A. Pengertian Putusan
Putusan ialah perbuatan manusia yang di
dalamnya ia mengakui atau memungkiri sesuatu tentang sesuatu.
Perbuatan Manusia: dikatakan bahwa putusan
adalah perbuatan akal, tetapi yang bekerja dengan akal budi adalah manusianya
juga dalam artian manusia dengan akal budinya.
Mengakui atau memungkiri: sebuah keputusan
menegaskan sesuatu, tegasnya menyatakan atau menyangkal suatu hubungan antara
dua pengetian.
Sesuatu tentang sesuatu: Yang dalam putusan
dipersatukan atau dipisahkan ialah subjek dan predikat. Putusan merupakan suatu
pernyataan, yang di dalamnya suatu predikat diakui atau dimungkiri tentang
suatu subjek.
B.
Penggolongan Putusan Menurut Luasnya
Dalam sebuah
isi predikat diterapkan pada subjek, dan luas subjek dimasukkan kedalam
lingkungan predikat maka penting sekali kita memperhatikan apakah dikatakan
tentang seluruh subjek, atau hanya sebagian saja, misalnya “orang desa itu
kolot” apakah ini ditunjukkan pada semua orang desa? Atau tentang sebagian saja
? apakah semua orang dari semua orang desa itu kolot? Untuk menentukan benar
atau salahnya ucapan seperti itu, perlu ditegaskan dahulu!
Pembagian
term dalam universal, partikuler, dan singular. Hal ini sekarang kita terapkan
pada putusan.[1]
Luas putusan ditentukan oleh luas subjeknya. Maka putusan dibedakan :
C. Penggolongan Putusan Menurut Isinya
Sebelumnya
dibahas luas
putusan, sekarang perhatikan isinya.
Seperti halnya pada isi pengertian, maka
diisipun
terdapat pertanyaan pokok yang harus kita ajukan di antaranya: apa sebenarnya
yang dimaksud? Apa inti pokok yang hendak dikemukakan dalam putusan tersebut?
Hal-hal apa yang hendak dihubungkan-hubungkan? Apakaah putusan itu benar?
Mengapa? Atau mengapa tidak? Dapatkah dibuktikan? Bagaimana caranya? Apakah
berdasarkan induksi atau deduksi? Apakah sudah pasti? Atas dasar apa? Dapatkah
dicek kebenaranya? Caranya bagaimana? Pikirkan apa yang secara implicit
terkandung di dalamnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak
selalu mudah dijawab. Bahkan ada kemungkinan tidak dapat dijawab! Namun harus
tetap diajukan. Ini langkah mutlak untuk belajar berpikir dengan kritis dan
logis. Sebagai bantuan untuk mempertajam daya pikiran, serta sebagai langkah
pertama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, disini
dikemukakan beberapa jenis putusan yang dibeda-bedakan dengan memperhatikan isi
putusan.
Kita mulai dari beberapa contoh:
Selamet itu sehat. Nilai uang rupiah sekarang sudah mulai stabil lagi.
Meja ini tidak bundar.
Dalam putusan-putusan ini selalu ada dua hal yang di parsatukan.
Slamet=sehat.
Nilai rupiah=stabil lagi. Meja#bundar.
Sebetulnya,
yang kita lihat dan kita alami itu bukan dua hal, melainkan satu hal, yaitu Slamet yang sehat itu. Nilai
rupiah yang stabil lagi itu. Meja yang tidak bundar itu. Akan tetapi, cara kita
berpikir adalah demikian: kita melihat keseluruhan dahulu-kemudian kita
analisis, kita tangkap seakan-akan langkah demi langkah, aspek demi aspek,
dengan cara demikian, kemudian kita banding-bandingkan, lalu menyelesaikan
lagi, yaitu mempersatukan dalam putusan: ini adalah begini atau begitu.
Misalnya kita melihat Slamet. Sekarang ia dalam keadaan sehat-walafiat, tetapi
dulu tidak: tahun lalu ia sakit. Tetapi sekarang ia sehat. Jadi, Slamet itu
tidak mesti selalu sehat; ia bisa juga tidak sehat. Jadi, tak ada hubungan
mutlak antara Slamet dan sehat, maka
kita akui hal ini dengan mangatakan: “Slamet=sehat”
Nilai uang
sekarang sudah mulai stabil lagi. Secara implicit dikatakan bahwa nilai
rupiah dulu tak stabil. Nilai uang itu tidak mesti stabil, tetapi mungkin juga
stabil. Kalau nilai uang sekarang dapat disebut”stabil”, hal itu berdasarkan
keadaan, fakta, atau pengalaman.
Meja ini tidak bundar. Jika kedua pengertian
itu kita bandingkan, ternyata tidak ada hubungan mutlak. Menurut isi
pengertian, “meja” dan “bundar” itu memang berlainan. Tetapi dapat di
persatukan , karena tidak saling meniadakan. Maka jika dalam kenyataan terdapat
serempak (ada meja yang memang bundar), akal kita membenarkan kesatuan dengan
mengakui “meja ini bundar”. Tetapi jika dalam kenyataan keduanya tidak terdapat
serempak, maka akal harus mengakui itu dan memutuskan bahwa “meja itu tidak
bundar”.
Lain halnya, misalnya, dengan pengertian
bundar dan persegi. Bila kita analisis arti pengertian bundar dan persegi, kita
lihat bahwa kedua pengertian tidak mungkin dipersatukan, karena saling
meniadakan. Maka dalam kenyataan juga keduanya tidak akan terdapat serempak.
Kita lau mengakui ketidaksamaan itu dalam putusan “yang bundar itu tidak
persegi”.
[1] Patra M. Zen Dan
Daniel Hutagalung, Panaduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 2007). hlm 113
0 comments:
Post a Comment