada berbagai kemungkinan.
Semua yang wajib ada secara filosofis adalah wujud dari keberadaan yang ada dengan sendirinya dan tidak berada dengan sendirinya. Ada itu adakalanya tergambarkan oleh pancaindra, seperti langit, bumi, bulan, bintang, manusia, dan gunung-gunung, tetapi ada yang tidak tampak menurut keterbatasan pancaindra manusia, misalnya Sang Pencipta alam ini. Manusia merupakan objek materia filsafat, dilihat dari kedudukannya sebagai manusia di muka bumi maupun fungsi dan perannya sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi, manakala berbicara tentang bagaimana nasib dan takdir manusia, jodoh dan rezeki, batas usia dan masa depannya, hal ini bukan lagi objek materia, melainkan objek forma dalam filsafat.[5]


C. Struktur Filsafat

Struktur filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara kerja filsafat adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan rasio sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran;

2. Merasionalisasikan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan cara berpikir mendalam, logis, dan rasional;

3. Menjadikan semua objek ilmu pengetahuan sebagai objek materia filsafat, tetapi cara kerjanya tidak mengenal kata akhir sebuah kebenaran, karena kebenaran telah terbukti;

4. Kebenaran yang bersifat observatif dan empiris bagi filsafat merupakan langkah awal menuju pencarian kebenaran hakiki;

5. Cara kerja rasio yang sistematis, radikal, dan spekulatif;

6. Objek kajian filsafat tidak sebatas segala pada sesuatu yang alamiah, bahkan sesuatu yang sebenarnya Dzat yang menciptakan alam, yang tidak bersifat alamiah,yakni Tuhan tak segan-segan dijadikan bahan perdebatan dan perbincangan filsafat.[6]
Pada pokoknya struktur filsafat berkisar pada tiga cabang:

1. Teori Pengetahuan
2. Teori Hakikat
3. Teori Nilai
Tiga cabang ini melahirkan cabang-cabang baru yang merupakan anak-anak cabang dari ketiga cabang tadi.
1. Teori Pengetahuan
Cabang filsafat yang membahas norma-norma atau teori tentang cara mendapatkan pengetahuan dan membicarakan pula tentang bagaimana cara mengatur pengetahuan itu sehingga menjadi pengetahuan yang benar dan berarti.
Posisi terpenting dan terutama dari teori pengetahuan adalah membicarakan apa sebenarnya hakikat pengetahuan itu, cara berpikir dan hukum berpikir mana yang harus dipergunakan agar kita mendapat pemikiran yang kemungkinan benarnya paling besar.
Ada dua cabang yang akan membahasnya:
a. Epistemologi 
b. Logika

a. Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logy berarti teori. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan, atau filsafat ilmu. Terdapat empat persoalan pokok dalam bidang ini: Apa pengetahuan itu?, Apa sumber-sumber pengetahuan itu?, Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?, Apakah pengetahuan kita itu benar(valid)?
Persoalan berikutnya yaitu tentang sumber pengetahuan manusia. Louis Q. Kattsof  mengatakan bahwa sumber pengetahuan ada lima macam, yaitu: Empiris yang melahirka aliran empirisme, Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme, Fenomana yang melahirka aliran fenomenologi/fenomenalisme, Intuisi yang melahirkan aliran intuisionisme, Metode ilmiah yang menggabungkan antara Rasionalisme dan empirisme.
1) Empirisme
Empirime mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman. John Locke  bapak empirisme dari Britania mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana itu. Ia memandang bahwa akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal faktual.
2) Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai jenis perangsang pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita dan bukannya di dalam diri barang itu sendiri.
Descartes, bapak rasionalisme menyatakan ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak diragukan. Dengan demikian akal budi dipahaminya sebagai jenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran dan sebagai suatu teknik deduktif untuk menemukan kebenaran-kebenaran; artinya dengan melakukan penalaran.
3) Fenomenalisme
Menurut uraian Emmanuel Kant , barang sesuatu bagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman, dan disusun secara sistematisdengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mengetahui tentang barang sesuatu seperti keadaan sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak pada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian.
 Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4) Intuisionisme
Menurut Henry Bergson, pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita mengenai sesuatu. ini tergantung pada pemikiran dari suatu sudut pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan sudut pandangan serta kerangka acuan tersebut.
Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak mengenai kejadian itu seluruhnya. Hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu suatu kejadian yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantara.
5) Metode Ilmiah
Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam.
Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.
Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
a) Karakterisasi (pengamatan dan pengukuran)
b) Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil pengamatan dan pengukuran)
c) Prediksi (deduksi logis dari hipotesis)
d) Eksperimen (pengujian atas semua hal di atas)

b. Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai [7]“pengkajian untuk berfikir secara sahih”.[8]
Dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan dipihak lain, kita mempunyai logika deduktif yang membantu kita dlam menarik kesimpulan dai hal yang bersifat umum menjadi kasus yang berrsifat individual (khusus).
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan penyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbebas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dengan penalaran induktif. Deduksi adalah cara berrpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.[9]

2. Teori Hakikat
Hakikat artinya keadaan yang sebenarnya. Hakikat sebenarnya adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu itu. Teori hakikat merupakan cabang filsafat yang membicarakan hakikat sesuatu.
Cabang teori hakikat:
a. Ontologi
b. Kosmologi
c. Theodecia

a. Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat dari sesuatu yang ada. Pertanyaan utama dalam ontologi adalah "Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang ada?". Ada empat macam aliran filsafat yang mencoba memberikan jawaban atas persoalan tersebut:
1)  Materialisme
2
)  Idealisme
3
)  Dualisme
4
)  Agnoticisme

1) Materialisme
Materialisme mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia adalah material yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. Materialisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu itu ada adalah sesuatu itu sendiri.
2) Idealisme
Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran -pikiran, akal atau jiwa dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan ide sebagai hal yang lebih dahulu dari pada materi. Idealisme menekankan sesuatu yang ada diukur dari ide atau persepsi yang dari apa yang dirasakan oleh jiwa dan adanya kesesuaian dengan putusan-putusan lain yang telah diterima sebagai yang benar.
3) Dualisme
Dualisme adalah aliran filsafat yang mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Dualisme mengatakan bahwa materi maupun ide mempunyai hakikat yang sama.
Dualisme beranggapan adanya keselarasan antara ide/ruh dengan materi, namun dualisme mempunyai pertanyaan besar yaitu "bagaimana bisa terjadi keselarasan antara ide/ruh dengan materi?".
4) Agnoticisme
Agnoticisme beranggapan bahwa manusia tak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataan. Sebab menurut paham ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu tentang hakikat dari sesuatu yang ada, baik oleh indra maupun pikirannya. Aliran ini mempunyai masalah yaitu tentang siapa sebenarnya yang bisa mengetahui hakikat sesuatu yang ada? aliran ini tidak menjelaskannya.

b. Kosmologi
Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.
Alam fisik atau jagat raya (cosmos) merupakan objek penyelidikan ilmu-ilmu alam, khususnya fisika. Ini berarti bahwa kosmologi adalah penyelidikan tentang jagat raya fisik, terdiri dari dua bagian:
1) Penyelidikan filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti ruang dan waktu.
2) Pra-anggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya.
Prinsip kosmologi  bukanlah sebuah prinsip, melainkan asumsi yang digunakan untuk membatasi dari begitu banyaknya teori kosmologi yang mungkin.



c. Antropologi
Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Menurut pandangan ini manusia adalah bagian dari alam yang dipandang sebagaikesatuan totalitas. Hakikat manusia adalh jasmani itu sendiri bukan ruhnya. Sebab ruh hanya ada jika tempat yang ditumpanginya masih utuh, sebaliknya ruh akan hilang apabila tempat yang ditumpanginya/jasmaninya telah hancur/mati.

d. Theodecia
Cabang filsafat theodecia atau teologi membicarakan tentang dasar-dasar ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan berdasarkan logika atau pendapat akal manusia. Theodecia tidak membicarakan Tuhan dari segi agama. Dalam theodecia terdapat sejumlah aliran:
1) Theisme
Paham yang mempercayai bahwa Tuhan merupakan pencipta alam ini. Tuhan adalah sebab yang ada dialam ini. Segala-gala bersandar pada sebab ini. Menurut paham ini alam beredar berdasarkan kehendak Tuhan.
2) Monotheisme
Monotheisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu.
3)  Trinitheisme
Trinitheisme mengajarkan bahwa Tuhan itu ada tiga. Ketiga Tuhan mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda.
4) Polytheisme
Polytheisme menganggap bahwa Tuhan atau Dewa itu banyak.Pada mulanya Tuhan-Tuhan atau Dewa-Dewa mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi karena ada beberapa hal, lambat laun beberapa nya ada yang memiliki kedudukanyang lebih tinggi.
5) Pantheisme
Paham yang menganggap bahwa alam ini adalah Tuhan. Semua yang ada dan keseluruhannya adalah Tuhan. Benda yang dapat dilihat oleh panca indera adalah bagian dari Tuhan.
6)  Atheisme
Paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
7)  Agnostisisme
Paham ini berada di tengah-tengah antara keberadaan Tuhan dan ketidak beradaan Tuhan. Menurut paham ini manusia tak akan sanggup mengetahui pengetahuan tentang Tuhan. Paham ini tidak menafikan Tuhan dan juga tidak mengatakan bahwa Tuhan itu ada.

3. Teori Nilai
a. Etika
Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Jenis etika:
1) Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat.
Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
a) Non-empiris
Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret.
Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b) Praktis
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

2)  Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum.

3)  Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.  Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
a) Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
b) Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

c) Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar. Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

b.  Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.[10]

D. Pembagian Filsafat
Pembagian utama filsafat dapat dilihat dari tiga segi, yakni:
a)   Dari segi objeknya, yaitu objek material dan forma;
b)   Dilihat dari cara kerjanya ialah berpikir mendalam, radikal, rasional, sistematis dan logis;
c)    Dari segi kebenarannya yaitu spekulatif.[11]

E. Metodologi Filsafat
Metode mempelajari filsafat ada tiga, yaitu:
1. Metode sestematis
Yakni dimulai dengan banyak membaca buku filsafat, memahami pengertiannya, objek yang dikaji, sistematika filsafat, makna ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2. Metode historis
Yakni dengan mempelajari sejarah filsafat, seluk-beluk kelahirannya.
3. Metode kritis
Ini untuk yang tingkat tinggi. Yang dapat dilakukan “untuk lebih hebat” dua metode di atas sudah dilewati. Bagaimana mau mengkritisi, jika sejarah filsafat tidak tahu, atau pengertian ontologi saja belum hapal. Metode ini mulai melibatkan penalaran kontemplatif dan radikal, bahkan pemikiran para filosof bukan sekedar dipahami, melainkan dikritisi.
Metodologi filsafat menurut Juhaya S. Pradja (1997:14) ada tiga, yaitu:
1. Deduksi, ialah suatu metode berpikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus.
2. Induksi, yaitu metode berpikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat umum.
3. Dialektika, adalah metode berpikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap, yakni tesis, antithesis dan sintesis.[12]

























[1] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 14.
[2] Juhaya s. Pradja, Filsafat ilmu (Bandung: Teraju, 2003), hlm.2.
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 16.
[4] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 16-17.
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 19-20.
[6] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 24.
[7] Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), hlm.46.
[8] William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophy (cambridge, Mass.: Schenkman, 1965), hlm.3.
[9] Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), hlm. 46,48,49.
[10] http://materi-soekardin.blogspot.com/2011/08/struktur-filsafat.html
[11] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 28.
[12] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 28-29.

0 comments: