A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, filsafat
berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam
bahasa Inggris, yaitu “philosophy”, sedangkan dalam bahasa Yunani “philein”
atau “philos” dan “sopein” atau “sophi”. Ada pula yang
mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “falsafah”
yang artinya al-hikmah. Akan tetapi kata tersebut awalnya berasal dari
bahasa Yunani. “Philos” artinya cinta, sedangkan “sophia” artinya
kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan dengan cinta
kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau
berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran
atau kebijaksanaan.[1]
Secara teminologis, filsafat
mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa arti yang sangat
formal dari filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi.[2]
Filsafat merupakan pengetahuan
tentang cara berpikir kritis; pengetahuan tentang kritik yang radikal, artinya
sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Radiks artinya
akar yang juga disebut arche sebagai ciri khas berfikir filosofis.
Perbedaannya dengan pengetahuan adalah adanya asumsi sebagai titik tolak yang
disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief). Radikal
adalah asumsi yang tidak hanya dibicarakan, tetapi digunakan.[3] Jadi,
filsafat merupakan cara berfikir secara sistematis menggunakan logika tanpa
terikat apa pun itu dan dengan sedalam-dalamnya hingga ke dasar persoalan.
Filsafat juga merupakan kebebasan
berpikir manusia terhadap segala sesuatu tanpa batas dengan mengacu pada hukum
keraguan atau segala hal. Sarwa sekalian alam dan segala hal dapt dilihat dari
berbagai sudut melalui kontemplasi pemikiran yang sistematis, logis, dan
radikal. Segala hal yang dipikirkan oleh filsafat berkaitan dengan hal-hal
berikut:
1. Sesuatu
yang bersifat metafisik yang tidak dapat diliahat oleh mata kepala manusua;
2. Alam semesta
yang fisikal dan terbentuk oleh hukum perubahan;
3. Segala sesuatu
yang rasional dan irasioanal;
4. Semua yang
bersifat natural maupun supranatural;
5. Akal, rasa,
pikiran, intuisi, dan persepsi;
6. Hakikat yang
terbatas dan yang tidak terbatas;
7. Teori
pengetahuan pada semua keberadaan pengetahuan manusia yang objektif maupun
subjektif;
8. Fungsi dan
manfaat segala sesuatu yang didambakan manusia atau dihindarinya.
9. Kebenaran
spekulatif yang bersifat rasional tanpa batas sehingga berlaku pemahaman
dialektis terhadap berbagai penemuan hasil pemikiran manusia. Tesis yang
melahirkan antitesis dan terciptanya sintesis.
Pengetahuan dimulai dengan rasa
ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai
dengan kedua-duanya. Berfilsafat mendorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa
tidak semuanya pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas
ini. Demikian pula, berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian
untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah
terjangkau.[4]
B.
Objek Materia dan Objek Forma dalam Filsafat
Objek
materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Adapun
objek forma filsafat adalah pencarian terhadap yang ada dan yang mungkin ada
secara kontemplatif pada permasalahan yang tidak dapat dijangkau oleh
pendekatan empiris dan observatif yang biasa berada dalam sains.
Segala sesuatu yang ada dengan
sendirinya dan yang keberadaannya disebabkan oleh keberadaan yang lain. Segala
sesuatu yang ada, ada yang wajib adanya tanpa ada kemungkinan yang lain dan ada
yang tidak wajib adanya tanpa ada kemungkinan yang lain dan ada yang tidak
wajib adanya dan wajib bergantung kepada berbagai kemungkinan.
Semua yang wajib ada secara
filosofis adalah wujud dari keberadaan yang ada dengan sendirinya dan tidak
berada dengan sendirinya. Ada itu adakalanya tergambarkan oleh pancaindra,
seperti langit, bumi, bulan, bintang, manusia, dan gunung-gunung, tetapi ada
yang tidak tampak menurut keterbatasan pancaindra manusia, misalnya Sang
Pencipta alam ini. Manusia merupakan objek materia filsafat, dilihat dari
kedudukannya sebagai manusia di muka bumi maupun fungsi dan perannya sebagai
anggota masyarakat. Akan tetapi, manakala berbicara tentang bagaimana nasib dan
takdir manusia, jodoh dan rezeki, batas usia dan masa depannya, hal ini bukan
lagi objek materia, melainkan objek forma dalam filsafat.[5]
C. Struktur
Filsafat
Struktur
filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara kerja
filsafat adalah sebagai berikut:
1.
Menjadikan rasio sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran;
2.
Merasionalisasikan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan cara
berpikir mendalam, logis, dan rasional;
3.
Menjadikan semua objek ilmu pengetahuan sebagai objek materia filsafat, tetapi
cara kerjanya tidak mengenal kata akhir sebuah kebenaran, karena kebenaran
telah terbukti;
4.
Kebenaran yang bersifat observatif dan empiris bagi filsafat merupakan langkah
awal menuju pencarian kebenaran hakiki;
5.
Cara kerja rasio yang sistematis, radikal, dan spekulatif;
6.
Objek kajian filsafat tidak sebatas segala pada sesuatu yang alamiah, bahkan
sesuatu yang sebenarnya Dzat yang menciptakan alam, yang tidak bersifat
alamiah,yakni Tuhan tak segan-segan dijadikan bahan perdebatan dan perbincangan
filsafat.[6]
Pada pokoknya struktur filsafat berkisar pada
tiga cabang:
1. Teori Pengetahuan
2. Teori Hakikat
3. Teori Nilai
Tiga cabang ini melahirkan cabang-cabang baru yang merupakan anak-anak cabang dari ketiga cabang tadi.
Tiga cabang ini melahirkan cabang-cabang baru yang merupakan anak-anak cabang dari ketiga cabang tadi.
1. Teori Pengetahuan
Cabang filsafat
yang membahas norma-norma atau teori tentang cara mendapatkan pengetahuan dan
membicarakan pula tentang bagaimana cara mengatur pengetahuan itu sehingga
menjadi pengetahuan yang benar dan berarti.
Posisi
terpenting dan terutama dari teori pengetahuan adalah membicarakan apa
sebenarnya hakikat pengetahuan itu, cara berpikir dan hukum berpikir mana yang
harus dipergunakan agar kita mendapat pemikiran yang kemungkinan benarnya
paling besar.
Ada dua cabang yang akan membahasnya:
Ada dua cabang yang akan membahasnya:
a. Epistemologi
b. Logika
a. Epistemologi
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti knowledge
atau pengetahuan dan logy berarti teori. Epistemologi dapat diartikan
sebagai teori pengetahuan, atau filsafat ilmu. Terdapat empat persoalan pokok
dalam bidang ini: Apa pengetahuan itu?, Apa
sumber-sumber pengetahuan itu?, Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang
dan bagaimana kita mengetahuinya?, Apakah pengetahuan kita itu benar(valid)?
Persoalan berikutnya yaitu tentang
sumber pengetahuan manusia. Louis Q. Kattsof mengatakan bahwa
sumber pengetahuan ada lima macam, yaitu: Empiris yang melahirka aliran empirisme,
Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme, Fenomana yang melahirka
aliran fenomenologi/fenomenalisme, Intuisi yang melahirkan aliran intuisionisme,
Metode ilmiah yang menggabungkan antara Rasionalisme dan empirisme.
1)
Empirisme
Empirime mengatakan
bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman. John Locke bapak empirisme dari Britania mengatakan
bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Didalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
peroleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh
dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana itu. Ia memandang
bahwa akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita
betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman
inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu
bukanlah pengetahuan atau setidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal faktual.
2) Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa
sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari
nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai jenis perangsang
pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak didalam ide kita dan bukannya di dalam diri barang itu sendiri.
Descartes, bapak rasionalisme menyatakan ia yakin kebenaran-kebenaran semacam
itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang
terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak diragukan. Dengan demikian
akal budi dipahaminya sebagai jenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran
dan sebagai suatu teknik deduktif untuk menemukan kebenaran-kebenaran; artinya
dengan melakukan penalaran.
3) Fenomenalisme
Menurut uraian Emmanuel Kant , barang sesuatu
bagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman, dan disusun secara
sistematisdengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mengetahui
tentang barang sesuatu seperti keadaan sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak pada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant,
para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan
didasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian.
Tetapi para
penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4) Intuisionisme
Menurut Henry Bergson, pengetahuan
diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan
kepada kita mengenai sesuatu. ini tergantung pada pemikiran dari suatu sudut
pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan dengan
sudut pandangan atau kerangka acuan, dan pelukisan kejadian yang berhubungan
dengan sudut pandangan serta kerangka acuan tersebut.
Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak mengenai kejadian itu seluruhnya. Hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu suatu kejadian yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantara.
Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak mengenai kejadian itu seluruhnya. Hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu suatu kejadian yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantara.
5) Metode Ilmiah
Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk
memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan
melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan
fenomena alam.
Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut
diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali,
hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.
Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
a) Karakterisasi
(pengamatan dan pengukuran)
b) Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil
pengamatan dan pengukuran)
c) Prediksi
(deduksi logis dari hipotesis)
d) Eksperimen
(pengujian atas semua hal di atas)
b. Logika
Logika berasal dari
kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang
diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika
adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai [7]“pengkajian untuk berfikir secara sahih”.[8]
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai [7]“pengkajian untuk berfikir secara sahih”.[8]
Dua jenis cara
penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika
induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan dipihak lain,
kita mempunyai logika deduktif yang membantu kita dlam menarik kesimpulan dai
hal yang bersifat umum menjadi kasus yang berrsifat individual (khusus).
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan penyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbebas dalam menyusun argumentasi yang
diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan penalaran deduktif
adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dengan penalaran induktif. Deduksi
adalah cara berrpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus.[9]
2. Teori Hakikat
Hakikat artinya
keadaan yang sebenarnya. Hakikat sebenarnya adalah keadaan sebenarnya dari
sesuatu itu. Teori hakikat merupakan cabang filsafat yang membicarakan hakikat
sesuatu.
Cabang teori hakikat:
Cabang teori hakikat:
a. Ontologi
b. Kosmologi
c. Theodecia
a. Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat
yang membicarakan hakikat dari sesuatu yang ada. Pertanyaan utama dalam
ontologi adalah "Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang ada?". Ada
empat macam aliran filsafat yang mencoba memberikan jawaban atas persoalan
tersebut:
1) Materialisme
2) Idealisme
3) Dualisme
4) Agnoticisme
2) Idealisme
3) Dualisme
4) Agnoticisme
1) Materialisme
Materialisme mengatakan bahwa
materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia adalah material yang pertama, sedangkan
pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. Materialisme beranggapan bahwa
hakikat sesuatu itu ada adalah sesuatu itu sendiri.
2) Idealisme
Idealisme mengatakan bahwa
realitas terdiri dari ide-ide, pikiran -pikiran, akal atau jiwa dan bukan benda
material dan kekuatan. Idealisme menekankan ide sebagai hal yang lebih dahulu
dari pada materi. Idealisme menekankan sesuatu yang ada diukur dari ide atau
persepsi yang dari apa yang dirasakan oleh jiwa dan adanya kesesuaian dengan
putusan-putusan lain yang telah diterima sebagai yang benar.
3) Dualisme
Dualisme adalah aliran filsafat yang
mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan
idealisme. Dualisme mengatakan bahwa materi maupun ide mempunyai hakikat yang
sama.
Dualisme beranggapan adanya keselarasan antara ide/ruh dengan materi, namun dualisme mempunyai pertanyaan besar yaitu "bagaimana bisa terjadi keselarasan antara ide/ruh dengan materi?".
Dualisme beranggapan adanya keselarasan antara ide/ruh dengan materi, namun dualisme mempunyai pertanyaan besar yaitu "bagaimana bisa terjadi keselarasan antara ide/ruh dengan materi?".
4) Agnoticisme
Agnoticisme beranggapan bahwa
manusia tak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataan. Sebab menurut
paham ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu tentang
hakikat dari sesuatu yang ada, baik oleh indra maupun pikirannya. Aliran ini
mempunyai masalah yaitu tentang siapa sebenarnya yang bisa mengetahui hakikat
sesuatu yang ada? aliran ini tidak menjelaskannya.
b. Kosmologi
Kosmologi adalah
ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara
khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.
Alam fisik atau jagat raya (cosmos) merupakan objek penyelidikan ilmu-ilmu alam, khususnya fisika. Ini berarti bahwa kosmologi adalah penyelidikan tentang jagat raya fisik, terdiri dari dua bagian:
Alam fisik atau jagat raya (cosmos) merupakan objek penyelidikan ilmu-ilmu alam, khususnya fisika. Ini berarti bahwa kosmologi adalah penyelidikan tentang jagat raya fisik, terdiri dari dua bagian:
1) Penyelidikan
filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti
ruang dan waktu.
2) Pra-anggapan
yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya.
Prinsip kosmologi bukanlah sebuah prinsip, melainkan asumsi
yang digunakan untuk membatasi dari begitu banyaknya teori kosmologi yang
mungkin.
c.
Antropologi
Antropologi
berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia"
atau "orang", dan logos yang berarti "wacana"
(dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Menurut
pandangan ini manusia adalah bagian dari alam yang dipandang sebagaikesatuan
totalitas. Hakikat manusia adalh jasmani itu sendiri bukan ruhnya. Sebab ruh
hanya ada jika tempat yang ditumpanginya masih utuh, sebaliknya ruh akan hilang
apabila tempat yang ditumpanginya/jasmaninya telah hancur/mati.
d. Theodecia
Cabang filsafat
theodecia atau teologi membicarakan tentang dasar-dasar ketuhanan dan hubungan
manusia dengan Tuhan berdasarkan logika atau pendapat akal manusia. Theodecia
tidak membicarakan Tuhan dari segi agama. Dalam theodecia terdapat sejumlah
aliran:
1) Theisme
Paham yang
mempercayai bahwa Tuhan merupakan pencipta alam ini. Tuhan adalah sebab yang
ada dialam ini. Segala-gala bersandar pada sebab ini. Menurut paham ini alam
beredar berdasarkan kehendak Tuhan.
2) Monotheisme
Monotheisme
adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas
segala sesuatu.
3) Trinitheisme
3) Trinitheisme
Trinitheisme
mengajarkan bahwa Tuhan itu ada tiga. Ketiga Tuhan mempunyai fungsi dan tugas
yang berbeda.
4) Polytheisme
Polytheisme
menganggap bahwa Tuhan atau Dewa itu banyak.Pada mulanya Tuhan-Tuhan atau
Dewa-Dewa mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi karena ada beberapa hal,
lambat laun beberapa nya ada yang memiliki kedudukanyang lebih tinggi.
5) Pantheisme
Paham yang
menganggap bahwa alam ini adalah Tuhan. Semua yang ada dan keseluruhannya
adalah Tuhan. Benda yang dapat dilihat oleh panca indera adalah bagian dari
Tuhan.
6) Atheisme
Paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
Paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
7)
Agnostisisme
Paham ini
berada di tengah-tengah antara keberadaan Tuhan dan ketidak beradaan Tuhan.
Menurut paham ini manusia tak akan sanggup mengetahui pengetahuan tentang
Tuhan. Paham ini tidak menafikan Tuhan dan juga tidak mengatakan bahwa Tuhan
itu ada.
3. Teori Nilai
a. Etika
Etika adalah
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Diperlukan etika,
yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Secara
metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu
lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan
manusia. Jenis etika:
1) Etika Filosofis
Etika filosofis
secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan
berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika
sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat.
Berikut
akan dijelaskan dua sifat etika:
a) Non-empiris
a) Non-empiris
Filsafat
digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan
pada fakta atau yang kongkret.
Namun filsafat
tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah
menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual
dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
b) Praktis
Cabang-cabang
filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan
bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai
cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis
dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis
melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti
hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori
etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita
mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
2) Etika
Teologis
Ada dua hal
yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis
bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika
teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara
umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika
secara umum.
3) Relasi Etika
Filosofis dan Etika Teologis
Terdapat
perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah
etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada
tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
a) Revisionisme
Tanggapan ini
berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas
untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
b) Sintesis
Jawaban ini
dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis
dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan
mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya
adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan
etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
c) Diaparalelisme
Jawaban ini
diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis
dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat
diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar. Mengenai
pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus,
dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat
dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang
dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara
dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.
Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun
keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.
b. Estetika
Estetika adalah
salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan
filosofi seni.
Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.[10]
Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.[10]
D.
Pembagian Filsafat
Pembagian utama filsafat dapat
dilihat dari tiga segi, yakni:
a) Dari segi objeknya, yaitu objek material dan forma;
b) Dilihat dari cara kerjanya ialah berpikir mendalam, radikal, rasional,
sistematis dan logis;
E. Metodologi Filsafat
Metode mempelajari filsafat ada
tiga, yaitu:
1. Metode
sestematis
Yakni dimulai
dengan banyak membaca buku filsafat, memahami pengertiannya, objek yang dikaji,
sistematika filsafat, makna ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2. Metode
historis
Yakni dengan
mempelajari sejarah filsafat, seluk-beluk kelahirannya.
3. Metode kritis
Ini untuk yang
tingkat tinggi. Yang dapat dilakukan “untuk lebih hebat” dua metode di atas
sudah dilewati. Bagaimana mau mengkritisi, jika sejarah filsafat tidak tahu,
atau pengertian ontologi saja belum hapal. Metode ini mulai melibatkan
penalaran kontemplatif dan radikal, bahkan pemikiran para filosof bukan sekedar
dipahami, melainkan dikritisi.
Metodologi filsafat menurut Juhaya S. Pradja (1997:14) ada tiga,
yaitu:
1. Deduksi, ialah suatu
metode berpikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum kemudian diterapkan
pada sesuatu yang bersifat khusus.
2. Induksi, yaitu metode
berpikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus kemudian diterapkan pada
sesuatu yang bersifat umum.
3.
Dialektika, adalah metode berpikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap,
yakni tesis, antithesis dan sintesis.[12]
[1]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 14.
[2] Juhaya
s. Pradja, Filsafat ilmu (Bandung: Teraju, 2003), hlm.2.
[3]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 16.
[4]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 16-17.
[5]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 19-20.
[6]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 24.
[7]
Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), hlm.46.
[8]
William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophy (cambridge,
Mass.: Schenkman, 1965), hlm.3.
[9]
Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer
(Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), hlm. 46,48,49.
[10]
http://materi-soekardin.blogspot.com/2011/08/struktur-filsafat.html
[11]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 28.
[12]
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum; dari Metologi
sampai Teologi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 28-29.
0 comments:
Post a Comment