Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Wednesday 16 November 2016

KEBUNTUAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Kebuntuan terapeutik atau hambatan kemajuan hubungan perawat-pasien yang timbul karena berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam berbagai bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat hubungan terapeutik. Oleh karena itu, perawat diharuskan mengatasinya.
Kebutuhan ini menimbulkan perasaan tegang baik perawat maupun pasien yang berkisar dari ansietas dan kekhawatiran sampai frustasi, cinta, atau sangat marah.
Bentuk-bentuk hambatan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut :
a)      Resistens
Resistens merupakan upaya klien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal yang dipelajari. Klien yang resisten biasanya menunjukkan ambivalensi antara menghargai tetapi juga menghindari pengalaman yang menimbulkan cemas padahal hal ini merupakan bagian normal dalam proses terapeutik. Resisten ini sering akibat dari ketidaksesuaian klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien pada fase kerja, karena pada fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaiaan masalah (Stuart dan Sundeen dalam Intan. 2005).
Beberapa bentuk resistensi :
1)      Supresi dan represi informasi yang terkait
2)      ntensifikasi gejala
3)      Devaluasi diri serta pandangan dan keputusasaan tentang masa depan
4)      Dorongan untuk sehat, yang terjadi secara tiba-tiba tetapi hanya kesembuhan yang bersifat sementara
5)      Hambatan intelektual yang mungkin tampak ketika klien mengatakan ia tidak mempunyai pikiran apapun atau tidak mampu memikirkan masalahnya, saat ia tidak memenuhi janji untuk pertemuan atau tiba terlambat untuk suatu sesi, lupa, diam, atau mengantuk
6)      Pembicaraan yang bersifat permukaan/ dangkal
7)      Penghayatan intelektual dimana klien memverbalisasi pemahaman dirinya dengan menggunakan istilah yang tepat namun tetap berprilaku maladaptive, atau menggunakan mekanisme pertahanan intelektualisasi tanpa diikuti penghayatan
8)      Muak terhadap normalitas yang terlihat ketika klien telah mempunyai penghayatan tetap menolak memikul tanggung jawab untuk berubahdengan alas an bahwa normalitas adalah hal yang tidak penting
9)      Reaksi transference (respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sakit terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dengan kehidupan yang dulu)
10)  Perilaku amuk atau tidak rasional

b)      Transference
Transference merupakan respon tak sadar berupa perasaan atau perilaku terhadap perawat yang sebetulnya berawal dari berhubungan dengan orang-orang tertentu yang bermakna baginya pada waktu dia masih kecil (Stuart dan Sundeen , 1995). Reaksi transference membahayakan untuk proses terapeutik hanya bila hal ini diabaikan dan tidak ditelaah oleh perawat. Ada dua jenis utama reaksi transference yaitu reksi bermusuhan dan tergantung.
Contoh reaksi transference bermusuhan (Intan, 2005) : Bungkus (15 tahun) adalah klien yanag dirawat dirumah sakit karena demam berdarah. Tanpa sebab yang jelas klien ini marah-marah kepada perawat Gengki. Setelah dikaji, ternyata Gengki ini mirip pacar si Bungkus yang pernah menyakiti hatinya. Hal ini dikarenakan klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh kehidupan yang lalu.
Contoh reaksi transference tergantung ( Intan, 2005) : Seorang klien, Sinchan (18 tahun), dirawat oleh perawat bidadari. Perawat itu mempunyai wajah dan suara mirip Ibu klien, sehingga dalam setiap tindakan keperawatan yang harus dilakukan selalu meminta perawat bidadari yang melakukannya.

c)      Coutertransference
Coutertrasference merupakan kebutuhan terapeutik yang di buat oleh perawat dan bukan oleh klien. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan perawat-klien. Beberapa bentuk countransference (Stuart dan 
Sundeen dalam Intan, 2005):
1)      Ketidakmampuan berempati terhadap klien dalam masalah tertentu.
2)      Menekan perasaan selama  atau sesudah sesi.
3)      Kecerobohan dalam mengimplementasikan kontrak dengan datang terlambat, atau melampaui waktu yang telah ditentukan.
4)      Mengantuk selama sesi.
5)      Perasaan marah atau tidak sabar karena ketidak inginan klien untuk  berubah.
6)      Dorongan terhadap ketergantungan, pujian atau efeksi klien.
7)      Berdebat dengan klien atau kecendrungan untuk memaksa klien sebelum ia siap.
8)      Mencoba untuk menolong klien dalam segala hal tidak berhubungan dengan tujuan keperawatan yang telah diidentifikasi.
9)      Keterlibatan dengan klien dalam tingkat personal dan sosial.
10)   Melamunkan atau memikirkan  klien.
11)   Fantasi seksual atau agresi yang diarahkan kepada klien.
12)   Perasaan cemas, gelisah atau  persaan bersalah terhadap kien
13)   Kecendrungan untuk memusatkan secara berulang hanya pada satu aspek atau cara memandang pada informasi yang  di berikan klien.
14)   Kebutuhan untuk mempertahankan intervensi keperawatan dengan klien.
Reaksi coutrtrasference biasanya dalam tiga bentuk (  Stuart dan Sundeen dalam Intan, 2005):
Ø  Reaksi sangat mencintai atau “caring”.
Perawat Dono melakukan perawatan pada klien dini dengan cara yang berlebih-lebihan yaitu dengan cara ,masih berlama-lama mengobrol dengan klien tersebut padahal masih banyak klien yang perlu di tangani.perawat Dono juga mencoba menolong klien dengan segala hal yang tidak berhubungan dengan tujuan yang telah diidentifikasi.

Ø  Reaksi sangat bermusuhan.
Perawat Dora mempunyai klien yang sangat Menjenkelkan. Derry (25 tahun) Derry ini selalu marah-marah dan menjengkelkan perawat Dora sangat dendam pada klien ini dan selalu mengacuhkan Derry meskipun dia membutuhkan pertolongan
Ø  Reaksi sangat cemas sering kali di gunakan sebagai respon terhadap resistensi
Terdapat Lima cara mengidentifikasikan terjadi countertransference (Stuart G.W dalam Suryani , 2006):
1)      Perawat harus mempunyai standar yang sama terhadap dirinya sendiri atas apa yang di harapkan kepada kliennya.
2)      Perawat harus menguji diri sendiri melalui latihan menjalin hubungan, terutama ketika klien menentang atau mengeritik.
3)      Perawat harus dapat menemukan sumber masalahnya.
4)      Ketika countertrasference terjadi, perawat harus dapat melatih diri untuk mengontrolnya.
5)      Jika perawat membutuhkan pertolongan dalam mengatasi countertransference, pengawasan secara individu maupun kelompok dapat lebih membantu.
d)     Pelanggaran batas.
Perawat perlu membatasi hubungannya dengan klien. Batas hubungan perawat-klien adalah bahwa hubungan yang di bina adalah hubungan terapeutik,dalam hubungan ini perawat berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai yang di tolong. Baik perawat maupun klien harus menyadari batas tersebut (Suryani, 2006).
            Pelanggaran batas terjadi jika perawat melampaui batas hubungan yang terapeutik dan membina hubungan sosial, ekonomi, atau personal dengan klien. Ada beberapa batas hubungan perawat dank lien (stuart dan sundeen, dalam Intan, 2005)
1)      Batas peran, masalah batas peran ini memerlukan wawasan dan pengetahuan yang luas dari perawat serta penentuan secara tegas mengenai batas-batas terapeutik perawat dan klien.
2)      Batas waktu, penetapan waktu perlu dilakukan dimana perawat mengadakan hubungan terapeutiknya dengan klien. Waktu pengobatan atau hubungan terapeutik yang tidak wajar dan tidak mempunyai tujuan terapeutik harus dievaluasi kembali untuk mencegah terjadinya pelanggaran batas.
3)      Batas tempat dan ruang, misalnya wawancara dimana? Kapan dan berapa lama?. Batas ini biasanya berhubungan dengan perawatan yang dilakukan. Pemanfaatan terapeutik diluar kebiasaan misalnya dimobil atau dirumah klien, harus dengan tindakan terapeutik yang rasional dan mempunyai tujuan yang jelas. Perawat tidak di perbolehkan t dalam melakukan tindakan dikamar klien kadang perlu menghormati batas-batas tertentu misanya pintu terbuka atau ada pegawai yang lain.
4)      Batas uang, batas ini berhubungan dengan penghargaan klien dengan perawat berupa uang. Disini juga perlu adanya perhatian mengenai tawar-menawar terhadap klien miskin tentang biaya pengobatan untuk mencegah timbulnya pelanggaran batas.
5)      Batas pemberian hadiah dan pelayanan. Masalah ini controversial dalam keperawatan, namun yang pasti hal ini melanggar batas.
6)      Batas pakaian. Batas ini berhubungan dengan kebutuhan perawat dalam berpakaian secara tepat dalam hubungan terapeutik perawat dank lien. Dimana perawat tidak diperbolehkan memakai pakaian yang tidak sopan.
7)      Batas bahasa. Perawat perlu memperhatikan nada bicara dan pilihan kata ketika komunikasi dengan klien. Tidak terlalu akrab, mengarah sikap seksul dan memberikan pendapat dengan nada menggurui merupakan pelanggaran batas.
8)      Batas pengungkapan diri secara personal. Mengungkapkan  diri secara personal dari perawat yang tidak berhubungan dengan tujuan terapeutik dapat mengarah kepada pelanggaran batas.
9)      Batas kontak fisik, Semua kontak fisik dengan klien harus dievaluasi untuk melihat apakah melanggar batas atau tidak. Beberapa jenis kontak fisik/ seksual terhadap kien yang tidak pernah tercangkup dalam hubungan terpeutik antara perawat dengan klien.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran batas dalam berhubungan dengan klien, perawat sejak awal interkasi perlu menjelaskan atau membuat kesepakatan bersama klien tentang hubungan yang mereka jalin. Kemudian selama berinteraksi perawat harus berhati-hatidalam berbicara agar tidak banyak terlibat dalam komunikasi sosial. Dengan selalu berfokus pada tujuan interaksi, perawat bisa terhindar daripelanggaran terhadap batas-batas dalam berhubungan dengan klien.selalu mengingatkan kontrak dan tujuan interaksi setiap kali bertemu dengan klien juga dapat menghindari pelanggaran batas ini.(Suryani 2006).
Contoh pelagggaran batas yaitu (Intan 2005):
Ø  Klien mengajak makan perawat siang atau maka malam  di luar.
Ø   Klien memperkenalkan perawat pada keluarganya.
Ø  Perawat menerima pemberian hadiah dari bisnis klien.
Ø  Perawat menghadiri  acara-acara  sosial pasien.
Ø  Klien memberi perawat hadiah.
Ø   Perawat secara rutin memeluk dan memegang klien.
Ø  Perawat menjalankan bisnis atau memesan pelayanan dari klien.
Ø  Perawat secara teratur memberi informasi personal kepada klien.
Ø  Hubungan professional berubah menjadi hubungan sosial.
Ø   Perawat menghadiri undangan klien.
Pemberian hadiah merupakan masalah yang kontroversial dalam keperawatan. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa pemberian hadiah dapat membantu dalam mencapai tujuan terapeutik, tapi dipihak lain ada yang menyatakan bahwa pemberian hadiah bisa merusak hubungan terapeutik.
Hadiah dapat dalam berbagai bentuk misalnya yang nyata seperti sekotak permen, rangkaian bunga, rajutan atau lukisan. Sedangkan yang tidak nyata bisa berupa ekspresi ucapan terima kasih dari klien kepada perawat sebagai orang yang akan meninggalkan rumah sakit atau dari anggota keluarga yang lega dan berterima kasih atas bantuan perawat dalam meringankan beban emosional klien.

Mengatasi kebuntuan Terapeutik
Untuk mengatasi hambatan teurapeutik, perawat harus siap mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat -pasien. Awalnya , perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan teurapeutik dan mengenali prilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Kemudian perawat dapat mengklarifikasi dan mengungkapkan perasaan serta isi agar lebih berfokus secara objektif pada apa yang sedang terjadi.
Latar belakang prilaku dikaji, baik pasien (untuk reaksi resistens dan transferensa) atau perawat (untuk reaksi kontertransferens dan pelanggaran batasan) bertanggung jawab terhadap hambatan teurapeutik dan dampak negatifnya pada proses teurapeutik. Terakhir, tujuan hubungan, kebutuhan, dan masalah pasien ditinjau kembali. Hal ini dapat membantu perawat untuk membina kembali kerja sama teurapeutik yang sesuai dengan proses hubungan perawat-pasien.


0 comments: