Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Monday 21 November 2016

Baha’i Faith Agama Minoritas di Indonesia


   A.    Sejarah Agama Baha’i
   1.      Sang Báb
Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga memaklumkan dirinya sebagai orang pertama dari jajaran paraa nabi baru setelah Muhammad.[1] Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah.
Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel di Palestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í.
2.      Bahá’u’lláh
Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb.
Bahá’u’lláh dibebaskan dari Síyáh-Chál, tetapi dia diasingkan dari Iran ke Baghdad, ‘Iráq. Pada awalnya, Bahá’u’lláh tidak mengumumkan misinya kepada para penganut agama Báb lainnya di ‘Iráq, yang berada dalam keadaan sangat kacau dan hina. Dia mulai mendidik dan menghidupkan kembali umat itu melalui tulisannya dan teladannya, dan beberapa Kitab suci Bahá’í yang penting berasal dari masa Baghdad ini, seperti Kalimat Tersembunyi, Tujuh Lembah, dan Kitáb-i-Íqán (“Kitab Keyakinan”). Pada tahun 1863, di sebuah taman yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini dikenal sebagai agama Bahá’í.
Kepercayaaan Baha’i diklaim mengikuti wahyu-wahyu Tuhan yang diterima dan disampaikan oleh para pendiri agama-agama besar terdahulu. Wahyu dikatakan berkelanjutan dengan progresif, tidak absolut tetapi relatif. [2] Penganut baha’i datang belakangan, menciptakan sesuatu yang baru dan palsu yang mendudukan mereka sebagai orang kafir, mengingkari iman sejati, dan menimbulkan kemarahan pemerintah mereka.[3] Baha’i faith juga bisa dikategorikan sebagai agama sinkretik[4] mengingat karakter keagamaannya yang merupakan perpaduan dari unsur-unsur Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Yahudi. [5]
Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya, Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang pesakitan. Kitab suci yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.
3.      Baha’i di Indonesia
Menurut Iskandar Zulkarnain, penyebaran agama Baha’i di Indonesia dilakukan oleh pedagang dari Persia dan Turki bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi di Sulawesi sekitar tahun 1878. Dari Sulawesi, ajaran ini menyebar ke tempat lain. Lukman menyajikan data pemeluk agama Baha’i di Indonesia, yang tersebar di Banyuwangi (220 orang), Jakarta (100 orang), Medan (100 orang), Surabaya (98 orang), Palopo (80 orang), Bandung (50 orang), Malang (30 orang).
Sejalan perkembangannya, paham baha’i mendapat hambatan pahit. Bahkan pada 15 Agustus 1962, presiden Soekarno mengeluarkan keputusan melarang ajaran baha’i. keputusan itu dikeluarkan karena paham baha’i dinilai tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat resolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.[6]





[1] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 178
[2] Geoffrey Parrinder, Teologi Seksual, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005). h. 421
[3] Tom Clancy, Executive Orders, Penerjemah: Three Sulilastuti, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002).h. 443
[4] Sinkeretisme dipahami sebagai percampuradukan berbagai elemen keagamaan dan kebudayaaan yang berlainan.
[5] Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, (Jakarta: ICRP,2009). h. 184
[6] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2006).h. 299

0 comments: