A.
Sejarah Agama Baha’i
1.
Sang Báb
Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal
dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab),
mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga
memaklumkan dirinya sebagai orang pertama dari jajaran paraa nabi baru setelah
Muhammad.[1]
Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih
besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb
mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci
harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah.
Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua
kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun
para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di
pegunungan Azerbijan, di mana semua
penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu
tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah
terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih
terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada
tahun 1850
Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil
oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel
di Palestina
(sekarang Israel)
dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini
menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í.
2.
Bahá’u’lláh
Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000
penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá
Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya
“Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi
pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di
penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia
menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan”
sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb.
Bahá’u’lláh dibebaskan dari Síyáh-Chál, tetapi dia diasingkan dari Iran ke Baghdad,
‘Iráq. Pada awalnya, Bahá’u’lláh tidak mengumumkan misinya kepada para
penganut agama Báb lainnya di ‘Iráq, yang berada dalam keadaan sangat
kacau dan hina. Dia mulai mendidik dan menghidupkan kembali umat itu melalui
tulisannya dan teladannya, dan beberapa Kitab suci Bahá’í yang penting
berasal dari masa Baghdad ini, seperti Kalimat Tersembunyi, Tujuh Lembah,
dan Kitáb-i-Íqán (“Kitab Keyakinan”). Pada tahun 1863, di sebuah taman
yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada
para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini
dikenal sebagai agama Bahá’í.
Kepercayaaan Baha’i diklaim mengikuti
wahyu-wahyu Tuhan yang diterima dan disampaikan oleh para pendiri agama-agama
besar terdahulu. Wahyu dikatakan berkelanjutan dengan progresif, tidak absolut
tetapi relatif. [2]
Penganut baha’i datang belakangan, menciptakan sesuatu yang baru dan
palsu yang mendudukan mereka sebagai orang kafir, mengingkari iman sejati, dan
menimbulkan kemarahan pemerintah mereka.[3] Baha’i
faith juga bisa dikategorikan sebagai agama sinkretik[4]
mengingat karakter keagamaannya yang merupakan perpaduan dari unsur-unsur
Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Yahudi. [5]
Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh
diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang
pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya,
Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu
kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang
pesakitan. Kitab suci
yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab
Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di
Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.
3.
Baha’i di Indonesia
Menurut Iskandar Zulkarnain, penyebaran agama
Baha’i di Indonesia dilakukan oleh pedagang dari Persia dan Turki bernama Jamal
Effendy dan Mustafa Rumi di Sulawesi sekitar tahun 1878. Dari Sulawesi, ajaran
ini menyebar ke tempat lain. Lukman menyajikan data pemeluk agama Baha’i di
Indonesia, yang tersebar di Banyuwangi (220 orang), Jakarta (100 orang), Medan
(100 orang), Surabaya (98 orang), Palopo (80 orang), Bandung (50 orang), Malang
(30 orang).
Sejalan perkembangannya, paham baha’i
mendapat hambatan pahit. Bahkan pada 15 Agustus 1962, presiden Soekarno
mengeluarkan keputusan melarang ajaran baha’i. keputusan itu dikeluarkan
karena paham baha’i dinilai tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,
menghambat resolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.[6]
0 comments:
Post a Comment