Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Friday, 25 November 2016

Bai’at dalam Islam


Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbai’at untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah perjalanan hidupNabi umat ini.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, bai’at untuk senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh yang dapat membentengi.
A.  Pengertian Bai’at
Bai’at secara bahasa Etimologi adalah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat.Bai’at juga mempunyai Arti yaitu setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : "shafaquu 'alaihi" (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'atahu" berasal dari kata "al-baiy'u" dan "al-baiy'ah" demikian pula kata "al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'"Maukah kalian membaiatku di atas Islam.Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.
Bai'at Secara Istilah Terminologi adalah Berjanji atau taat Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.
Membai’at seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari'at. Dan bai’at itu secara syar’I maupun kebiasan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukmin dan khalifah kaum muslim. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada bai’at masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa bai’at itu terjadi untuk kepala negara.Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi. Sedang bai’at selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti bai’at mereka.
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan atau membicarakan tentang bai’at, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.
Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta. Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya.
Permasalahan ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas dari hawa nafsu. Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu sebagian kelompok kaum muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan berusaha menerapkan syari’at Allah di negeri kaum muslimin (menurut persepsi mereka). Akibatnya, mereka keliru dan terjerembab berkaitan dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan nash-nash supaya sesuai dengan kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui dua jalan, yaitu kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada diri seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.
Pemahaman tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok orang tersebut, yaitu bai’at yang (seharusnya, penting.) diberikan kepada penguasa yang berhak untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak memerintahkan kepada perbuatan maksiat, meskipun penguasa zhalim. Itulah bai’at yang merupakan kewajiban agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.
Jadi orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan dalam memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau kesepakatan kerja, atau -dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa, red.)- bai’at yang terjadi di kalangan beberapa individu manusia, kelompok, atau lembaga untuk kepentingan mengatur kegiatan dakwah, seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf nahi munkar, membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Maka ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada keharusan taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar kegiatan yang telah disepakati.
Bai’at (secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan mendengar secara mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin itu berbuat fasiq atau zhalim.
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati uli al-amr, yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat (al-hâkim), karena pengertian uli al-amr dalam bahasa Arab tidak ada lain, kecuali al-hâkim. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk semua uli al-amr, melainkan uli al-amr minkum, yaitu uli al-amr dari kalangan umat Islam. Tidak juga untuk uli al-amr yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang untuk menaati orang yang bermaksiat kepada Allah
B.  Syarat Sah Bai’at
Menaati kepala negara atau kepala daerah Muslim yang menjalankan hukum-hukum Allah adalah wajib; mengangkat mereka pun hukumnya wajib. Sebab, jika mereka tidak ada, kewajiban untuk menaati mereka pun tidak bisa dijalankan. Dengan begitu, hukum memilih atau mengangkat mereka pun menjadi wajib. Ini merupakan bagian dari dalâlah iltizâm ayat di atas. Namun, para ulama sepakat, bahwa kewajiban dalam konteks ini bukanlah kewajiban orang-perorang (fardhu ‘ain), melainkan kewajiban orang secara kolektif (fardhu kifâyah). Inilah yang dijelaskan dalam hadis baiat.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas, ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi beberapa persyaratan:
1.      Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
2.      Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
3.      Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.(lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6)
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
1.      Orang yang dibai’at harus memenuhi persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik dan bukan pula kafir.
2.      Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
3.      Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
4.      Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
Islam mempunyai metode baku untuk mengangkat kepala negara, yaitu baiat. Baiat adalah akad sukarela (‘aqd muradhah) antara rakyat dengan kepala negara untuk memerintah mereka berdasarkan hukum-hukum Allah.3 Karena itu, bisa dikatakan, bahwa baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan kepala negara di dalam Islam. Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah). Hukum baiat ini pun wajib. Namun, kewajiban ini tidak bisa dijalankan oleh orang-perorang, karena memang tabiatnya harus dilaksanakan oleh orang secara berkelompok dan mempunyai kemampun untuk menunaikannya.4 Karena itu, disebut fardhu kifayah.
Dengan demikian, hukum baiat in’iqâd dalam rangka mengangkat kepala negara adalah fardhu kifâyah.[1] Karena itu, istilah baiat ini hanya bisa digunakan untuk memilih dan mengangkat kepala negara. Adapun untuk kepala daerah, pemilihan dan pengangkatannya oleh Islam diserahkan kepada kepala negara. Semuanya terkait dengan mengangkat pemimpin untuk memimpin orang dalam melakukan ketaatan. Adapun mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat hukumnya jelas berbeda. Melakukan maksiat hukumnya haram. Karena itu, mengangkat pemimpin dalam konteks maksiat pun sama-sama diharamkan.
Pertama, baik-buruk dalam konteks kepemimpinan ini bisa dilihat dari dua aspek: person/orang dan sistem. Boleh jadi secara personal pemimpin yang terpilih tersebut memang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh syariah, yang berarti, pemimpin tersebut baik. Sebut saja, seluruh syarat yang ditetapkan (syurûth in’iqâd)[2] seperti laki-laki, Muslim, berakal, balig, adil (tidak fasik), merdeka dan mamputelah terpenuhi. Namun, dia tidak memerintah dengan menggunakan sistem yang baik, yaitu syariah Islam. Dalam konteks ini, pemimpin yang secara personal baik, namun memerintah tidak dengan menggunakan syariah, maka statusnya adalah salah satu di antara tiga: kafir, fasik dan zalim, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam surah al-Maidah: 44, 45 dan 47. Dengan demikian bisa disimpulkan, mengangkat pemimpin yang tidak memenuhi kriteria jelas tidak sah, sekaligus melanggar ketentuan syariah, dan karenanya tidak baik. Namun, mengangkat pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i pun, jika dia diangkat untuk menjalankan sistem sekular juga haram. Karena itu, kedua pilihan tersebut sama-sama tidak boleh, karena sama-sama melanggar hukum syariah.
Kedua, memang ada kaidah syariah:
«إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكاَبِ أَخَفِّهِمَا»
Jika ada dua keburukan, yang harus diperhatikan adalah mana di antara keduanya yang paling besar bahayanya, dengan mengerjakan yang paling ringan di antara keduanya
Ada juga kaidah sejenis yang lainnya. Dalam praktiknya, kaidah ini sering digunakan secara serampangan. Bahkan banyak yang menjadikan fakta (realitas) sebagai penentu yang menentukan pilihan mana yang harus dipilih. Sebagai contoh, ketika kita disuruh memilih, mana yang harus kita pilih: memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular atau tidak memilih? Jika kita memilih untuk tidak memilih maka bisa jadi yang akan terpilih adalah pemimpin yang tidak baik, sistemnya pun tidak berubah, alias tetap sekular. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” dengan sistem sekular tetap lebih baik ketimbang tidak memilih. Inilah logika akhaffu ad-dhararayn, yang sering mereka gunakan.
Padahal memilih pemimpin untuk menjalankan sistem sekular itu berarti mempertahankan keburukan dan hukumnya jelas haram. Ini bukanlah pilihan satu-satunya yang harus dipilih. Sebab, ada pilihan lain, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik, yang menerapkan sistem yang baik, yaitu syariah. Ini hukumnya wajib. Jadi, memilih pemimpin yang “baik” untuk menjalankan sistem sekular tetap tidak wajib, justru haram. Sebaliknya, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemimpin yang baik dengan menjalankan sistem yang baik, yaitu syariah, hukumnya wajib. Wallâhu a’lam.
C.  Bai’at Metode Pengangkatan Kepala Negara
Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah) Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara. Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Artinya:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
D.  Bai’at dan system putra mahkota  
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar.
Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.




[1] Dalam konteks kifayah ini, ulama’ ushul, seperti as-Syathibi memilah pelaku hukum menjadi dua: al-qadir (yang mempunyai kemampuan melaksanakan secara langsung) dan ghair al-qadir (yang tidak mempunyai kemampuan). Al-Farra’ dan Imam an-Nawawi menyebut kelompok al-qadir dalam konteks bai’at in’iqad ini dengan Ahl al-halli wa al-‘aqd, karena memang merekalah yang pemegang simpul-simpul umat. Al-Mawardi menyebut dengan istilah Ahl al-ikhtiyar, yaitu orang-orang yang bisa menentukan pilihan. Lihat, as-Syathibi, al-Muqafaqat, juz , hal. . al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 24. An-Nawawi, Nihayat al-Muhtaj il Syarh al-Minhaj, juz VII, hal. 390. Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15

[2] Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, Beirut, cet. I, 1426-1996, hal. 95. Dr. Mahmud al-Khalidi, al-Bai’ah fi al-Fikr as-Siyasi al-Islami, Maktabah ar-Risalah al-Islamiyyah, Yordania, cet. I, 1985, hal. 32.

0 comments: