1.
Manusia dan Agama
Manusia adalah mahluk yang
serba unik, dengan keunikannya mejadi kan manusia sebagai mahluk yang rumit dan
misterius,[1]
artinya dari ungkapan ini bahwa manusia adalah mahkluk yang memiliki
kriteria-kriteria serta sifat-sifat yang berbeda dari yang lainnya. Manusia itu
mahluk ang rumit dan misterius karena akal, pikiran dan apa yang sedang
dipikirkan nya tidak bisa untuk di tebak oleh manusia lainnya.
“ Sebenarnya manusia telah
mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya,
meskipun kita memiliki perbendarahaan yang cukup banyak dari hasil penelitian
para ilmuan, filsuf, sastrawan dan ahli kerohanian sepanjang masa ini. Tetapi
kita hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita.
Kita tidak mengetahui
manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari
bagian-bagian tertentu, dan ini pun hakikatnya di bagi lagi menurut tata cara
kita sendiri. Pada hakikatnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mereka yang
mempelajari manusia kepada diri mereka hingga kini masih tanpa jawaban”.[2]
Ungkapan ini bermaksud bahwa kita sebagai manusia tidak bisa untuk
mengetahui diri sendiri sepenuhnya, kita hanya dapat mengetahui diri sendiri
pada bagian-bagian yang tertentu saja karena yang mengetahui semuanya adalah
yang menciptakan kita. Jadi pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendiri tidak
bisa di jelaskan sampai sekarang dan bahkan kapanpun.
Kajian mengenai manusia
memang belum tuntas. Dan mungkin tidak akan tuntas, tetapi dari khazanah kajian
dimaksud setidaknya terungkapkan bahwa manusia adalah mahluk multidimensi.
Berangkat dari konsep
fitrah, hubungan manusia dengan agama berdasarkan adanya kerinduan dalam diri
manusia. Ia membagi kerinduan menjadi kerinduan jasmani dan kerinduan rohani.
Manusia secara etik,
menjunjung tinggi kebaikan, kemuliaan, altruism, ataupun pengorbanan, dan
menganggapnya sebagai nilai-nilai luhur. Kerinduan ini menjadikan manusia untuk
mencari dan menemukan nilai-nilai luhur hakiki. Artinya kerinduan seperti ini
lah yang dibutuhkan, kerinduan ini bisa diartikan sebagai sebuah ibadah
seseoarang kepada yang maha kuasa, kerinduan ini sangat sulit untuk didapatkan
karena ia berkaitan dengan ibadah. Kebanyakan manusia sangat sulit untuk
melakukan ibadah-ibadah, meskipun tidak lah sesulit yang dikiranya.
Hubungan agama merupakan
hubungan yang bersifat kodrati. Agama
itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Pendapat yang sudah ektrem
tentang masalah itu pun masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai
bagian dari kehidupan manusia yang erat keterkaitannya dengan gejala
psikologis. Jadi agama dalam kondisi diatas sangat terkait dengan manusia serta
psikologis setiap manusia dan manusia tidak bisa lepas darinya.
Agama merupakan suatu bentuk
rasa takut kepada Tuhan, dan secara psikologis agama adalah ilusi manusia atau
bisa disebut sebagai khayalan manusia. Manusia lari kepada agama karena
ketidakmampuannya dalm menghadapi becana atau suatu masalah. Segala bentuk
prilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul supaya dirinya
terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu
manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya.
Agama sudah memang tak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketidak setujuannya manusia terhadap agama
mungkin disebabkan oleh faktor-faktor tertentu baik oleh kepribadian maupun
lingkungan manusia. Namun, untuk menutupi dan membuang rasa keagamaan sangat
lah sulit dilakukannya. Manusia mempunyai unsure batin yang lebih untuk tunduk
kepada dzat yang ghaib. Ketundukan ini adalah bagian dari faktor intern manusia
yang dalam psikologi kpribadiaan disebut hati nurani atau pribadi seseoarang.
Agama sebagai fitrah manusia
telah diinformasikan dalam al-qur’an:
“ maka hadapkan lah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah (itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q.S 30:30).
Manusia di ciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah
lantaran pengaruh lingkungan.
Artinya manusia diciptakan
Allah memiliki naluri tauhid, dan Allah itu bersifat tauhid, tapi banyak
manusia yang tidak tahu akan ketauhidan nya itu.
2.
Agama dan Pengaruhnya terhadap
Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah ilmu
yang meliputi sistem-sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani.[3]
Kesehatan mental juga bisa diartikan bahwa suatu kondisi batin yang senantiasa
berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan
ketenangan batin[4]
dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi[5].
Jadi kesehatan mental adalah kondisi batin yang dalam keadaan sehat tidak ada
gangguan dari apaun.
Orang yang sehat mentalnya
ialah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu tenang, aman dan
tentram. Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Di
maksudkan dengan istilah tersebut adalahuntuk menjelaskan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang
kurang normal seperti susah, cemas, gelisah, dan sebagainya, maka badan turut
menderita.
Di dalam tubuh manusia
terdapat Sembilan jenis kelenjar hormon yang memproduksi
persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu,
disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada
eksistensi dan berbagai-bagai kegiatan tubuh. Persenyawaan-persenyawaan itu di
sebut hormon.
Hubungan antara kejiwaan dan
agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan
kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seorang terhadap suatu
kekuasaan yang maha tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu di duga akan member
sifat optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti rasa
bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman. Sikap emosi
yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk
yang ber-Tuhan. Maka, dalam kondisi yang serupa itu manusia berada dalam
keadaan tenang dan normal, berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan
hormone tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada
kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani, dan
rohani. [6]
Salah satu cabang ilmu jiwa,
yang tergolong dalam psikologi Humanistika di kenal logoterapi[7].
Logoterapi menunjukkan tiga
bidang kegiatan yang secara potensial member peluang kepada seseorang untuk
menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. Ketiga kegiatan itu adalah :
a.
Kegiatan berkarya, bekerja, dan mencipta, serta
melaksanakan dengan sebaik-baiknya tugas dan kewajiban masing-masing.
b.
Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu (
kebenaran, keindahan, kebajikan, keimanan dan lainya).
c.
Sikap tepat yang diambil dalam keadaan dan penderitaan
yang tidak bisa dihindari lagi.
Hubungan antara kejiwaan dan
agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan
kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seorang terhadap suatu
kekuasaan Yang Maha Tingg.[8]
Kehilangan makna hidup
begitu besar pengaruhnya terhadap perubahan prilaku manusia. Kecanggihan Iptek
bukan menjadikan manusia sebagai berperadaban, tetapi semangkin biadap. Naluri
kemanusiaan berubah jadi naluri kebinatangan. Kekerasan muncul, baik dalam
bentuk nyata, ataupun dalam bentuk imajinasi. Siapa kuat, dialah yang menang.
Bagi yang tak kuat menanggung derita batin ini terpaksa mencari jalan sendiri.
Yaitu bunuh diri.
Kehilangan makna hidup menyebabkan
manusia mencari jalan sendiri-sendiri. Bertualang tanpa arah, terus mencari,
siapa dan apa pun yang di duga mampu menawarkan obat penawar kesepian batin
akan dihampiri. Berlindung dibawah manusia mistik, mencoba melabuhkan diri
digemerlap hidup selebritis, berhura-hura di suasana klub malam, ataupun
mengonsumsiminuman keras. Batin manusia modern bagaikan terpengaruhi oleh
produk teknologi hasil rekayasa mereka sendiri, sangat ironis sekali.
Padahal sang Maha Pencipta
sudah mewanti-wanti hal itu. Di kala manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan
kehilangan kesadarannya, kehidupannya jadi hampa. Ketentraman batin tersaput,
hidup tanpa makna. Menjauhkan diri dari sang pencipta, berarti mengosongkan
diri nilai-nilai imani, sungguh merupakan kerugian terbesar bagi manusia selaku
makhluk berdimensi spiritual..
3.
Karakteristik Mental yang Sehat
a.
Dapat menyesuaikan diri
Penyesuian diri harus lah bisa kita lakukan karena
apabila kita pergi ke tempat lain kita bisa berkomunikasi dengan baik dan juga
kesehatan mental kita akan menjadi sehat karena kita sudah dapat menyesuiankan
diri kita dimana pun kita berada.
b.
Terhindar dari gangguan jiwa
Gangguan jiwa artinya suatu masalah yang kita hadapi
dan sangat sulit untuk diselesai kan, jika kita terhindar dari suatu masalah
yang membuat kita menjadi permasalah yang sangat berat, maka kita akan memiliki
mental yang sehat, tidak ada gangguan apapun.
c.
Memanfaatkan potensi semaksimal mungkin
Jika kita memiliki sesuatu potensi maka, jangan malu
untuk menampilkannya, kita harus memanfaatkan pontensi tersebut dengan sebaik
mungkin, jika tidak akan mengganggu kesehatan mental kita.
d.
Tercapai kebahagian pribadi dan orang lain
Kebahagian sangat lah penting bagi semua orang, semua
orang pastinya ingin bahagia, tetapi tidak semua orang yang mendapatkan
kebahagian yang ia cari. Jadi jika seseorang sudah tercapai kebagiannya maka ia
akan memiliki mental yang sehat. [9]
Karakteristik pribadi yang
sehat mental nya juga bisa dilihat dari aspek pribadi. Yang pertama adalah melalui
fisiknya yaitu perkembangannya normal, berfungsi untuk melakukan tugas-tugasnya
dan sehat, tidak sakit-sakitan. Yang kedua adalah melalui psikis yaitu respek
terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki insight dan rasa humor, memiliki
respons emosional yang wajar, mampu berpikir realistic dan objektif, terhindar
dari gangguan-gangguan psikologis, bersifat kreatif dan inovatif, bersifat
terbuka dan fleksibel, tidak difensif, dan memilki perasaan bebas untuk
memilih, menyatakan pendapat dan bertindak. Yang ketiga adalah melalui sosial,
yaitu memiliki perasaan empati dan rasa kasih sayang terhadap orang lain, serta
senang untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan
pertolongan, mampu berhubungan dengan
orang lain secara sehat, penuh cinta kasih dan persahabatan, dan bersikap
toleran dan mau menerima tanpa memandang kelas sosial, tingkat pendidikan,
agama, politik, suku, ras, atau warna kulit. Yang terakhir adalah Moral
religious yaitu beriman kepada Allah dan taat mengamalkan ajaran-Nya dan jujur,
amanah, ikhlas dalam beramal.
4.
Ciri-Ciri Kesehatan Mental
Pada
abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis,
namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa
adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan ini menyebabkan adanya timbale balik antara
satu sama lain.
Memasuki
abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila
ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental
masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental
tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah
dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini,
tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Solusi
terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan
mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental
seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri
dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya
sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan
mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan
intelektual.
Mental
yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh pemikiran yang stress orang yang
memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang
datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Ciri-ciri orang yang memilki
kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari
tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya[10].
5.
Efek Agama pada Kesehatan
Mental dan Fisik
Berdasarkan penelitian bahwa
agama tidak lah berpengaruh yang tidak baik bagi kesehatan mental dan fisik
a.
Efek pada kesehatan mental
Agama merupakan fator penting yang berupaya untuk
mengatasi suasana hidup yang penuh dengan gangguan, agama juga dapat meramalkan
siapa yang mendapatkan defresi. Dalam menghadapi sikap
yang tak terhindar lagi bagi kondisi, menurut logo terapi, maka ibadah merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seorang akan
nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya.
Sejumlah kasus
yang menunjukan adanya hubungan antara faktor keyakinan (agama) dengan kesehatan
jiwa (mental) tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu.
b.
Efek pada kesehatan fisik
Seseorang yang
berkeyakinan atau beragama
apabila terserang penyakit, lebih cepat sembuhnya dari pada yang tidak beragama
atau tidak mempunyai keyakinan. Do’a
penyembuhan terbukti menimbulkan tanggapan positif dari kalangan masyarakat
luas dan memang terbukti bisa
menyembuhkan.[11]
6.
Terapi Keagamaan
Orang yang tidak merasa
tenang, aman serta tentram dalam hatinya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya,[12]
manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, tetapi tak jarang di
jumpai bahwa seseorang tak mampu menahan keinginan bagi terpenuhnya kebutuhan
dirinya. Dalam kondisi seperti itu akan terjadi pertentangan (konflik) dalam
batin. Pertentangan ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan
rohani, yang dalam kesehatan mental disebut kekusutan rohani. Kekusutan rohani
seperti ini disebut kekusutan fungsional.
Usaha pengulangan kekusutan
rohani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang
bersangkutan. Penyelesaian dengan memilih penyesuain diri dengan norma-norma
moral yang luhur seperti bekerja dengan jujur, resignasi, sublimasi, dan
kompentasi. Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an
sendiri sebagai kitab suci.
Didalam al-Qur’an sebagai
dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemukan ayat-ayat yang berhubungan
dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai halyang prinsipil dalam
kesehatan mental. Ayat tentang kebahagiaan salah satunya tedapat dalam surat Al-Qashash
ayat 77 yang artinya “dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) duniawi dan berbuat
baik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan
jangan kamu membuat kerusakan di(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qashash:77)
Dalam ayat ini Allah
memerintahkan orang Islam untuk merebut kebahagiaan akhirat dan kenikmatan
dunia dengan jalan berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Keimanan,
ketakwaan, amal soleh, berbuat yang makruf, dan menjauhi perbuatan keji dan
munkar adalah merupakan factor penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental.
7.
Kematian
kata mati dan kematian
sebenarnya sudah sangat akrab dengan teliga manusia. Setiap orang pasti akan
mengalaminya. Menjumpai kematian. Namun, manakala masih berada dalam kenikmatan
hidup, manusia sering melupakan dengan kematian. Sebaliknya, bila usia
semangkin sepuh atau didera sakit, maka baying-bayang kematian mulai muncul.
Secara psikologis, turut mempengaruhi sikap dan prilaku manusia.
a.
Kematian dalam Agama
Setiap agama mengajarkan tentang adanya hari
kebangkitan. Alam baru dalam kehidupan lain yang akan dialami oleh manusia
mati. Dipercayai bahwa pada saat itu manusuia akan dihidupkan kembali guna
diminta pertanggungjawabannya. Perbuatan baik akan memperoleh ganjaran
kenikmatan hidup surgawi. Sebaliknya, perbuatan buruk akan diganjar dengan
hukuman berupa siksaan neraka. Oleh karena itu, hari kebangkitan ini juga
disebut sebagai hari pembalasan.
Kemudian dalam ajaran Islam, hari kebangkitan
merupakan bagian dari rukun ima. Mengenai hari kebangkitan ini dikemukakan oleh
Abul A’la al-Maududi: “ Yang wajib kita beriman kepadanya mengenai hari itu,
ialah:
1)
Bahwa Allah akan menghapus semesta ala mini dan
sekalian makhluk yang ada didalamnya pada suatu hari yang dikenal dengan hari
kiamat.
2)
Kemudian Allah SWT akn menghidupkan mereka kembali
sekali lagi dan mengumpulkan mereka di hadapan-Nya. Itu adalah mahsyar atau
hari kebangkitan.
3)
Kemudian segala sesuatu yang diperbuat manusia, yang
baik dan yang buruk dalam kehidupan dunia mereka, diajukan kepada pengadilan
Allah SWT. Tanpa dikurangi dan tanpa dilebihkan.
4)
Allah SWT menimbang bagi tiap-tiap orang dari manusia
akan perbuatannya yang baik dan yang buruk. Barangsiapa yang lebih berat dari
timbangan perbuatan-perbuatannya yang baik, maka dia diampuni-Nya dan barang
siapa yang lebih berat dari timbangan perbuatan-perbuatannya yang buruk, maka
ia disiksa-Nya.
b.
Psikologis kematian
Secara psikologis, manusia usia lanjut terbebankan
oleh rasa ketidakberdayaan. Kelemahan fisik, keterbatasan gerak, dan menurunkan
fungsi alat indera, menyebabkan manusia usia lanjut merasa terisolasi mulai
terasa adanya kekosongan batin.
Kekosongan batin akan kian terasa bila dihadapkan
peristiwa-peristiwa kematian. Terutama bila dihadapkan pada kematian-kematian
orang-orang yang terdekat atau paling di cintai.
0 comments:
Post a Comment