Blue Wings - Working In Background

"Sambas"

Powered By Blogger

GOOGLE FEED BURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Thursday, 24 November 2016

Penggolongan Putusan Menurut Luasnya dan Isinya


      A.    Pengertian Putusan
Putusan ialah perbuatan manusia yang di dalamnya ia mengakui atau memungkiri sesuatu tentang sesuatu.
Perbuatan Manusia: dikatakan bahwa putusan adalah perbuatan akal, tetapi yang bekerja dengan akal budi adalah manusianya juga dalam artian manusia dengan akal budinya.
Mengakui atau memungkiri: sebuah keputusan menegaskan sesuatu, tegasnya menyatakan atau menyangkal suatu hubungan antara dua pengetian.
Sesuatu tentang sesuatu: Yang dalam putusan dipersatukan atau dipisahkan ialah subjek dan predikat. Putusan merupakan suatu pernyataan, yang di dalamnya suatu predikat diakui atau dimungkiri tentang suatu subjek.

B.     Penggolongan Putusan Menurut Luasnya
Dalam sebuah isi predikat diterapkan pada subjek, dan luas subjek dimasukkan kedalam lingkungan predikat maka penting sekali kita memperhatikan apakah dikatakan tentang seluruh subjek, atau hanya sebagian saja, misalnya “orang desa itu kolot” apakah ini ditunjukkan pada semua orang desa? Atau tentang sebagian saja ? apakah semua orang dari semua orang desa itu kolot? Untuk menentukan benar atau salahnya ucapan seperti itu, perlu ditegaskan dahulu!
Pembagian term dalam universal, partikuler, dan singular. Hal ini sekarang kita terapkan pada putusan.[1] Luas putusan ditentukan oleh luas subjeknya. Maka putusan dibedakan :


C.    Penggolongan Putusan Menurut Isinya
Sebelumnya dibahas luas putusan, sekarang  perhatikan isinya. Seperti halnya pada isi pengertian, maka diisipun terdapat pertanyaan pokok yang harus kita ajukan di antaranya: apa sebenarnya yang dimaksud? Apa inti pokok yang hendak dikemukakan dalam putusan tersebut? Hal-hal apa yang hendak dihubungkan-hubungkan? Apakaah putusan itu benar? Mengapa? Atau mengapa tidak? Dapatkah dibuktikan? Bagaimana caranya? Apakah berdasarkan induksi atau deduksi? Apakah sudah pasti? Atas dasar apa? Dapatkah dicek kebenaranya? Caranya bagaimana? Pikirkan apa yang secara implicit terkandung di dalamnya?
 Pertanyaan-pertanyaan ini tidak selalu mudah dijawab. Bahkan ada kemungkinan tidak dapat dijawab! Namun harus tetap diajukan. Ini langkah mutlak untuk belajar berpikir dengan kritis dan logis. Sebagai bantuan untuk mempertajam daya pikiran, serta sebagai langkah pertama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, disini dikemukakan beberapa jenis putusan yang dibeda-bedakan dengan memperhatikan isi putusan.
Kita mulai dari beberapa contoh:
Selamet itu sehat. Nilai uang rupiah sekarang sudah mulai stabil lagi.
Meja ini tidak bundar.
Dalam putusan-putusan ini selalu ada dua hal yang di parsatukan.
Slamet=sehat. Nilai rupiah=stabil lagi. Meja#bundar.
Sebetulnya, yang kita lihat dan kita alami itu bukan dua hal, melainkan satu hal, yaitu Slamet yang sehat itu. Nilai rupiah yang stabil lagi itu. Meja yang tidak bundar itu. Akan tetapi, cara kita berpikir adalah demikian: kita melihat keseluruhan dahulu-kemudian kita analisis, kita tangkap seakan-akan langkah demi langkah, aspek demi aspek, dengan cara demikian, kemudian kita banding-bandingkan, lalu menyelesaikan lagi, yaitu mempersatukan dalam putusan: ini adalah begini atau begitu.
Misalnya kita melihat Slamet. Sekarang ia dalam keadaan sehat-walafiat, tetapi dulu tidak: tahun lalu ia sakit. Tetapi sekarang ia sehat. Jadi, Slamet itu tidak mesti selalu sehat; ia bisa juga tidak sehat. Jadi, tak ada hubungan mutlak antara Slamet dan sehat, maka kita akui hal ini dengan mangatakan: “Slamet=sehat”
Nilai uang sekarang sudah mulai stabil lagi. Secara implicit dikatakan bahwa nilai rupiah dulu tak stabil. Nilai uang itu tidak mesti stabil, tetapi mungkin juga stabil. Kalau nilai uang sekarang dapat disebut”stabil”, hal itu berdasarkan keadaan, fakta, atau pengalaman.
Meja ini tidak bundar. Jika kedua pengertian itu kita bandingkan, ternyata tidak ada hubungan mutlak. Menurut isi pengertian, “meja” dan “bundar” itu memang berlainan. Tetapi dapat di persatukan , karena tidak saling meniadakan. Maka jika dalam kenyataan terdapat serempak (ada meja yang memang bundar), akal kita membenarkan kesatuan dengan mengakui “meja ini bundar”. Tetapi jika dalam kenyataan keduanya tidak terdapat serempak, maka akal harus mengakui itu dan memutuskan bahwa “meja itu tidak bundar”.
Lain halnya, misalnya, dengan pengertian bundar dan persegi. Bila kita analisis arti pengertian bundar dan persegi, kita lihat bahwa kedua pengertian tidak mungkin dipersatukan, karena saling meniadakan. Maka dalam kenyataan juga keduanya tidak akan terdapat serempak. Kita lau mengakui ketidaksamaan itu dalam putusan “yang bundar itu tidak persegi”.









[1] Patra M. Zen Dan Daniel Hutagalung, Panaduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007). hlm 113

0 comments: