Tuesday 22 November 2016

Konsep Kekerasan Menurut Galtung


     1.    Pengertian Kekerasan
Secara etimologis kekerasan adalah tindakan atau kebijakan/ keputusan apapun yang disertai penggunaan kekuasaan/ kekuatan. Sedangkan secara terminologis kekerasan adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dengan jalan yang bertentangan dengan hukum dengan tujuan yang buruk.[1] Konsep kekerasan seringkali juga diterapkan untuk menandai kebijakan atau pertentangan dengan moral misalnya pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Kekerasan menurut Johan Galtung adalah kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya Kekerasan di sini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual.
Konsep kekerasan menurut Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural, dan langsung.[2] Dan kekerasan langsung sering kali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resourse power). Kekuasaan sumber bias dibagi menjadi kekuasaan punitif, yaitu kekuasaan yang menghancurkan, kemudian kekuasaan Ideologis dan kekuasaan ideologis . Kekuasaan Ideologis dan renumatif cenderung menciptakan kekerasan kultural.
Sedangkan kekuasaan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, seperti orang yang memiliki wewenang menciptakan wewenang publik. Kekuasaan  sumber dan kekuasaan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural, kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul kepermukaan sosial.
a.    Kekerasan Struktural
Menurut Galtung ketidak adilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep kekerasan struktural (structural violence).[3] Kekerasan model ini dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya manusia di lingkungannya, diskriminasi rasa atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil juga, manusia mati akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep kekerasan struktural.
Contoh dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah memberikan hak pendidikan dan masyarakat pribumi. Hanya kalangan tertentu dari penduduk pribumi yang bias mengakses sekolah, yaitu golongan bangsawan yang memiliki tanah-tanah perkebunan dan bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
b.    Kekerasan Langsung
Kekerasan (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung.
Kekerasan langsung terjadi dalam konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat tahun 1999,[4] seperti di Pontianak dan Sambas, ditandai dengan terbunuhnya banyak sekali manusia, dirusaknya harta benda yang ada dipengusiran etnis dari tempat tinggalnya. Kekerasan langsung pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura bisa dilakukan kedua belah pihak pada awalnya. Tetapi kekuatan fisik yang tidak berimbang, seperti peralatan dan jumlah massa, pada gilirannya membuat salah satu etnis telah melakukan kekerasan langsung terhadap etnis yang lain.
c.  Kekerasan Budaya
Kekerasan budaya bias disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya bias muncul pada dua tipe kekerasan tersebut. Kekerasan budaya (Cultural violence), di lihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produk kebencian, ketakutan dan kecurigaan.
Sumber Kekerasan budaya ini biasa berangkat dari etnesitas, agama maupun ideologi. Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang dimaksud bukan untuk menyebut kebudayaan sebagai keseluruhan sistemnya, namun aspek-aspek dari kebudayaan itu. Galtung memberikan definisi kepada kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan; ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan, empiris dan formal (logis), matematis, yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegatimasi kekerasan struktural dan langsung.[5]
d.   Kekerasan Model Litke
Alternatif persefektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F. Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power (1992) membuat skema definisi kekerasan pada dimensi fisik-psikologis, dan personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi psikologis kekerasan personal muncul dalam bentuk paternalisme, ancaman personal dan pembunuhan karakter. Kekerasan institusional (terlembagakan) yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme dan perang, sedangkan secara psikologis muncul dalam bentuk perbudakan, rasisme, dan sexist.
2.      Macam-Macam Kekerasan
a.       Kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang tidak adanya keadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.[6]
b.      Kekerasan Kultural, yaitu kekerasan yang sebab maupun timbulnya bisa ditelusuri melalui aspek-aspek, budaya, wilayah, simbolis, eksistensi kita, diwakili oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan formal.[7]
Sebuah perbuatan, atau prilaku sosial bisa dikatakan sebagai kekerasan. Ada pun menurut Galtung ada beberapa dimensi dalam kekerasan:
1)      Perbedaan antara kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
2)      Pendekatan negatif dan positif terhadap pengaruh.
3)      Terletak pada segi obyek.
4)      Terletak pada subyek.
5)      Antara kekerasan yang disengaja dengan kekerasan yang tidak disengaja.
6)      Perbedaan tradisional, diantara dua tingkat kekerasan, yakni kekerasan nyata dan kekerasan tersembunyi.
3.      Faktor-Faktor Kekerasan Politik
M Enoc. Markum, yang membagi penyebab terjadinya kekerasan ada lima, yaitu :
a.    Kondisi kritis sangat benar-benar terjadi, dalam suatu wilayah tertentu, sehingga muncul kekerasan.
b.    Keyakinan masyarakat luas bahwa saluran formal yang seharusnya dapat menampung dan diandalkan untuk menyelesaikan masalah dan aspirasi masyarakat tidak berfungsi dengan semestinya.
c.    Harapan yang diyakini oleh masyarakat bahwa melahirkan kekerasan, dapat menimbulkan perubahan.
d.    Hilangnya wibawa ABRI di mata masyarakat.
e.    Crowding.
Sedangkan Arbi Sanit menyebutkan bahwa sebab terjadinya kekerasan dari dalam yaitu :[8]
a.    Perasaan tertekan di kalangan masyarakat yang berasal dari kombinasi diantara peningkatan harapan (aspirasi) dengan melebarnya jurang (gap) di antara kebutuhan dan pelayanan publik.
b.    Belum terlembaganya kehidupan politik secara memadai.
c.    Rendahnya standar ekonomi yang ditandai oleh ketidak berimbangan pemberlakuan publik (cara politik).
d.   Ketidakseimbangan distribusi sumber daya, dan ketidak berimbangan pemenuhan hak dalam masyarakat.
4.  Sumber-Sumber Kekerasan
Menurut I Marsana Windu, sumber sumber kekerasan antara lain:
a.    Watak Manusia yang Keras
Manusia merupakan makhluk yang bersegi jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Dilihat dari segi rohani manusia terbagi menjadi pikiran dan perasaan. Apabila keduanya diserasikan akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap tindak. Sikap tindak itulah yang kemudian menjadi landasan gerak segi jasmani manusia.[9]
Secara sosiologis, kepribadian seseorang didapat melalui proses sosialisasi yang dimulai sejak kelahirannya. Pada tahap itu, dia mulai mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya dengan cara mengadakan hubungan dengan orang lain. Di mulai dari keluarga, dan lambat laun mulai dapat membedakan dirinya dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Secara bertahap dia akan mempunyai konsep tentang dirinya sendiri yang didasarkan pada dugaan tentang pendapat orang-orang perihal dirinya. Kesadaran akan dirinya sendiri dapat diamati dari tingkah laku anak tersebut dalam permainan, mungkin terhadap alat-alat permainan, mungkin pula terhadap teman-teman sepermainannya. Sifat tersebut makin lama makin berkembang dengan bertambah dewasa individu tersebut.
Ditengah perkembangan kehidupan yang keras, maka akan mustahil jika tidak memunculkan perkembangan watak manusia yang keras pula, karena terbentuknya watak manusia itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.[10] Seorang individu, selain memiliki ciri-ciri watak secara umum, namun individu jga memiliki ciri-ciri wataknya sendiri. Sedangkan pembentuk watak dalam jiwa seseorang banyak dipengaruhi pergaulannya di masa kecil.
b.    Struktural yang Tidak Adil
Sebuah kekerasan bisa juga didukung oleh ketidak adilan struktural. Secara sosiologis, struktur masyarakat tersusun atas perbutan manusia dan bukan alam Stuktur sosial, atau juga biasa disebut sebagai stratifikasi sosial, sangat penting, karena mengakibatkan masyarakat dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan individu. Akan tetapi pada akhirnya, stratifikasi menimbulkan adanya kelas dan status. Kelas dan status biasanya terbentuk atas dasar tingkat kehormatan yang dimiliki oleh individu.
Status biasanya diidentifikasi oleh posisi dan jabatan yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan kelas lebih merujuk kepada tingkat kepemilikan harta dan properti oleh individu. Orang dengan kelas dan status tertentu cenderung berbagi pola dan mode perilaku. Kelas dan status dibentuk oleh kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dengan kelas atau status yang sama. Ketidak adilan struktural dapat terjadi bila orang-orang dalam kelas atau status yang sama membentuk aliansi guna mendominasi sistem ekonomi atau politik masyarakat.




[1] Eka Henry, Sosiologi Konflik, ( Pontianak: Anggota Ikapi, 2009), hlm 51
[2] Novri Susan, Sosiologi Konflik . . . hlm 110.
[3] Ibid, khlm 111.
[4] Ibid, hlm 114.
[5] Ibid, hlm 115.
[6]Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian, dan Penelitian Perdamaian”, dalam Mochtar Lubis, Menggapai Dunia Damai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm 150.
[7] Johan Galtung, “Kekerasan Kultural” dalam Wacana Kekerasan dalam Masyarakat Transisi,(Yogyakarta : Insist, Edisi IX, 2002), hlm 11.
[8] Ibid
[9] Soerjono Soekanto, Sosiologi Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, Cet IV, 1990), hlm 127.
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta ; Rineka Cipta, 1996), hlm 108.

No comments:

Post a Comment