Islam
adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya,
sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat
dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal
selama berabad-abad hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah
memperkokoh bangunan keindonesiaan modern. Sejarah Indonesia juga mencatat penolakan dan
penentangan umat Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda ekonomi,
politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah
dan NU terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan terwujudnya
kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Demikian
halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan Muslim, meskipun mereka
kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme
Indonesia, tak diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan
terwujudnya negara bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Fakta-fakta
tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru
dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur.
Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat
jika dibandingkan dengan organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk
Budi Utomo yang berbasis kepentingan priyayi Jawa.
Jika
kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka
tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus
mengambil peran strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural
yang kuat. Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu
menunjukkan kekhawatiran berlebihan terhadap subordinasi Islam oleh negara,
juga merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan mengambil peran-peran kreatif dan
strategis dalam merealisasikan keIslamann dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dengan
mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme,
maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah
masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural
melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam
konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam atau juga sistem khilafah yang menerapkan syariah atau negara
sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan
nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah
Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam
dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan
makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik.
Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks
utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara
bangsa. Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya
karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk
menonjolkan identitas atau simbol-simbol keislaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan hanya merupakan
cerminan kelemahan umat Islam sendiri. Selain itu, meskipun terbuka peluangnya
di alam demokrasi ini, penekanan berlebihan dalam hal itu akan potensial
menjadi penyulut disintegrasi, dan ini tidak sejalan dengan nasionalisme itu
sendiri. Idealnya, perjuangan politik umat Islam menekankan pada penguatan
nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh faktor-faktor perekat kebangsaan yang
secara substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai universal Islam
yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan,
kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.
Itulah
sebabnya Al Mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan
keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus
beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa
al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa
sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada
dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu
keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.
0 comments:
Post a Comment