Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Monday, 21 November 2016

Solusi Membangun Perdamaian Konflik Antar Agama


a.    Mencari Titik Temu Antar Agama
Manusia diciptakan secara berbeda-beda. Tidak mungkin kita menyembah Tuhan dengan cara yang sama, pasti berbeda pula. Bukan tanpa sebab Tuhan menciptakan kita berbeda, dalam Al-Quran dikatakan:
öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  

Artinya:Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir’atan wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu al-khayrat). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya (ila Allahi marji’ukum jami’a). Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al Maidah: 48).
Ini menandakan bahwa keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Menguji agar seberapa banyak kita bisa berkontribusi untuk kebaikan umat manusia dan kemanusiaan (al-khayrat). 
     Menurut John Hick, 93 % umat beragama itu menganut agama secara kebetulan, karena setiap orang pada dasarnya tidak bisa memilih. Sudah saatnya, dalam hubungan beragama jangan kita cari perbedaan, tetapi cari persamaan. Mungkin cara kita menuju Tuhan saja yang berbeda-beda. Pada dasarnya setiap agama mempunyai dimensi spiritual yang sama: berserah diri kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam prosesnya agama-agama akan menuju kepada satu titik pertemuan (common platform) atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan kalimah sawa. Terlepas dari faham eksklusivisme terhadap Islam (akidah), Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak, sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran:
tA$s%ur ¢ÓÍ_t6»tƒ Ÿw (#qè=äzôs? .`ÏB 5>$t/ 7Ïnºur (#qè=äz÷Š$#ur ô`ÏB 5>ºuqö/r& 7ps%ÌhxÿtGB ( !$tBur ÓÍ_øîé& Nä3Ztã šÆÏiB «!$# `ÏB >äóÓx« ( ÈbÎ) ãNõ3çtø:$# žwÎ) ¬! ( Ïmøn=tã àMù=©.uqs? ( Ïmøn=tæur È@©.uqtGuŠù=sù tbqè=Åe2uqtFßJø9$# ÇÏÐÈ  
Artinya:  Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri" (QS Yusuf Ayat 67).

Senada dengan Al-Quran, dalam kitab Bhagawadgita juga disebutkan: “Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalanKu”. Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.
  Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan pada tataran konsep, sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu kebenaran. Karena semua agama mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan keburukan. Dengan agama apa pun kita bisa menjadi lebih baik, lebih adil, lebih bijaksana, lebih mencintai sesama, lebih manusiawi, lebih beretika, lebih bertanggung jawab. Dengan agama apa pun, kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan.

b.   Membangun Tradisi Dialog
Dialog agama bukanlah debat, melainkan proses komunikasi antar pemeluk agama dalam rangka memahami ajaran, pemahaman, dan pemikiran dalam setiap agama. Esensi dari dialog agama adalah ta’aruf (saling memahami). Tetapi, menurut Ahmad Wahib, bahwa tujuan dialog agama bukan sekedar saling memahami dan mencari titik pertemuan (kalimah sawa). Menariknya, masih menurut Ahmad Wahib, tujuan dialog agama adalah untuk pembaharuan, perubahan, transformasi, baik individu maupun sosial, ke arah yang lebih ideal.
Pada dasarnya, dialog antar agama tidak akan tercapai apabila pemahaman keagamaan kita masih fanatik, keras, terutup, konservatif, dan esklusif. Pemahaman yang seperti ini akan menggiring kita kepada klaim kebenaran (truth claim) masing-masing penganut agama. Akibatnya, pandangan seperti akan menutup upaya dialog dan mencari titik temu agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Maka dari itu, modal utama dari dialog antar agama adalah berpikiran terbuka, inklusif, toleran, dan pluralis. Pandangan seperti ini akan membawa kita kepada sebuah kesadaran akan relativitas agama-agama, dimana tidak menutup kemungkinan bahwa kebenaran dan keselamatan ada di setiap agama. Kalau modal itu sudah kita punya, proses dialog agama pasti akan berjalan dengan baik.
Berangkat dari perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial, dialog agama sangat penting sebagai salah satu solusi atas berbagai konflik beragama. Dialog agama merupakan sebuah mekanisme yang harus dibangun, dikembangkan, dijaga, dirawat secara terus menerus oleh para penganut agama. Sudah barang tentu, dialog saja tidak cukup. Dibutuhkan aksi nyata oleh para penganut agama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Misalkan dengan cara melakukan kerjasama dalam mengurangi kemiskinan, membantu korban bencana alam, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Leonard Swidler, dalam jurnalnya The Dialogue Decalogue yang menerangkan tentang 10 desain format dialog agama, pertama sedia belajar, kedua harus dua arah (dua pihak pemeluk agama), ketiga masing-masing pemeluk agama harus bersikap jujur dan ikhlas, keempat perbandingan yang adil, maksudnya tidak boleh membandingkan antara konsep dan praktek, hendaknya membandingkan konsep dengan konsep atau praktek dengan praktek, kelima harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksistensinya sendiri (identitas yang otentik), keenam masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus menghilangkan prasangka satu dengan yang lainnya,ketujuh dialog agama hanya bisa dilakukan dengan posisi yang seimbang (kesetaraan), kedelapan saling percaya satu sama lain, kesembilan kritis pada tradisi sendiri, jadi masing-masing pihak dalam dialog agama harus sadar bahwa diri dan keberagamannya masih perlu penyempurnaan, kesepuluh mengalami dari dalam (passing over). pernyataan terakhir ini yang menurut penulis paling menarik karena masing-masing pihak dalam dialog agama harus mencoba memposisikan diri sebagai penganut agama atau kepercayaan lain, dalam istilah lain melakukan “magang.”




0 comments: