a. Mencari Titik Temu Antar
Agama
Manusia diciptakan secara berbeda-beda. Tidak mungkin kita menyembah
Tuhan dengan cara yang sama, pasti berbeda pula. Bukan tanpa sebab Tuhan
menciptakan kita berbeda, dalam Al-Quran dikatakan:
öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
Artinya: “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir’atan
wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu al-khayrat). Hanya
kepada Allah kembali kamu semuanya (ila Allahi marji’ukum jami’a). Lalu
diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al
Maidah: 48).
Ini menandakan bahwa keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita
semua. Menguji agar seberapa banyak kita bisa berkontribusi untuk kebaikan umat
manusia dan kemanusiaan (al-khayrat).
Menurut John Hick, 93 % umat beragama itu
menganut agama secara kebetulan, karena setiap orang pada dasarnya tidak bisa
memilih. Sudah saatnya, dalam hubungan beragama jangan kita cari perbedaan,
tetapi cari persamaan. Mungkin cara kita menuju Tuhan saja yang berbeda-beda.
Pada dasarnya setiap agama mempunyai dimensi spiritual yang sama: berserah diri
kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam prosesnya agama-agama akan menuju
kepada satu titik pertemuan (common platform) atau dalam istilah
Al-Quran disebut dengan kalimah sawa. Terlepas dari faham eksklusivisme terhadap Islam (akidah), Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak,
sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran:
tA$s%ur ¢ÓÍ_t6»t w (#qè=äzôs? .`ÏB 5>$t/ 7Ïnºur (#qè=äz÷$#ur ô`ÏB 5>ºuqö/r& 7ps%ÌhxÿtGB ( !$tBur ÓÍ_øîé& Nä3Ztã ÆÏiB «!$# `ÏB >äóÓx« ( ÈbÎ) ãNõ3çtø:$# wÎ) ¬! ( Ïmøn=tã àMù=©.uqs? ( Ïmøn=tæur È@©.uqtGuù=sù tbqè=Åe2uqtFßJø9$# ÇÏÐÈ
Artinya: Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku
janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari
pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat
melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan
(sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah
kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri" (QS Yusuf
Ayat 67).
Senada dengan Al-Quran, dalam kitab Bhagawadgita
juga disebutkan: “Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui
jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang
ditempuh mereka adalah jalanKu”. Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan
menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi
semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.
Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku merenung amat panjang
agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana
Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti
cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara
sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan pada tataran konsep, sesungguhnya
agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang
lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu
kebenaran. Karena semua agama mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan
keburukan. Dengan agama apa pun kita bisa menjadi lebih baik, lebih adil, lebih
bijaksana, lebih mencintai sesama, lebih manusiawi, lebih beretika, lebih
bertanggung jawab. Dengan agama apa pun, kita bisa mendekatkan diri dengan
Tuhan.
b. Membangun Tradisi Dialog
Dialog agama bukanlah debat, melainkan proses komunikasi antar pemeluk
agama dalam rangka memahami ajaran, pemahaman, dan pemikiran dalam setiap
agama. Esensi dari dialog agama adalah ta’aruf (saling memahami).
Tetapi, menurut Ahmad Wahib, bahwa tujuan dialog agama bukan sekedar saling memahami dan mencari titik
pertemuan (kalimah sawa). Menariknya, masih menurut Ahmad Wahib, tujuan
dialog agama adalah untuk pembaharuan, perubahan, transformasi, baik individu
maupun sosial, ke arah yang lebih ideal.
Pada dasarnya, dialog antar agama tidak akan tercapai apabila pemahaman
keagamaan kita masih fanatik, keras, terutup, konservatif, dan esklusif. Pemahaman yang
seperti ini akan menggiring kita kepada klaim kebenaran (truth claim)
masing-masing penganut agama. Akibatnya, pandangan seperti akan menutup upaya
dialog dan mencari titik temu agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
sosial. Maka dari itu, modal utama dari dialog antar agama adalah berpikiran
terbuka, inklusif, toleran, dan pluralis. Pandangan seperti ini akan membawa
kita kepada sebuah kesadaran akan relativitas agama-agama, dimana tidak menutup
kemungkinan bahwa kebenaran dan keselamatan ada di setiap agama. Kalau modal
itu sudah kita punya, proses dialog agama pasti akan berjalan dengan baik.
Berangkat dari perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial, dialog agama
sangat penting sebagai salah satu solusi atas berbagai konflik beragama. Dialog
agama merupakan sebuah mekanisme yang harus dibangun, dikembangkan, dijaga,
dirawat secara terus menerus oleh para penganut agama. Sudah barang tentu,
dialog saja tidak cukup. Dibutuhkan aksi nyata oleh para penganut agama demi
terciptanya kerukunan antar umat beragama. Misalkan dengan cara melakukan
kerjasama dalam mengurangi kemiskinan, membantu korban bencana alam, dan
menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Leonard Swidler, dalam jurnalnya The Dialogue Decalogue yang
menerangkan tentang 10 desain format dialog agama, pertama sedia belajar, kedua
harus dua arah (dua pihak pemeluk agama), ketiga masing-masing pemeluk
agama harus bersikap jujur dan ikhlas, keempat perbandingan yang adil,
maksudnya tidak boleh membandingkan antara konsep dan praktek, hendaknya
membandingkan konsep dengan konsep atau praktek dengan praktek, kelima
harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksistensinya sendiri (identitas yang
otentik), keenam masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus
menghilangkan prasangka satu dengan yang lainnya,ketujuh dialog agama
hanya bisa dilakukan dengan posisi yang seimbang (kesetaraan), kedelapan
saling percaya satu sama lain, kesembilan kritis pada tradisi sendiri,
jadi masing-masing pihak dalam dialog agama harus sadar bahwa diri dan
keberagamannya masih perlu penyempurnaan, kesepuluh mengalami dari dalam
(passing over). pernyataan terakhir ini
yang menurut penulis paling menarik karena masing-masing pihak dalam dialog
agama harus mencoba
memposisikan diri sebagai penganut agama atau
kepercayaan lain, dalam istilah lain melakukan “magang.”
0 comments:
Post a Comment