Kebuntuan
terapeutik atau hambatan kemajuan hubungan perawat-pasien yang timbul karena
berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam berbagai bentuk yang berbeda, tetapi
semuanya menghambat hubungan terapeutik. Oleh karena itu, perawat diharuskan
mengatasinya.
Kebutuhan
ini menimbulkan perasaan tegang baik perawat maupun pasien yang berkisar dari
ansietas dan kekhawatiran sampai frustasi, cinta, atau sangat marah.
Bentuk-bentuk hambatan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut :
Bentuk-bentuk hambatan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut :
a) Resistens
Resistens merupakan upaya klien
untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas atau kegelisahan yang dialami.
Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal yang
dipelajari. Klien yang resisten biasanya menunjukkan ambivalensi antara menghargai
tetapi juga menghindari pengalaman yang menimbulkan cemas padahal hal ini
merupakan bagian normal dalam proses terapeutik. Resisten ini sering akibat
dari ketidaksesuaian klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah
dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien pada fase kerja,
karena pada fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaiaan masalah (Stuart dan Sundeen dalam Intan. 2005).
Beberapa bentuk resistensi :
1) Supresi
dan represi informasi yang terkait
2) ntensifikasi
gejala
3) Devaluasi
diri serta pandangan dan keputusasaan tentang masa depan
4) Dorongan
untuk sehat, yang terjadi secara tiba-tiba tetapi hanya kesembuhan yang
bersifat sementara
5) Hambatan
intelektual yang mungkin tampak ketika klien mengatakan ia tidak mempunyai
pikiran apapun atau tidak mampu memikirkan masalahnya, saat ia tidak memenuhi
janji untuk pertemuan atau tiba terlambat untuk suatu sesi, lupa, diam, atau
mengantuk
6) Pembicaraan
yang bersifat permukaan/ dangkal
7) Penghayatan
intelektual dimana klien memverbalisasi pemahaman dirinya dengan menggunakan
istilah yang tepat namun tetap berprilaku maladaptive, atau menggunakan
mekanisme pertahanan intelektualisasi tanpa diikuti penghayatan
8) Muak
terhadap normalitas yang terlihat ketika klien telah mempunyai penghayatan
tetap menolak memikul tanggung jawab untuk berubahdengan alas an bahwa
normalitas adalah hal yang tidak penting
9) Reaksi transference (respon
tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sakit terhadap perawat yang
pada dasarnya terkait dengan tokoh dengan kehidupan yang dulu)
10) Perilaku
amuk atau tidak rasional
b) Transference
Transference merupakan respon tak
sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap perawat yang sebetulnya berawal
dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada waktu
dia masih kecil (Stuart dan Sundeen , 1995). Reaksi transference membahayakan
untuk proses terapeutik hanya bila hal ini diabaikan dan tidak ditelaah oleh
perawat. Ada dua jenis utama reaksi transference yaitu reksi
bermusuhan dan tergantung.
Contoh
reaksi transference bermusuhan (Intan, 2005) : Bungkus (15 tahun) adalah klien yanag dirawat
dirumah sakit karena demam berdarah. Tanpa sebab yang jelas klien ini
marah-marah kepada perawat Gengki. Setelah dikaji, ternyata Gengki ini mirip
pacar si Bungkus yang pernah menyakiti hatinya. Hal ini dikarenakan klien
mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan
tokoh kehidupan yang lalu.
Contoh
reaksi transference tergantung ( Intan,
2005) :
Seorang klien, Sinchan (18 tahun), dirawat oleh perawat bidadari.
Perawat itu mempunyai wajah dan suara mirip Ibu klien, sehingga dalam setiap
tindakan keperawatan yang harus dilakukan selalu meminta perawat bidadari yang
melakukannya.
c) Coutertransference
Coutertrasference merupakan kebutuhan terapeutik
yang di buat oleh perawat dan bukan oleh klien. Hal ini dapat mempengaruhi
hubungan perawat-klien. Beberapa bentuk countransference (Stuart dan
Sundeen dalam Intan, 2005):
1) Ketidakmampuan
berempati terhadap klien dalam masalah tertentu.
2) Menekan
perasaan selama atau sesudah sesi.
3) Kecerobohan
dalam mengimplementasikan kontrak dengan datang terlambat, atau melampaui waktu
yang telah ditentukan.
4) Mengantuk
selama sesi.
5) Perasaan
marah atau tidak sabar karena ketidak inginan klien untuk berubah.
6) Dorongan
terhadap ketergantungan, pujian atau efeksi klien.
7) Berdebat
dengan klien atau kecendrungan untuk memaksa klien sebelum ia siap.
8) Mencoba
untuk menolong klien dalam segala hal tidak berhubungan dengan tujuan
keperawatan yang telah diidentifikasi.
9) Keterlibatan
dengan klien dalam tingkat personal dan sosial.
10) Melamunkan atau memikirkan klien.
11) Fantasi seksual atau agresi yang diarahkan
kepada klien.
12) Perasaan cemas, gelisah atau persaan
bersalah terhadap kien
13) Kecendrungan untuk memusatkan secara berulang
hanya pada satu aspek atau cara memandang pada informasi yang di berikan
klien.
14) Kebutuhan untuk mempertahankan intervensi
keperawatan dengan klien.
Reaksi coutrtrasference biasanya
dalam tiga bentuk ( Stuart dan
Sundeen dalam Intan, 2005):
Ø Reaksi
sangat mencintai atau “caring”.
Perawat
Dono melakukan perawatan pada klien dini dengan cara yang berlebih-lebihan
yaitu dengan cara ,masih berlama-lama mengobrol dengan klien tersebut padahal
masih banyak klien yang perlu di tangani.perawat Dono juga mencoba menolong
klien dengan segala hal yang tidak berhubungan dengan tujuan yang telah
diidentifikasi.
Ø Reaksi
sangat bermusuhan.
Perawat
Dora mempunyai klien yang sangat Menjenkelkan. Derry (25 tahun) Derry ini
selalu marah-marah dan menjengkelkan perawat Dora sangat dendam pada klien ini
dan selalu mengacuhkan Derry meskipun dia membutuhkan pertolongan
Ø Reaksi
sangat cemas sering kali di gunakan sebagai respon terhadap resistensi
Terdapat Lima cara mengidentifikasikan
terjadi countertransference (Stuart G.W
dalam Suryani , 2006):
1) Perawat
harus mempunyai standar yang sama terhadap dirinya sendiri atas apa yang di
harapkan kepada kliennya.
2) Perawat
harus menguji diri sendiri melalui latihan menjalin hubungan, terutama ketika
klien menentang atau mengeritik.
3) Perawat
harus dapat menemukan sumber masalahnya.
4) Ketika countertrasference terjadi,
perawat harus dapat melatih diri untuk mengontrolnya.
5) Jika
perawat membutuhkan pertolongan dalam mengatasi countertransference, pengawasan
secara individu maupun kelompok dapat lebih membantu.
d) Pelanggaran batas.
Perawat
perlu membatasi hubungannya dengan klien. Batas hubungan perawat-klien adalah
bahwa hubungan yang di bina adalah hubungan terapeutik,dalam hubungan ini
perawat berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai yang di tolong.
Baik perawat maupun klien harus menyadari batas tersebut (Suryani, 2006).
Pelanggaran batas terjadi jika perawat melampaui batas hubungan yang terapeutik
dan membina hubungan sosial, ekonomi, atau personal dengan klien. Ada beberapa batas hubungan
perawat dank lien (stuart dan
sundeen, dalam Intan, 2005)
1) Batas
peran, masalah batas peran ini memerlukan wawasan dan pengetahuan yang luas
dari perawat serta penentuan secara tegas mengenai batas-batas terapeutik
perawat dan klien.
2) Batas
waktu, penetapan waktu perlu dilakukan dimana perawat mengadakan hubungan
terapeutiknya dengan klien. Waktu pengobatan atau hubungan terapeutik yang
tidak wajar dan tidak mempunyai tujuan terapeutik harus dievaluasi kembali
untuk mencegah terjadinya pelanggaran batas.
3) Batas
tempat dan ruang, misalnya wawancara dimana? Kapan dan berapa lama?. Batas ini
biasanya berhubungan dengan perawatan yang dilakukan. Pemanfaatan terapeutik
diluar kebiasaan misalnya dimobil atau dirumah klien, harus dengan tindakan
terapeutik yang rasional dan mempunyai tujuan yang jelas. Perawat tidak di
perbolehkan t dalam melakukan tindakan dikamar klien kadang perlu menghormati
batas-batas tertentu misanya pintu terbuka atau ada pegawai yang lain.
4) Batas
uang, batas ini berhubungan dengan penghargaan klien dengan perawat berupa
uang. Disini juga perlu adanya perhatian mengenai tawar-menawar terhadap klien
miskin tentang biaya pengobatan untuk mencegah timbulnya pelanggaran batas.
5) Batas
pemberian hadiah dan pelayanan. Masalah ini controversial dalam keperawatan,
namun yang pasti hal ini melanggar batas.
6) Batas
pakaian. Batas ini berhubungan dengan kebutuhan perawat dalam berpakaian secara
tepat dalam hubungan terapeutik perawat dank lien. Dimana perawat tidak
diperbolehkan memakai pakaian yang tidak sopan.
7) Batas
bahasa. Perawat perlu memperhatikan nada bicara dan pilihan kata ketika
komunikasi dengan klien. Tidak terlalu akrab, mengarah sikap seksul dan
memberikan pendapat dengan nada menggurui merupakan pelanggaran batas.
8) Batas
pengungkapan diri secara personal. Mengungkapkan diri secara personal
dari perawat yang tidak berhubungan dengan tujuan terapeutik dapat mengarah
kepada pelanggaran batas.
9) Batas
kontak fisik, Semua kontak fisik dengan klien harus dievaluasi untuk melihat
apakah melanggar batas atau tidak. Beberapa jenis kontak fisik/ seksual
terhadap kien yang tidak pernah tercangkup dalam hubungan terpeutik antara
perawat dengan klien.
Untuk mencegah terjadinya
pelanggaran batas dalam berhubungan dengan klien, perawat sejak awal interkasi
perlu menjelaskan atau membuat kesepakatan bersama klien tentang hubungan yang
mereka jalin. Kemudian selama berinteraksi perawat harus berhati-hatidalam
berbicara agar tidak banyak terlibat dalam komunikasi sosial. Dengan selalu
berfokus pada tujuan interaksi, perawat bisa terhindar daripelanggaran terhadap
batas-batas dalam berhubungan dengan klien.selalu mengingatkan kontrak dan
tujuan interaksi setiap kali bertemu dengan klien juga dapat menghindari
pelanggaran batas ini.(Suryani 2006).
Contoh
pelagggaran batas yaitu (Intan 2005):
Ø Klien
mengajak makan perawat siang atau maka malam di luar.
Ø Klien
memperkenalkan perawat pada keluarganya.
Ø Perawat
menerima pemberian hadiah dari bisnis klien.
Ø Perawat
menghadiri acara-acara sosial pasien.
Ø Klien
memberi perawat hadiah.
Ø Perawat
secara rutin memeluk dan memegang klien.
Ø Perawat
menjalankan bisnis atau memesan pelayanan dari klien.
Ø Perawat
secara teratur memberi informasi personal kepada klien.
Ø Hubungan
professional berubah menjadi hubungan sosial.
Ø Perawat
menghadiri undangan klien.
Pemberian hadiah merupakan masalah yang kontroversial dalam
keperawatan. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa pemberian hadiah dapat
membantu dalam mencapai tujuan terapeutik, tapi dipihak lain ada yang
menyatakan bahwa pemberian hadiah bisa merusak hubungan terapeutik.
Hadiah dapat dalam berbagai bentuk misalnya yang nyata seperti
sekotak permen, rangkaian bunga, rajutan atau lukisan. Sedangkan yang tidak
nyata bisa berupa ekspresi ucapan terima kasih dari klien kepada perawat
sebagai orang yang akan meninggalkan rumah sakit atau dari anggota keluarga
yang lega dan berterima kasih atas bantuan perawat dalam meringankan beban
emosional klien.
Mengatasi kebuntuan Terapeutik
Untuk
mengatasi hambatan teurapeutik, perawat harus siap mengungkapkan perasaan
emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat -pasien. Awalnya ,
perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan teurapeutik dan mengenali
prilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Kemudian perawat dapat
mengklarifikasi dan mengungkapkan perasaan serta isi agar lebih berfokus secara
objektif pada apa yang sedang terjadi.
Latar
belakang prilaku dikaji, baik pasien (untuk reaksi resistens dan transferensa)
atau perawat (untuk reaksi kontertransferens dan pelanggaran batasan)
bertanggung jawab terhadap hambatan teurapeutik dan dampak negatifnya pada
proses teurapeutik. Terakhir, tujuan hubungan, kebutuhan, dan masalah pasien
ditinjau kembali. Hal ini dapat membantu perawat untuk membina kembali kerja
sama teurapeutik yang sesuai dengan proses hubungan perawat-pasien.
0 comments:
Post a Comment